Satu minggu setelah kepergian Ibu, duka itu masih ada. Masih menempeliku ke mana-mana. Masih suka membuat jejak basah di wajahku tanpa aba-aba.
Satu minggu setelah kepergian Ibu, aku tetap berangkat ke sekolah. Menjalani hari-hariku seperti biasa untuk mengikuti jam pelajaran, lalu ekskul atau rapat OSIS.
Satu minggu setelah kepergian Ibu, aku tidak melihat Lutfi ke rumah semalam, padahal laki-laki itu berjanji akan datang lagi saat acara tahlilan tujuh harian Ibu. Atau sebetulnya ia bilang begitu hanya sekadar basa-basi usai mengantarku pulang dari makam Ibu?
Dan, selama satu minggu setelah kepergian Ibu, aku juga tidak melihat Lutfi sama sekali di sekolah. Rasanya aneh ketika tidak menemukannya setelah kemarin-kemarin sosok itu sering berkeliaran di sekitarku sampai tertangkap terus oleh netraku. Hanya saja, saat itu aku enggan peduli padanya.
Eh, tunggu. Apa itu artinya sekarang aku jadi peduli padanya?
Terserah apa namanya, tetapi aku ingin segera mengakhiri rasa penasaran ini. Lelah juga terus-terusan dirundung resah sendirian. Lagi pula, tujuanku datang mencarinya karena aku ingin marah-marah!
Memangnya siapa Lutfi bisa seenaknya mengobral janji: datang ke tahlilan tujuh harian Ibu, menjemputku untuk berangkat sekolah sama-sama, juga menungguku selesai rapat OSIS karena mau mengantarku pulang; tapi nyatanya tidak ada satu pun yang ia tepati?
Seandainya aku punya nomor ponselnya, mungkin aku bisa segera menghubunginya. Sayangnya minggu lalu, kami sama-sama tidak terpikirkan untuk saling bertukar nomor.
Aku tiba di depan pintu kelas 11 SOS 1, kelas Lutfi. Kepalaku sedikit melongok ke dalam kelas yang tidak terlalu ramai karena 80% penghuninya sedang menikmati jam istirahat kedua di luar kelas.
"Dinda?"
Aku menoleh ketika seseorang menyapaku dari arah luar. Ternyata Tisya, salah satu teman sesama anggota OSIS yang juga penghuni kelas 11 SOS 1. Poninya tampak sedikit basah, sepertinya Tisya baru selesai isoma.
"Hai, Sya."
Jujur, aku agak sedikit canggung saat ini. Katakanlah, aku jarang berkunjung ke kelas lain hanya untuk mencari seseorang. Lebih seringnya janjian lewat pesan singkat, lalu ketemu di depan kelas atau kantin atau mana saja.
Apalagi sekarang, aku mencari seorang laki-laki.
"Cari aku?" tanyanya seraya menunjuk dadanya sendiri. "Atau cari siapa?"
Sambil bergumam pelan, pandanganku mengedar lagi ke dalam kelas, tetapi aku tetap tidak menemukan sosok yang kucari. "Lutfi lagi keluar, ya?"
Pikirku, jam istirahat begini, murid pecicilan model Lutfi pasti tidak betah jika berlama-lama di kelas. Kenapa juga aku tidak langsung mencarinya ke kantin atau ke taman pojok di area belakang sekolah---tempat biasa Lutfi berkumpul dengan beberapa teman gengnya itu saat jam istirahat---saja, ya?
"Kamu cari Lutfi?" Tisya mengernyit, sedikit keheranan. Mungkin karena ia tahu selama ini aku tidak pernah terlihat seperti berteman baik dengan Lutfi. "Ngapain?"
"Ada perlu aja."
"Ada hubungannya sama OSIS?"
"Nggak kok, nggak ada."
"Sama Orcus?" Tisya malah menyebut nama geng yang terkenal di sekolah, yang akhir-akhir ini sering keciduk tawuran dan beberapa anggotanya kena skorsing. Geng yang salah satu anggotanya adalah Lutfi.
"Nggak, Tisya. Aku ada urusan personal aja sama Lutfi."
Tisya akhirnya mengangguk-angguk paham. "Lutfi udah seminggu nggak masuk, Din."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Novelet Romansa (one shoot)
Romansa[18+] Sebuah kumpulan novelet berisi 5 kisah cinta sederhana: Telanjur Nyaman; Commuter Line; Gulali Rasa Jingga; Dua Puluh Dua, Kala Itu; dan Kembali Jatuh Cinta. *** Mari duduk, lalu luangkan waktumu sebentar untuk mengintip kisah mereka. Cukup sa...