NALA'S POVDalam 4 hari ini, Mas Hanif tidak mendapatkan jadwal penerbangan, ada rasa senang di hatiku karena waktuku bersamanya lebih banyak.
Selesai sarapan aku duduk di balkon kamar kami sambil membaca beberapa buku dan memutar beberapa nasyid. Ada satu nasyid yang mencuri hatiku, 'Aarusatun-Nur - yang dilantunkan Muhammad Al-Muqit yang sering disebut Nasyid pernikahan karena liriknya yang membahagiakan.
Sejak kecil, aku sering merasa hidupku sepi, dan menyedihkan. Sampai aku membaca sebuah quotes, tentang anak perempuan yang hidupnya dipenuhi kesedihan sejak kecil, akan dimuliakan oleh suaminya.
Aku selalu berdo'a pada Allah agar memberiku pasangan yang mengajakku pada ketaatan, yang senyum dan katanya menenangkan, lalu Allah pertemukan aku dan suamiku dengan awal mula yang konyol.
Ah, rasanya aku sangat malu mengingat bagaimana lantangnya aku menyebut Mas Hanif suamiku, belum lagi perkara menstruasiku yang bocor sampai harus menggunakan jaketnya.
Allah maha baik, memperlihatkan aibku padanya, dan menutupnya dengan menjadikan aku teman hidup Mas Hanif.
Ingatanku masih bernostalgia ketika sebuah sentuhan mendarat di pundakku.
"Ngelamunin apa sih, Sayang?"
Ia lantas duduk disampingku, menyeruput teh di cangkirku.
"Gak ada, Mas ... Mas, mau ngeteh juga? aku bikinin, ya?" ucapku.
"Nggak usah, Mas maunya minum di gelas yang sama kaya kamu"
Aku tersipu.
"Tapi kan jadi sedikit, Mas"
"Gampang itu, nanti kalau sudah habis bisa bikin lagi"
Aku hanya tersenyum.
"Rasulullah itu menawan banget, ya, Mas!" ucapku.
Ia menoleh sambil tersenyum.
"Nabi kan istimewa, Sayang!"
"Iya, aku jadi membayangkan betapa bahagianya isteri-isteri beliau mendapatkan suami manusia istimewa. Aku yang dapetnya manusia biasa seperti kamu aja sampai kehabisan kata buat bersyukur".
Kulihat ia menahan senyumnya, meski terlihat jelas raut wajahnya salah tingkah karena perkataanku, ah ternyata si raja gombal bisa salting juga.
"Aku belum pernah lihat kamu marah, Mas. Apa kamu bisa marah?" tanyaku penasaran.
Hampir satu bulan kami menikah, rasanya yang kudapatkan hanya kelembutan, ada rasa takut dihatiku, karena biasanya orang yang jarang marah amarahnya lebih besar ketika ia marah.
"Aku bisa marah, tapi marahku cepat reda"
"Sejujurnya aku takut, Mas. Aku belum pernah lihat kamu marah, aku takut suatu saat kamu marah, itu akan menyakitkan"
"Nala, aku tidak akan marah pada hal yang bisa ditoleransi, tapi aku akan sebisa mungkin belajar bagaimana memarahi istri dengan baik" terangnya sambil tersenyum.
"Lho, bagaimana marah bisa disebut baik?" aku mengernyitkan keningku.
"Bisa, sayang! Kamu mau dengerin aku?"
Aku mengangguk penasaran.
"Pada suatu riwayat Rasulullah sedang berselisih paham dengan 'Aisyah r.a, kamu tahu nggak, 'Aisyah sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas terhadap Rasulullah sampai ayahnya Abu Bakar Ash-Shiddiq murka dan bilang kalau 'Aisyah melampaui batas kepada Rasulullah"
"Lalu?!"
"Emosi 'Aisyah memuncak, Rasulullah juga merasakan marah yang luar biasa. Lalu, Rasulullah meminta Aisyah menutup mata dan mendekat. Seketika hal itu membuatnya cemas karena mengira akan dimarahi Rasulullah. Tapi ternyata ketakutannya tak terbukti."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Flying Husband
Roman d'amourDunia penerbangan seringkali dicap penuh intrik dan kegelapan diantara affair para pilot dan pramugarinya. Namun siapa sangka masih ada beberapa berlian diantara tumpukan jerami. Ialah Gamaliel Hanif As-syauqi. Ia begitu menjaga akhlak dan ibadahny...