Giza, dan Perempuan Pemandu Wisata

140 13 4
                                    

AUTHOR'S POV

Hanif baru membuka mata ketika sayup-sayup terdengar suara pramugari mengumumkan bahwa mereka akan segera mendarat di Cairo Internasional Airport. Ia segera melirik jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun di musim panas ini pukul tujuh serasa lebih terang dibanding di Indonesia.

11 menit kritis saat pesawat mendarat telah dilewati tanpa ada hambatan, setelah mengambil barang yang ia bawa masuk ke kabin ia bergegas keluar pesawat. Seorang pramugari maskapai Internasional berselendang putih di kepala menatapnya lekat, bisa dipastikan ia terpesona dengan wajah Hanif yang rupawan.

Bagaimana tidak, ia adalah seorang pilot handal yang sudah menjadi kapten diusianya yang baru kepala tiga. Tubuhnya atletis dengan tinggi 180cm, wajah Indonesia terlihat khas dengan rambut rapi pengemudi burung besi.

Sadar dirinya menjadi pusat perhatian pramugari, ia pun menarik kacamata hitamnya yang semula dia taruh di kepala, menciptakan kesan angkuh dan dingin.

Setelah mengurus imigrasi dan mengambil sisa bagasi yang tak begitu banyak, ia memutuskan untuk memesan taksi menuju penginapan di dekat area wisata Sungai Nil.

Langit mulai gelap saat ia memasuki kawasan Sungai Nil, meskipun begitu senja masih menyisakan keindahannya yang tak pernah membosankan bagi siapapun yang memandangnya.

Bagi Hanif, ini bukan pemandangan yang aneh, ia telah ribuan kali menyaksikan hal yang menakjubkan dari atas awan. Namun ia tetap menyukai senja dengan segala timbul dan tenggelamnya, sebagaimana ia menyukai langit, ia juga menyukai apapun cuacanya.

Taksi berhenti di depan sebuah hotel bernama Novotel Cairo Hotel di dekat jembatan sungai Nil. Ia ingin segera shalat dan merebahkan diri sejenak sebelum menikmati suasana malam di tepi Sungai Nil.

Selesai Shalat ia membuka catatan perjalanannya yang selalu ia bawa. Hanif menyukai Travelling, baik ke kota mancanegara, maupun ke alam terbuka seperti mendaki gunung maupun pantai.

Tiba-tiba 'kruuk .... kruuuuk', perutnya berbunyi, ia sadar belum makan sejak terakhir menyantap kudapan saat transit di Dubai beberapa jam lalu.

Dengan rasa malas ia bergegas keluar hotel. Pemandangan malam di sekitar jembatan Sungai Nil penuh dengan gemerlap lampu yang menerangi setiap sudutnya, di beberapa tempat terdapat beberapa pasangan sedang makan malam bersama. Ada juga sekumpulan mahasiswa Al-Azhar yang salah satunya ia taksir berasal dari Indonesia.

Ia mengetik di mesin pencarian tentang makanan yang lezat di Mesir, muncullah beberapa nama salah satunya 'Ruz Bil-Laban'. Sebagai pilot penerbangan internasional yang sedikit demi sedikit menguasai bahasa arab, ia sedikit aneh dengan nama makanan yang jika ia ubah ke dalam bahasa Indonesia adalah nasi dan susu. Karena penasaran akhirnya ia memesannya dan menerka-nerka, apakah bentuknya seperti bubur atau nasi liwet?

Sambil menunggu pesanannya datang, ia menyempatkan diri mengambil foto dengan latar belakang Sungai Nil.

"MasyaAllah, Indah juga ternyata disini" gumamnya. Lalu ia mulai membuat instagram story, dan memosting beberapa foto.

"Dear, you. Nanti kita kesini, makan malam romantis hanya aku dan kamu. Tapi kapan, ya, kita bertemu?" tulisnya pada caption.

Tak lama pesanan dataang, ternyata Ruz bil Laban adalah puding khas Mesir. Ia mencoba beberapa saat dan lezat. Lalu tanpa ragu, ia menghabiskan makanannya, dan menikmati kesendirian di tepi sungai Nil.

🌹🌹🌹

Hari pertama di Mesir, tentu saja ia akan gunakan mengunjungi Pyramida Giza, salah satu peninggalan Zaman Mesir kuno. Alih-alih menggunakan taksi online, ia memilih berjalan beberapa menit sampai ke halte Bus. Berbekal keberanian bertanya, ia menaiki salah satu bus yang membawanya ke Giza.

My Flying HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang