18. Realitas Kejam

1.5K 163 17
                                    

Tak tinggal seatap lagi bersama Carensa bukan berarti Widari terbebas dari masalah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak tinggal seatap lagi bersama Carensa bukan berarti Widari terbebas dari masalah. Justru kini, Lart semakin sering mendatanginya, terutama saat Widari tidak berada di rumah penghibur. Lart seolah mengabaikan istrinya, Carensa, yang tengah mengandung, dan tak memedulikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami.

Namun, yang menjadi bahan renungan Widari adalah kehamilan Carensa. Pernikahan mereka baru beberapa bulan, dan setahunya, Lart baru menyentuh Carensa sekitar tiga bulan lalu. Anehnya, perut Carensa tampak lebih besar dari usia kandungannya, seperti wanita yang sedang hamil tujuh bulan. Meski merasa janggal, Widari menepis pikirannya yang liar. Mungkin Lart telah bersama Carensa sebelum pernikahan, pikirnya. Siapa yang tahu? Mungkin saja Lart memang bajingan yang memiliki ketertarikan besar pada banyak perempuan.

Berhenti memikirkan dua orang yang menjadi sumber beban pikirannya, Widari kemudian menatap kedua temannya yang sibuk menenun selendang, bersiap menyambut hari-hari depan mereka. Teman-temannya tampak semakin cantik dan langsing, seiring waktu berlalu. Sementara itu, Widari merasa tubuhnya semakin berlemak, hilang sudah perut rampingnya yang dulu ia banggakan.

Widari terdiam, wajahnya menunjukkan rasa tak nyaman . Kusuma, yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik temannya itu, akhirnya membuka percakapan, "Widari, apa kau sudah tahu?" tanyanya, suaranya datar, tapi nadanya memecah keheningan yang menyelimuti ruangan.

Widari hanya menggeleng, kebingungan tampak jelas di wajahnya. "Istri tuanmu keguguran, kau tidak mengetahuinya?" lanjut Kusuma tanpa basa-basi, seolah berita duka itu adalah hal yang sudah tersebar luas.

Sekar, yang duduk tak jauh dari mereka, melirik sekilas. Gadis itu dapat melihat keterkejutan yang muncul di wajah Widari. Matanya membesar, wajahnya seketika pucat, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Bagaimana bisa? M-maksudku, kapan kejadiannya?" tanyanya tergagap, seakan mencoba memastikan kenyataan yang baru diketahuinya.

"Kemarin," Sekar menjawab, kali ini bukan Kusuma. Ia dengan tenang menyelesaikan jahitannya, mengambil selendang yang baru ia buat, lalu dengan lembut memakaikannya ke kepala Widari.

"Cantik," puji Sekar, senyum tipis menghiasi wajahnya, mengagumi keanggunan dan kecantikan temannya itu.

"Pakailah. Aku bisa membuatnya lagi," lanjutnya, sambil menyimpan benang dan jarumnya, berusaha mengalihkan perhatian dari topik tak nyaman itu.

Namun, Widari tetap terdiam. Hatinya masih diliputi perasaan bersalah pada mereka yang tanpa sadar mungkin dirinya sakiti. "Kemarin?" suaranya rendah. "Tapi tadi malam, tuan mengunjungiku..." kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan rasa sesal.

Dia sadar, seharusnya pria itu berada di sisi istrinya, menemani dalam duka yang begitu mendalam setelah kehilangan bayi mereka—darah dagingnya sendiri. Widari berpikir, jika mereka, para penjajah tanah kelahirannya, setidaknya akan peduli pada anak-anak mereka, tanpa memedulikan dari rahim mana mereka lahir. Namun, kenyataan yang lebih pahit menghampirinya. Pria yang selama ini dianggapnya berbeda dari penjajah lain, ternyata sama buruknya, bahkan lebih kejam. Bahkan tuan londo lain akan tetap menyayangi anak mereka dari rahim manapun dia terlahir, namun sepertinya tidak berlaku bagi Lart yang bahkan tak memiliki rasa duka sedikitpun setelah kehilangan calon anak pertamanya.

BUN𝖦A PRIBUΜI |ᴅɪғғᴇʀᴇɴᴛ ʙʟᴏᴏᴅ|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang