8. Memangnya Salah?

13 5 0
                                    

Bagi Septi, bisa memandangi langit di malam hari seperti ini adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Sejak kecil, Septi memang senang memandangi langit yang penuh bintang. Adiknya sampai membelikan hiasan bintang yang bisa di tempel di dinding. Hiasan itu kan mengeluarkan cahaya apabila ruangan itu gelap.

Mengingat bintang, membuat Septi teringat sesuatu. Sudah dua minggu Septi menjalankan life after breaking up. Hal itu membuat Septi tertunduk lesu. Entah sampai kapan ia harus merasakan perasaan ini tanpa memberitahu orang lain.

"Kakak belum tidur?"

Septi berjingkat ketika tiba-tiba saja suara menusuk indra pendengarannya. "Kenapa sih, suka banget ngagetin orang?"

Aji hanya tersenyum tanpa dosa sambil meminum susu kotak.

"Hei, kenapa melamun, kak?" Aji menjentikkan jarinya tempat di dahi Septi, membuat perempuan itu tersadar dari lamunannya.

"Siapa juga yang melamun."

"Ya kakak lah. Hobi banget ngelak," komentar Aji.

"Udah sana, ganggu aja!"

"Tidur, kak! Udah mal-"

"Iya tau," Septi memotong pembicaraan adiknya itu.

"Keras kepala." Ledeknya.

"Bodo amat!"

Aji pun meninggalkan Septi dengan masuk ke dalam rumah. Septi hanya menghiraukan adiknya itu, ia kembali menatap langit yang begitu cantik dengan bintang-bintang di atasnya.

Entah sudah berapa lama ia berada di luar rumah sembari menatap langit itu. Saat ia merasa badannya sudah semakin dingin, ia dengan cepat masuk ke dalam kamar. Tapi mengapa badannya tetap saja merasa dingin? Ah, mungkin saja itu efek terlalu lama diam di luar, sebaiknya tidur saja, Gumamnya.

Saat hendak tertidur, ia merasa sangat dingin dan tak bisa tidur. Walau sudah di paksakan, ia tetap saja tidak bisa tertidur. Hingga pukul 01.15, Ako tidak sengaja terbangun, ia merasa sangat haus. Di rasa air minum di kamarnya habis, Ako segera mengambil air ke dapur. Tetapi, saat Ako akan mengambil gelas, ia tak sengaja membuka pintu kamar anak gadisnya. Ternyata Septi belum saja tertidur.

"Kenapa belum tidur, sayang? Besok kan sekolah."

"Hmm..." Septi hanya memberikan jawaban seperti itu.

Di rasa Septi mengerjainya, Ako memegang tangan Septi. Ia merasakan badan anaknya itu sangat panas, dengan panik ia segera membalikkan badan Septi.

"Badan kamu panas banget, dek. Ini kayaknya masuk angin, bapak ambilkan obat dulu."

"Gapapa, pak. Besok juga sembuh."

"Pokoknya harus tetap minum obat!"

Dengan sedikit memaksa, Ako memberikan beberapa butir obat kepada Septi.

"Pak, Septi mau minta tolong boleh?"

"Boleh sayang, kenapa? Ada yang sakit?"

"Pijitin kaki Septi sebentar, terus nanti bapak tungguin Septi sampai tidur."

"Iya, sekarang cepat tidur." Ako pun segera memijat kaki Septi dengan lembut.

***

Semburat cahaya matahari berhasil masuk melalui celah-celah jendela kamar. Hangatnya tempat mengenai wajahnya yang bahkan belum sepenuhnya sadar terbangun dari tidur. Ditambah bising ayam yang saling berkokok, melengkapi hari dengan mentari dan langit cerah pagi ini.

Septi pun bangkit dari ranjangnya, ia berusaha sekuat tenaga agar menahan rasa sakit kepalanya itu. Ia segera berjalan menuju kamar mandi.

"Obatnya sudah diminum, dek?" Tanya Yati, sejenak menghentikan aktivitasnya mengelap meja.

Dear Stranger [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang