Perlahan Widari membuka kelopak matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah atap tempat peristirahatan di rumah penghibur, juga terdengar isak tangis dari beberapa orang di sekitarnya.
Mendudukkan tubuhnya, Widari menatap mereka yang menangis dipelukan temannya yang lain.
"Aku nggak mau di sini lagi, aku mau pulang!"
"Mereka bahkan tega membunuh orang-orang tanpa senjata yang memadai dan tubuh kurus kering tanpa berkedip sedikitpun. Bagaimana mungkin kita masih mau bertahan di sini setelah semua yang terjadi"
"Di luar sana banyak pribumi yang diminta bekerja paksa hingga mati kelaparan dan sakit tanpa diberikan pengobatan. Tapi di sini kita justru melayani mereka yang menindas orang-orang dari kaum kita"
Widari menunduk, ia menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak ikut meneteskan air mata.
Sampai seorang masuk dan menghampirinya.
"Masih sakit? Ikut aku! Biar aku obati," kata Sekar menatap luka pada leher Widari yang tak terlalu dalam, namun lumayan mengeluarkan banyak darah sebelumnya.
Widari menggeleng pelan sebagai penolakan. Dia merasa tak pantas mendapatkan pengobatan hanya karena luka kecil yang tak sebanding dengan pengorbanan para pemberontak...
Bukan--
Mereka bukan pemberontak, tapi pejuang kemerdekaan yang meninggal dalam keadaan terhormat.
Ditundukkannya kepalanya sedih. Kembali terlintas diingatannya bagaimana gadis malang tadi meninggal di tangan pria yang dia layani secara pribadi. Faktanya, tanpa sengaja dirinya'lah yang membuat Ayu tewas mengenaskan.
"Ayu--" gumam Widari memainkan jemarinya. Suaranya tertahan saat menggumamkannya.
Mendongak, Widari menatap Sekar yang juga melihat ke arahnya. "Akulah yang membuat Ayu meninggal"
Setelah mengatakannya, air mata Widari jatuh begitu saja. Sekar yang ikut merasakan kesedihan yang sama segera membawa tubuh temannya itu dalam dekapannya, ia mencoba menenangkan Widari yang terisak menyalahkan dirinya sendiri.
"Bukan salahmu..." kata Sekar menahan diri agar tidak ikut menangis.
Ditengah kesedihan diantara kedua sahabat tersebut, salah seorang gadis yang jaraknya tak jauh dari mereka memanggil Sekar yang segera melepaskan pelukannya pada Widari.
"Sekar..!"
"Kenapa..?" balas Sekar menatap Mustika yang baru saja memanggilnya, di belakang gadis itu juga ada beberapa gadis lain yang menatap ke arahnya.
Mustika tersenyum, namun senyumnya bukan senyuman ramah yang biasa dia tunjukkan. Senyum itu terlihat menyebalkan di mata Sekar. Entah ini perasaannya saja, atau memang gadis itu tengah mengoloknya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUN𝖦A PRIBUΜI |ᴅɪғғᴇʀᴇɴᴛ ʙʟᴏᴏᴅ|
Historical FictionPelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya seperti itu, sampai dimana dirinya bertemu dengan sosoknya yang bagai hutan luas. Memberikan kesan tenang diawal...