BAB 3

58 46 0
                                    

BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!

JANGAN LUPA VOTE JUGA!!!

KLO NGGA NNTI AKU JADI REOG 👹, trs datengin rumah kalian satu satu, rorr!


****

"Taa, kamu masih sibuk ya? Kapan libur?," tanya Mavie dengan suaranya yang tak lagi riang.

"Aku belum tau, Mav. Jadwal kuliah masih runtut. Ada deadline skripsi juga. Tugas kelompok juga belum selesai," jawab Ata. Atau, lebih dikenal dengan nama 'Sean' setelah ia melanjutkan study nya di Jakarta.

"Bunda kangen loh, sama kamu. Kemarin tanya aku, 'mas Ata kapan pulang, neng?'"

"Mav, udah deh. Lagian aku juga udah telfon bunda kan? Gausah dibawa-bawa lagi soal itu," ujar Sean. Suaranya terdengar kesal karena Mavie terus mengingatkannya pada bundanya yang terus menunggunya di Jogja.

"Tapi Taa, aku juga kangen kan sama kamu. Ga bunda doang yang kangen. Aku pengen jalan jalan ke alun alun, terus naik delman keliling Malioboro juga. Atau ke museum gitu?," sahut Mavie yang semakin putus asa dengan tingah Sean yang berubah 180 derajat.

"Aku udah bilang, aku banyak tugas, Mav!," bentak Sean, ia menghela nafas, mencoba menenangkan diri. "Maaf... Aku—"

"Maaf Ta, udah gangguin tugas Ata. Jaga diri yaa, nanti lagi telfonnya. See you.."

Mavie menekan tombol merah di ponselnya. Mematikan telefon yang sedang berlangsung itu tanpa menunggu Sean menjelaskan apapun.

Mavie menenggelamkan wajahnya di bantal yang empuk dan halus itu, air mata perlahan mengalir bersamaan dengan waktu yang terus berjalan. Wajahnya tetap tenggelam di benda empuk itu, hingga akhirnya ia jatuh tertidur.

****

Hari-hari berlalu begitu sepi, sudah hampir 2 minggu berlalu dan tidak ada kabar satupun dari Sean. Seakan bumi menenggelamkan kenyataan bahwa Sean pernah terlahir, membuat Mavie terhimpit dalam ketidakpastian.

Kuas dan pena berjajar rapi, wadah cat itu mulai tertutup debu tipis. Sang seniman telah kehilangan karya nya.

Mavie menghela nafas, menyeduh teh dan menuangnya kedalam dua gelas yang berjajar.

"Kak," panggil seorang wanita yang melangkah masuk ke dapur.

"Ya, ma?," jawab Mavie.

"Habis buat teh, kita ngeteh sambil sarapan yuk? Mama buatkan roti bakar nanti."

"Okay ma, tehnya Mavie bawa masuk ya?," ujar Mavie, sambil membawa kedua gelas itu masuk ke ruang tengah. Meletakkan keduanya dimeja kecil di sudut ruangan.

Ceklik. Suara kompor yang dinyalakan terdengar. Mavie bisa mendengar suara bungkus roti dibuka. Tak lama kemudian, bau harum roti bakar memenuhi ruangan.

Mavie mendongak, melihat mamanya memasuki ruang tengah dengan sepiring roti bakar untuk sarapan. Senyum riang Mavie kembali. Wanita hebat itu selalu tahu cara membuat Mavie tersenyum, tanpa harus berusaha banyak.

Sepasang ibu dan putrinya itu menikmati sarapan pagi mereka. Mereka berdua selalu menyisihkan waktu untuk family time. Bahkan, sejak kecil, Mavie sudah sering diajak minum teh bersama.

Mavie masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana dia dan ibunya sering membersihkan rumput dihalaman rumah mereka di Solo. Keluarga itu tinggal di Solo sebelum akhirnya ayah Mavie wafat beberapa tahun yang lalu, dan keluarga itu memutuskan untuk pindah ke Jogja.

Sesekali, kembali ke Solo. Membersihkan pusara sang ayah dan menabur bunga. Berkumpul sejenak dengan kerabat di sana, lalu kembali lagi ke Jogja. Begitu terus, hingga Mavie lupa berapa kali mereka telah bolak-balik Jogja-Solo.

"Eh, kak, liat nih. Ada cowo ganteng..," kata wanita yang duduk disamping putrinya itu. Ia tertawa kecil, melihat putrinya yang langsung mendongak ke arah layar ponselnya.

"Eh iyaa looh, ganteng. Tapi lebih ganteng Ataa," sahut Mavie, ikut terkikik pelan.

"Ata lagi, Ata lagi. Ini loh, lebih ganteng," Rani tidak berhenti menggoda putrinya, menggeser layar ponselnya, memperlihatkan beberapa pria tampan lainnya.

Mavie tak bisa menahan tawanya. "Itu berarti aku tulus suka Ata. Konyol gitu, aku suka."

"Iya dehh.. Yang paling suka Ata," Rani tersenyum melihat putrinya. "Kak, mama mau tanya sesuatu..."

"Ya, apa itu ma?"

"Kita ga ada yang tau gimana kedepannya. Tapi, andaikan yaa... Andaikan aja, kakak ga menikah sama Ata gimana?," Tanya sang ibu, wajahnya perlahan menjadi serius.

Mavie menghela nafas. Dia sendiri juga pernah menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya. Tapi itu dulu. Mavie yang sekarang mulai menerima apa yang terjadi pada hubungannya dengan Ata. "Gapapa mam. Mavie punya mindset. Kalau Ata memang ditakdirkan buat Mavie, dia pasti datang. Mavie yakin. Tapi, kalau nggak, yah, gimana lagi."

"Tapi kamu jangan sedih loh, nanti malah baper, seharian dikamar," ujar Rani, mencoba menghibur putrinya.

"Mavie tau...," jawabnya. Nafas Mavie berat ketika ia melanjutkan apa yang ingin ia katakan, "Mavie ikhlas mam. Mavie ga bisa menentukan takdir yang udah berjalan. Yang bisa Mavie ubah, seperti pekerjaan, sekolah, prestasi, bakal Mavie usahain semaksimal mungkin. Tapi, ada beberapa hal yang Mavie ga bisa ubah. Dan Mavie ga mau mempermasalahkan soal itu."

"Maksudnya?"

"Mavie bakal berusaha sama sesuatu yang Mavie bisa ubah. Yang ga bisa, yasudah. Mau dibawa senang, sedih, ending nya bakal tetap sama. Mavie mau itu jadi kisah yang baik, bukan yang sedih."

Rani tersenyum melihat berapa dewasanya putri sulungnya itu. Rani ingat betul bagaimana Mavie yang masih remaja kala itu mencoba menenangkannya saat kepergian sang suami.

Mavie yang seharusnya menangis seperti anak lainnya, ia berusaha tetap tegar.

"Karena aku tau mama ga bisa, aku harus bisa mam. Nanti siapa yang ngurus adik-adik kalau mama nangis terus. Aku harus bisa kuat, karena aku tau mama lagi down." Itulah yang Mavie kecil ucapkan saat itu. Mengetahui bahwa tangisnya tidak akan memperbaiki apapun, Mavie menguatkan diri. Mulai membantu mengurus tamu, kerabat, dan kedua adiknya ketika sang ibu mengalami patah hati sepeninggalan suaminya.

Dari situ pula, Mavie mulai mengembangkan pola pikirnya. Bahwa ada hal yang tidak akan pernah ia ubah. Sekuat apapun ia berusaha, akhirnya akan tetap sama.

Pola pikir bahwa lebih baik ia menerima apapun sepenuh hati, walau tidak pernah mudah awalnya. Tapi penerimaan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Penerimaan atas hal yang tidak pernah bisa Mavie ubah. Tapi Mavie masih bisa menerima hal itu, tak lain, untuk sekedar menjalani hidup dengan kebahagiaan.




Bersambung...

Guys, cepetan voteee!!!

Tirek dalam diri ini udah mau keluar, cepet votee!! Rawrrr 👹😔

My Italian DaylightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang