Selasa, 27 September 2016
Dear Ayah dan Ibu,
Satu hari lagi sebelum kepulangan kami ke rumah masing-masing, aku justru tidak ingin pergi. Aku mulai menyukai kegiatan ini.
Aku bertemu teman-teman baru dari berbagai daerah. Mereka terketuk untuk menjadi relawan karena ingin menolong sesama penduduk Provinsi Hili Barat.
Tapi tidak sedikit yang berasal dari luar provinsi dan luar negeri. Kata mereka, Kota Sungai adalah salah satu destinasi favorit sepanjang masa untuk keindahan alamnya. Jadi, ketika kota ini sedang tidak baik pun seharusnya mereka menolong. Karena baik dan buruk datangnya bersamaan, maka mereka ingin memberi yang terbaik untuk kota ini.
Dua hari lalu, Alula bilang bahwa aku harus membuka diri karena aku berhak bahagia Bu. Tapi apa aku berhak untuk bahagia seperti dahulu?
Ayah tidak pernah secerah dulu ketika ada Ibu. Aku terus merasa bahwa bahagia haruslah berlima Bu, ketika Ibu ada, ketika Ayah semangat melakukan apa pun walau Ia mulai sakit-sakitan. Ayah tidak pernah mengeluh saat Ibu menemani Ayah. Tapi sekarang Ayah lebih sering diam dan memandang tanpa harap. Bagaimana ya bu?
Ayah, Ibu, ada teman yang mampu membuatku tertawa lepas kemarin. Padahal dia orang baru, tapi tingkahnya selalu aneh. Bayangin, udah umur segitu tapi nggak bisa sarapan tanpa oatmeal? Aneh banget! Aku aja bawa oatmeal untuk jaga-jaga nggak ada makanan, tapi bagi dia itu bahan pokok. Ckckck.
Ohya, namanya Giandra panggilannya Gea. Kayak nama dewa bumi ya? Apa aku tanya aja arti dari namanya? Nggak usah deh, aku sepertinya tidak akan pernah bertemu dia lagi. Biarkan saja, toh juga buat aku nggak ngaruh banget, hihi.
Oh iya semalam aku tidur cukup larut karena berkenalan dengan 9 orang baru selain Gea di rumah Bu Ningsih. Menyenangkan sekali.
Efeknya sekarang cukup ngantuk, padahal kami jaga pagi. Kata Gea kemarin jangan lupa minum kopi kalau mau segar terus. Kopi kan bikin aku deg-degan dan malah nggak fit. Ada-ada aja ya dia Yah, Bu? >.<
Do'akan aku Ayah, Ibu.
Lebih dari setengah jam Tara menulis jurnal paginya. Ia terlalu bahagia dengan percakapan semalam. Walaupun tidurnya larut, jam biologis tubuhnya selalu membangunkannya jam 5 pagi dan mulai bersiap. Satu kebiasaan Tara sejak enam bulan terakhir : menulis jurnal pagi.
Kepergian Ibu membuatnya depresi ringan sehingga Ia harus menerapi dirinya sendiri dengan menulis jurnal. Begitu saran psikiater yang didatangi Tara enam bulan lalu.
Selesai menulis, Tara mempersiapkan semuanya.
----
"Andromeda, nama lo mirip ya sama Tara." celetuk Gea pagi itu sembari menggosok gigi di kamar mandi sebuah tempat ibadah.
"Mirip apanya?!" Meda kaget, menoleh kepada Gea.
"Sama-sama benda langit." jawab Gea tersenyum lebar sembari menyikat giginya.
"I see." Meda melirik jahil ke arah Gea.
"Kenapa lo gitu banget liatnya?!" Gea terkejut dengan ekspresi sahabatnya.
"Nggak papa." Meda terkekeh.
Dua sahabat itu kembali saling memiting.
----
"Hi Ra. Good morning." Gea muncul di hadapan Tara yang sedang mempersiapkan perlengkapan medisnya.
"Oh hello Mr. Oatmeal." balas Tara.
"Oatmeal nya ada di saku paling depan. Ambil aja semuanya." Tara memberi pengumuman kepada Gea, melindungi dirinya dari kemungkinan ocehan Gea.
"Oh god. Thank you Taraaa." Gea langsung merogoh tempat yang dimaksud Tara.
Tara tersenyum, geli dengan suara Gea yang lebih terdengar seperti mengejeknya.
"Gea hari ini tugasnya apa?" Tara memecah keheningan, bertanya kepada Gea.
"Banyak Raaa! Nyapu, ngepel, distribusi makanan-selimut-obat, bantu-bantu RT RW." antusiasme Gea terlihat dari sikap tubuhnya.
"Keren ya." balas Tara.
"Kerenan juga kamu Ra. Sigap melayani pasien. Aku lihat kinerjamu dari hari kedua." puji Gea.
"Itu kewajibanku sekarang dan sampai aku mati."
"Kenapa?"
"Karena saat ini aku calon dokter. Dan beberapa waktu nanti aku menjadi dokter." Tara sumringah membayangkannya kelak memakai jas dokter dengan stetoskop di lehernya.
"Antariksa pasti bisa. Nanti aku harus jadi pasien pertama saat kamu dilantik jadi dokter." Gea menyemangati Tara.
"Terima kasih Giandra." Tara tersipu.
----
"Antariksa berbeda dari kebanyakan calon dokter di sampingnya. Ia telaten mengurusi pasien. Pandangan matanya tulus, pekerjaannya terlihat rapih kalau aku lihat dari kejauhan.
Tara mampu menenangkan pasien yang panik menjadi seseorang yang tenang dan sadar terhadap kondisi dirinya. Ia memiliki kemampuan menjadi trauma healer.
DI luar kemampuannya sebagai calon dokter, Ia pandai mengajak bicara lawannya walaupun suaranya cenderung pelan. Tara telah menghipnotisku untuk sesaat.
Akankah aku bertemu Tara di Kota Ancala? Sepertinya tidak. Habiskanlah sisa pertemuan ini dengan sangat baik.
Thanks Ra, semoga bisa ketemu lagi." Giandra membatin tentang Tara sambil melihatnya dari kejauhan.
----
Bersambung ke "Bab 13 : Kota Ancala"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Duniaku
RomanceAntariksa, seorang perempuan yang ditinggal mati ibunya saat dinyatakan lulus sebagai mahasiswa kedokteran, berkata kepada Ayahnya, "Untuk apa aku menjadi dokter kalau ibu pergi?" Ganjil. Ayah justru tak bergeming dan memilih diam jangka panjang. A...