BAB 5

39 33 0
                                    

Aku mencium bau-bau belum follow👃...

CEPETAN FOLLOW SBLM BACAA!! 💅💓


Happy Reading...

Kuas itu terangkat, tergores kepada sang kanvas, tapi hanya membentuk sebuah coretan tak berarti. Sang kehilangan seninya. Mavie kehilangan Sean.

Lebih tepatnya, mungkin karena Sean bukanlah gambaran yang ingin kuas Mavie lukis. Bukanlah kata yang ingin abadi dalam tiap baitnya. Tapi seorang Sean terus mengalir dalam lirik lagu itu.

Lagu itu berputar di kepala Mavie, tiap detail liriknya, tiap nadanya, tiap ketukannya, membangun sebuah Sean yang megah dan abadi. Lagu berjudul Without Me, karangan Dayseeker itu adalah salah satu lagu kesukaan Sean.

Pemuda bergaya retro dan agak berantakan itu memang cocok jika dibaurkan dengan jenis lagu rock.

Mavie menghela nafas panjang. Ia terduduk di kelasnya, entah berbuat apa. Jari-jari lentiknya memainkan sebuah pena, memutar dan melingkari pena itu, bergaya seolah-olah dirinya bisa melakukan trik memutar pena.

Berkali-kali pena itu jatuh, dan berkali-kali pula Mavie mengambilnya di lantai.

Teeetttt! Bel berbunyi, waktunya pulang. Mavie menjepitkan tutup pena itu disaku kemejanya. Jaket coklat yang tersampir di kursinya ia gunakan, dan tas hitam itu menggantung di punggungnya.

"Movie, ayo pulang, cepetan! Itu Ipan udah diparkiran!," teriak Nayara sembari melambaikan tangannya, menyuruh Mavie untuk bergegas.

"Iya, iyaa... Si paling bareng Ipan," kikik Mavie, ia mulai berlarian kecil mengikuti Nayara menuju ke area parkir kampus mereka.

"Eh, itu Ipan! Cepet, cepet, pakai helm nya." Nayara buru-buru menyelipkan helm bulat itu ke kepalanya, mengancingkan helm dengan suara klik. Dengan sigap, ia naik ke motor maticnya.

Mavie pun mengancingkan helmnya, dan naik ke atas motor. Motor matic itu melaju mengikuti motor merah milik Ivan, atau sebut saja Ipan, yang sudah lebih dulu melaju.

"Oii Nay," ucap Mavie. Perempuan itu sedikit mengeraskan suaranya.

"Ya? Kenapa?," tanya Nayara yang masih sibuk mengamati Ipan, sesekali cekikikan. Apa gantengnya sih anak itu, Mavie tak habis pikir.

"Mampir ke minimarket yuk? Pengen makan mie instan nih."

"Loh? Mama-mu ga stok mie gitu, di rumah?" Nayara membelokkan motornya kearah minimarket yang ia lihat.

"Nyetok sih..," ujar Mavie selagi melepas helm dari kepalanya. "cuma lagi pengen varian lain aja, hehe."

"Please deh Mav, yaa, gapapa sih. Lagian aku juga mau beli kok," jawab Nayara, tawa kecil yang renyah merayap keluar dari bibirnya.

****

Piring kosong itu dibilas oleh aliran air dan sabun cuci piring. Pikiran Mavie melayang, hari ini rasanya aneh. Emosinya tak karuan, seakan ingin meledak.

Kalender menunjukkan tanggal 10 Oktober. Perut Mavie tak lagi keroncongan. Mie instan memanglah bak makanan restoran bintang 5, bedanya ada pada harga.

Mavie meletakkan piring basah itu di rak, ia berjalan kembali ke kamarnya, menghamburkan tubuhnya diatas kasur. Rasanya sunyi, sepi...

Rasanya berbeda dari sebelumnya.

Tangan lentik perempuan itu meraih ponselnya, membuka akun sosial medianya.

Dering pertama...

Dering kedua...

"Halo?"

"Sean, aku mau ngobrol..."

"Tapi Mav—"

"Tapi apa lagi?," suara Mavie lirih. Ia tak lagi memiliki harapan untuk Sean.

Mavie menghela nafas, dadanya terasa sesak. Air mata perlahan mengalir dari mata coklatnya.

"Sean," ucap Mavie.

"Panggil Ata, Mav..."

"Sean, ada banyak hal yang pengen aku omongin ke kamu. Kamu banyak berubah, aku ga tau kenapa... Tapi nyatanya emang gitu," ucap Mavie, suaranya semakin lirih. "ada kalanya aku tau aku harus berhenti, tapi aku ingat janji kita, janji ku untuk menemani kamu sampai akhir semester 2 ini."

"..." Sean terus mendengarkan, nafasnya tercekat di tenggorokan.

"Aku akui, aku suka sama kamu, Sean. Aku peduli sama kamu, aku selalu berdoa, berharap yang terbaik buat kamu."

"Mav, aku—" suara parau lelaki itu kembali diputus dipertengahan.

"Makasih ya, buat 4 tahun ini. Makasih udah bolehin aku gambar kamu."

"Mavie, kamu ngomong apa sih?," tanya Sean, suara lelaki itu mulai serak. Entah hanya karena gugup, atau dia menahan tangisnya di sana.

"Sean, aku mau break dulu."

"Break? Gitu aja? Mavie, aku—"

"See you, Sean..."

"Tapi Mav—"

Panggilan suara itu selesai. Mavie mematikan telpon, dan Sean memblokir nomer nya.

Nafas Masih tercekat di tenggorokannya. Perasaan apa ini? Lega, sedih, marah, semuanya campur aduk. Perasaan dimana akhirnya sang seniman menyadari, bahwa karya itu tak akan pernah menjadi miliknya. Karya yang senantiasa ia kagumi, tapi tak dapat ia miliki.

Bak lagu tanpa nada, bak pemandangan yang tak bisa dilukis.

"Goodbye Mr. "Perfectly fine"
How's your heart after breakin' mine?"

-Mr. Perfectly Fine, Taylor Swift

Seperti inikah semua nya selesai? Mavie mengerti bahwa tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Sean Kartawijaya, sebuah karya yang ditutup bahkan sebelum selesai. Dan Alessia Mavie, seorang seniman yang kehilangan warnanya.

Kling...

Bunyi notifikasi itu kembali, dan Mavie terbangun dari pikiran dalamnya. Ia meraih ponsel itu, membaca pesan yang masuk ke ponselnya...







Bersambung...

Wahai kalian penghuni bumi, budayakan VOTE dan COMMENT.

Writer udh hampir nge-ronggeng ini, rawr...

Terimakasih sudah baca, luv u all 💓💓





My Italian DaylightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang