Dua Puluh Dua, Kala Itu [3]

201 23 0
                                    

"Renka! Ini sepedanya sudah Mbah betulkan," seru Mbah Kakung di halaman depan rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Renka! Ini sepedanya sudah Mbah betulkan," seru Mbah Kakung di halaman depan rumah.

Sementara itu, Renka sedang membantu Mbah Uti memilah kangkung di teras, terburu menyelesaikan pekerjaannya---mengikat kangkung yang siap dijual ke pasar---lalu bangun menghampiri Mbah Kakung.

Sedikit cerita, kedua orang tua Papi sibuk berkebun dan menjual hasil panen ke pasar bukan karena miskin. Papi bahkan sudah menyisihkan sebagian harta dan penghasilannya untuk Mbah Kakung dan Mbah Uti agar hidup keduanya terjamin. Mereka melakukan ini semua karena hobi, juga agar selalu semangat menjalani hari dengan berkegiatan apa pun, asal tidak menikmati masa tua dengan diam saja.

Kata Mbah Kakung, kalau diam saja malah bikin stres dan lebih gamping sakit-sakitan.

Balik lagi pada sepeda yang Mbah Kakung perbaiki. Sepeda itu milik Papi sejak zaman SMA. Usia sepeda itu memang sudah tua, bahkan lebih tua dari Renka, tetapi masih bisa dipakai karena rutin dirawat oleh Mbah Kakung.

Barusan, Mbah Kakung memompa kedua ban dan memperbaiki posisi rantai yang agak kendur karena sudah lama tidak dipakai.

Biasanya, sepeda itu hanya keluar dari rumah jika Renka berkunjung kala liburan semester. Terakhir setahun lalu kalau tidak salah. Itu pun sendirian karena sejak Papi meninggal, Mami sibuk dan susah meluangkan waktu untuk berlibur ke rumah Mbah Uti dan Mbah Kakung yang notabene mertuanya.

Itu pula alasan Renka kabur ke sini. Ia pikir Mami pasti akan segan bertanya atau berkunjung ke rumah sang mertua hanya untuk mencarinya. Jadi, Renka bisa berpuas diri berlama-lama di sini tanpa teror Mami.

Dengan sepeda, Renka ingin menyusuri jalan perkampungan di sekitar rumah masa kecil Papi. Suasananya tenang dan menyenangkan. Ribut yang tercipta saat pagi hari justru candu untuk dinikmati. Ada kicau burung yang bersahutan dengan kokok ayam, sesekali tumpang tindih dengan suara penduduk yang terdengar timbul tenggelam saling menyapa.

Meski kadang sibuk dengan ladang sayurnya: kangung, bayam, sawi, ubi, daun bawang; Mbak Kakung juga punya empat ekor kambing di belakang rumah. Suara kambing-kambing itu juga selalu jadi lagu alam terbaik Renka saat bangun pagi.

Dan, hari ini, Renka akan berkeliling dengan sepeda Papi. Terlebih ia penasaran dengan kedai kopi yang berada sekitar 300 meter dari sini, yang tidak sengaja ia lihat saat naik ojek semalam.

Jujur, kehadiran kedai itu membuat Renka senang lantaran ia punya tempat main baru saat berkunjung ke rumah Mbah Uti. Tidak hanya di rumah, lalu ke ladang, sawah, lapangan, kali, atau kandang kambing. Apalagi sekilas saat melihatnya, tempatnya terlihat nyaman dan cukup aesthetic seperti di Jakarta—mendekati, sih. Tidak benar-benar se-kekinian itu juga.

Selain itu, Renka juga tanpa sengaja melihat satu rumah penduduk yang hanya berselang beberapa rumah dari sini, terdapat plang bertuliskan "Toko Bunga Lily". Bikin ia jadi ingin mengunjunginya dan membeli beberapa tangkai koleksi bunganya.

Kumpulan Novelet Romansa (one shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang