7

62 4 2
                                    

"Wah ini enak sekali Kak." Luna mengucapkannya berkali-kali sambil sesekali mengerjapkan matanya. 

Menu ayam bakar yang disuguhkan di warung pinggir jalan ini benar-benar menggugah selera makannya yang membuat Luna langsung jatuh cinta. Kenapa Ia baru tahu sekarang padahal sangat dekat sekali dengan kampus. Pengunjungnya kebanyakan juga dari anak-anak kampusnya. Menurutnya selain enak tempatnya juga bersih. 

"Kalau mau nambah masih boleh kok Aluna." Ardhan berkata serius, Ia senang ketika melihat Luna yang sangat lahap dengan makanan di depannya. 

Warung ini memang sudah menjadi tempat langganannya ketika masuk pertama kali di kampus. Sebagai seorang perantau, Ardhan memang lebih suka membeli makanan di luar daripada harus memasak sendiri. Selain tahu bahwa tempatnya lumayan bersih, Ibu penjaga warungnya juga sangat ramah. 

"Nggak Kak, ini aja cukup. Besuk kalau laper kita kesini lagi ya. Sekalian mencoba menu lain juga Kak." Luna berkata seperti itu layaknya adik yang sedang diajak oleh kakaknya. Mereka berdua tertawa lagi.

Setelah sarapan bersama beberapa hari yang lalu, sekarang Ardhan lebih berani secara terang-terangan mengajak Luna. Mereka sering bertemu untuk makan atau sekedar ngobrol saat jam kuliah Luna sudah selesai. 

Saat Ardhan sudah selesai dengan urusannya, Ia juga menunggu Luna di depan taman fakultas ekonomi atau sebaliknya. Pertemuan mereka jadi lebih intens sampai beberapa orang di kampus yang mereka kenal beranggapan bahwa mereka sudah pacaran.

Mereka berdua mengabaikan itu, yang mereka yakini untuk saat ini adalah nyaman satu sama lain dan saling mendukung kesibukan masing-masing. 

Sampai suatu saat Raya yang penasaran juga menanyakan hal serupa. 

"Kalian udah pacaran Lun?" tanya Raya penasaran waktu itu. Sahabatnya itu hanya memastikan kalau memang mereka pacaran pasti Raya sudah diberi tahu sejak awal. 

Luna menggeleng. 

"Kita tidak pacaran Ray. Ya lagi dekat gitu deh." Luna mencoba menjelaskan. 

"Kamu nggak pingin gitu pacaran sama Kak Ardhan ?. Nggak mungkin kan dia cuma main-main sama kamu Lun." 

"Raya. Kamu pasti tahu kalo Ardhan nggak kayak gitu orangnya. Cuma aku berfikir pacaran sepertinya bukan prioritas Kak Ardhan untuk saat ini."

"Kenapa kamu mikir kayak gitu Lun?"

"Katanya masih banyak planning yang harus dia kerjain. Dia juga lagi sibuk tugas akhir. Aku nggak mau ngeganggu fokus dia dengan pertanyaan-pertanyaan macam itu Raya !"

Seperti saat ini saat mereka menghabiskan waktu hanya berdua setelah seharian tidak bertemu. Daripada harus membahas hal yang serius, Luna lebih suka membahas sesuatu yang tidak rumit. 

"Sekarang. Ayo habisakan makananmu. Setelah itu ikut aku !" 

Luna menaikkan kedua alisnya seakan bertanya kemana lagi setelah ini. 

Ardhan selalu saja dengan cara uniknya untuk membuat Luna semakin penasaran.

***

Ardhan mengajak Luna ke rumah yang Ia tinggali selama hampir empat tahun ini. Sebuah rumah kontrakan yang cukup untuk dua orang. Ardhan tinggal bersama satu temannya lagi Rio namanya.

Luna awalnya ragu-ragu untuk masuk karena merasa asing di tempat baru. 

"Ini rumah kontrakanku Aluna. Aku disini tinggal berdua bersama Rio anak teknik." Ardhan membuka suara. 

"Kami sama-sama perantau dan bertemu saat ospek. Waktu itu memang banyak kost di daerah sini tapi aku pribadi kurang cocok karena kost pertama yang aku tempati terlalu banyak aturan !" Ardhan melanjutkan kalimatnya. 

Luna menyusul di belakangnya. Ia melihat sekeliling, rumah ini begitu bersih untuk ukuran seorang pria. Tidak banyak barang berserakan. Semua berada di tempatnya.

"Kenapa begitu. Kak Ardhan ingin lebih bebas?." Luna bertanya dengan polosnya.

"Bukan bebas itu yang kamu bayangkan Aluna. Hanya saja tinggal bersama banyak kepala di dalam satu atap aku tidak bisa. Belum lagi untuk urusan kebersihan."

"Ya justru karena itu kan Kak aturan dibuat. Supaya mereka yang menempati kamar kost itu bisa lebih peduli dan nggak seenaknya."

Ardhan mengajaknya di ruang tengah yang terdapat sofa untuk bersantai. Ruangan itu langsung terhubung dengan dapur kecil yang juga sama bersihnya. 

Ardhan langsung mengambilkan Luna minuman dari kulkas tanpa bertanya lebih dahulu karena hanya ada air mineral di dalamnya. 

"Silahkan di minum Aluna. Hanya air mineral."

Luna mengangguk dan meraihnya.

"Awalnya pasti mereka akan mematuhi Aluna. Nanti lama kelamaan mereka juga akan mengabaikan aturan itu. Setelah merasa tidak betah mereka akan keluar dan mencari tempat nyaman lagi. Kalau aku memang tidak mau pindah-pindah tempat tinggal." 

"Kenapa tuh Kak?" tanya Aluna mencoba menelisik seperti ingin banyak tahu. 

"Nggak enak di angkut-angkut barang saja sih. Apalagi bukuku banyak sekali. Dan... " 

Kalimatnya masih menggantung. Ardhan melirik Aluna kemudian menatapnya.

..dan disini aku sudah nyaman Aluna."

"Mau sampai kapan nyaman disini?. Kan Kak Ardhan sebentar lagi lulus. Pasti nggak mungkin kan disini terus." Luna bertanya karena memang Ia tak mengerti maksud Ardhan. 

"Benar Aluna. Aku nggak mungkin tinggal disini. Tapi entah kenapa aku mulai nyaman saat mau lulus begini ya?" 

Ardhan mencari tahu jawaban itu dengan tetap menatap mata Luna. Luna yang baru sadar bahwa Ardhan menatapnya dalam jadi sedikit berdebar.

"Pasti masa-masa kuliah bakalan Kak Ardhan rindukan." Akhirnya Luna mencoba mengalihkan perhatian dan tidak memandang Ardhan.

Ardhan tertawa kecil. "Biar aku nggak rindu kuliah makanya aku kuliah lagi Aluna."

"Nggak kaget sih Kak. Itu Kak Ardhan banget !"

"Keliatan banget ya Aluna?"

"Iya Kak Ardhan kan emang pinter. Wajarlah pasti mau nerusin sekolah lagi."

"Memangnya nanti saat lulus kuliah rencanamu apa Aluna?"

"Belum ada pikiran sampai sana Kak. Tapi kalau untuk lanjut kuliah kayaknya nggak deh," ujar Luna tersenyum memperlihatkan giginya.

Ardhan paham sekali, gadis di depannya ini memang belum punya planning sematang dia. Mungkin Aluna masih menikmati euforia menjadi mahasiswa baru. Nanti pada saatnya Luna pasti akan memikirkan rencana hidupnya sendiri ke depannya. Lagi pula rencana Ardhan kali ini memang sudah bulat, tapi kenapa dia mulai nyaman berada di kota ini semenjak Luna hadir di saat dia akan lulus kuliah. 

Ardhan tidak mungkin akan goyah untuk mengejar mimpinya hanya karena tiba-tiba bertemu oleh seorang gadis. Tetapi baru Ia sadari bahwa gadis ini ternyata sangat istimewa. Kedekatan mereka beberapa bulan belakangan ini mampu memberi warna dihidup Ardhan.

Apakah mimpinya yang sudah Ia susun sejak awal saat memasuki dunia perkuliahan harus Ia hapus begitu saja?. Ini bukan hanya mimpinya seorang diri, tetapi mimpi orang yang menyayanginya lebih dari siapapun. 

***


Hai semua aku udah posting chapter ini. Semoga suka.
Maaf kalau masih banyak penulisan yang kurang tepat, typo dimana2, sama dialog tag yang fatal. Aku akan belajar terus.
Happy reading yaa teman2 semuanya :)

Second SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang