eight: bitter truth; last sequences

56 7 2
                                    

Aku tidak bisa menampik, rasa sesak kini menghimpit dadaku begitu mendengar kata-kata yang dilontarkan kak Nadia barusan. Sakit yang luar biasa mulai menjalar di sekujur tubuhku bak ditusuk berkali-kali oleh belati. Netraku berkaca-kaca, diikuti oleh desakan air mata yang nyaris melesak keluar dari pelupuk mataku. Lidah inipun kelu, tidak bisa mengucapkan rangkaian kata logis untuk menimpali kak Nadia. Tak ingin menunjukkan kesedihan yang sedang menguasai, aku memutuskan untuk kabur dari ruang tata rias ini. Aku berlari kencang tanpa tujuan, mengabaikan seruan dari kak Nadia di belakangku.

"Grace, wait! Rambutnya belum selesai!"

Kurang lebih begitulah reaksinya saat aku tiba-tiba berlari keluar dari ruang tata rias itu. Pikiranku kacau, aku sudah tidak peduli lagi dengan semuanya. Aku tidak peduli dengan bagaimana hancurnya makeup di wajahku ini akibat tumpahan air mataku sendiri. Aku tidak peduli soal fakta bahwa kurang dari 10 menit lagi aku harus masuk ke dalam set untuk syuting sequence-sequence berikutnya, namun rambutku belum ditata begini. Aku tak peduli juga kemana langkahku membawa diri ini kabur. Yang kutahu, tangisku pecah sekarang. Sedih, kaget, kecewa, bingung, semua perasaan tersebut bercampur aduk menjadi satu. Aku benci perasaan macam ini.

Mengapa kak Jun tidak pernah bilang kalau dirinya adalah seorang ayah!? Kukira selama ini dia lajang!

"Bang, udah cukup! Berhenti deketin Grace!"

Aku tercekat ketika tak sengaja mendengar perbincangan tersebut. Langkahku secara otomatis terhenti. Tanpa sadar, aku ternyata berlari kabur hingga sampai di parkiran basement perusahaan begini. Dimana, parkiran ini dekat dengan lokasi set yang diagendakan untuk prosesi syuting hari ini.

"Abang kira Brian gak tau kalo selama ini Abang deket sama Grace dan suka berduaan sama dia waktu lagi jam istirahat? Brian tau semua, Bang!"

Refleks, aku langsung menyembunyikan diri di balik tembok parkiran terdekat. Berusaha mengintip peristiwa yang terjadi di arah jam 11. Dimana, ada kak Jun dan kak Brian yang tampak sedang berseteru di sana. Mereka saling berhadap-hadapan tepat di depan mobil pribadi kak Brian terparkir. Kudapati, si aktor kondang sedang berkacak pinggang ke arah lawan bicara. Sedangkan si putra sulung keluarga Laksamana hanya menunduk dalam seraya diam seribu bahasa. "Okay, fine! Rasanya gak pas banget Brian yang playboy gini ngasi Abang advice soal percintaan, tapi mau sampe kapan Abang gak jujur sama Grace?! Abang itu duda! Udah punya anak lagi!" bentak kak Brian kemudian.

Aku terlonjak kaget begitu namaku disebut–lagi— oleh kak Brian. Rasa sesak kembali menekan dadaku, menguasai diriku hingga aku kesulitan bernapas normal. Aku juga tidak dapat beranjak dari tempatku sekarang dan justru memilih untuk menguping pembicaraan mereka lebih lanjut. Sial, aku menggali lubang sendiri! "Inget, Bang! Grace itu termasuk public figure! Apa dia bisa nerima fakta soal Abang ini duda anak satu? Apa karier Grace gak ikut terancem kalo semisal media sampe tau soal hubungan kalian? Apa Grace juga tau kalo selama ini dia selalu ngingetin Abang sama istri Abang yang udah meninggal!?"

Aku melihat ada tatapan penuh amarah yang ditujukan kak Brian kepada kak Jun kala mengucapkan cercaan barusan. Sementara kak Jun sendiri, dia masih bergeming seperti di awal. Tidak berkutik sedikitpun. "Pikirin juga perasaan Jay, Bang! Apa Jay mau punya pengganti ibunya?!" cerca kak Brian lagi.

Aku tidak bisa mendengar kelanjutan perseteruan mereka. Mataku terlanjur memanas. Air mataku pun kembali berlinang, bahkan lebih deras dari yang sebelumnya. Tubuhku langsung merosot, tersungkur ke lantai parkiran basement yang terasa dingin. Aku menangis dalam diam di balik tembok parkiran ini.

🍋🍋🍋

"Camera rolling, and—action!"

Aba-aba dari sang sutradara tersebut telah dilontarkan, diikuti dengan bunyi nyaring clap-board berkumandang sebagai pembuka syuting adegan terakhir ini. Sontak, aku pun berjalan pelan mendekati kak Brian yang tengah menatapku dengan penuh damba itu, melintasi medan perang yang kini dipenuhi oleh tumpukan mayat dari kubu musuh. Wajah lelah kami terpatri, napas yang tidak beraturan mengalun dari diri masing-masing. Mengabaikan seberapa memprihatinkan keadaan kami berdua–baju compang-camping dengan noda darah, tanah, serta bubuk mesiu yang juga tersebar di seluruh permukaan kulit— pasca perang berakhir, sudut bibirku terangkat. Air mata mulai berlinang dari ekor mataku.

Midas Touch || jun svt ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang