[ 3 ]
.
.
Tangan Dika bergerak-gerak di atas meja nakas, berusaha mencari-cari jam wekernya yang berbunyi dengan mata terpejam. Setelah berhasil mematikan alarm, Dika mengerang pelan seraya memegangi sisi kanan kepalanya. Kenapa kepalanya terasa pusing sekali?
Dika tahu jika alarmnya berbunyi, artinya ia harus bergegas bersiap ke kantor. Namun, ia merasa lemas, bahkan hanya untuk membuka mata. Kelopak matanya terasa begitu berat, kepalanya nyut-nyutan, dan sekujur tubuhnya pegal-pegal.
Alih-alih berusaha bangun dan pergi mandi, Dika malah menarik selimutnya dan berbaring miring untuk memeluk guling yang terasa berbeda pagi ini.
Dalam kebingungan dan mata yang masih terpejam, tangan Dika bergerak perlahan memastikan bentuk gulingnya tidak senormal biasanya. Saat semakin ke atas tangannya bergerak hingga akhirnya menyentuh helaian rambut, sontak Dika membuka mata.
Pandangan Dika menurun. Dalam hitungan detik, ia menemukan Arra tertidur menghadap ke arahnya. Saat itu juga, Dika baru sadar tangan Arra berada di atas dadanya yang ... tunggu! Kenapa Dika tidak pakai baju?
Dika memberanikan diri menyibak sedikit selimutnya, lalu matanya terbelalak saat mendapati tubuhnya benar-benar telanjang. Begitu juga dengan Arra yang sama polosnya, yang membuat Dika terperanjat dan buru-buru menutup selimut lagi.
"Astaga! Gue sama Arra ngapain? Ke-kenapa gue sama Arra ... nggak pake baju?" Dika gelagapan dan panik jadi satu. Ia mencari-cari celana atau bajunya dengan degup jantung berantakan, yang ternyata malah mengusik tidur Arra.
Sama seperti Dika, usai menggeliat pelan dan menghela napas, Arra terbelalak kaget melihat ada Dika di dekatnya. Refleks, Arra buru-buru menarik selimut untuk menutupi dadanya.
"Pa-pagi, Dika."
"Ra---"
"Gue ...." Arra menunduk sebentar seraya memejamkan mata karena diam-diam merutuki kebodohannya. KENAPA GUE MALAH KETIDURAN DI SINI, SIH? "Gue balik dulu, Ka."
"Ra, tunggu!" Dika berniat menahan sahabatnya itu pergi. Namun, belum sempat tangan Arra tergapai, perempuan itu merintih hingga gagal berdiri.
"A-akh!"
Melihat Arra menggigit bibir bawah sambil menekan bagian bawah perutnya yang terhalang selimut, isi kepala Dika semakin penuh dengan pikiran yang tidak-tidak. Jantungnya semakin keras berdebar sampai dadanya terasa sakit.
"Ra, lo kenapa?"
Arra menggeleng. "Nggak apa-apa." Sambil mendesis, Arra bergeser pelan berusaha turun dari ranjang.
"Ra, jangan pergi dulu." Dika menangkap kedua lengan Arra dari belakang, membuat selimutnya melorot dan tubuh telanjangnya hampir terlihat. Merasa malu sendiri, Dika buru-buru megambil bantal untuk menutupi bagian depan tubuhnya. "Ra, bisa lo jelasin ke gue, kenapa kita berdua ... di sini? Dengan kondisi kayak gini?"
Arra yang sudah berhasil duduk di pinggir ranjang pun enggan kembali menaikkan kedua kakinya. Bukan tidak mau melihat Dika, hanya saja rasa nyeri dan perih di bagian inti tubuhnya begitu menyiksanya. Maka, Arra perlahan menoleh, ke arah Dika yang duduk dengan wajah kebingungan, tak jauh darinya.
"Dika, ini bukan kesalahan lo, kok. Percaya sama gue."
"Bukan itu maksud pertanyaan gue, Ra. Kenapa lo bisa tidur di kamar gue dan kita nggak pake baju?" Dika begitu frustrasi memikirkan kemungkinan terburuk yang kini menyerang kepalanya. "Ra, bukannya semalam gue lagi di bar---"
Arra melihat Dika berhenti bicara tiba-tiba. Sahabatnya itu langsung menunduk dan meremas rambutnya, menatap ke segala arah dengan gusar. Sepertinya, Dika baru saja mengingat apa yang ia lakukan di acara ulang tahun Elsa.
"Semalam lo mabok, Ka." Sejujurnya, Arra tidak ingin menyampaikan hal itu karena pasti akan membuat Dika merasa bodoh. Dika juga pasti akan merasa bersalah pada Arra karena melanggar janji tidak minum alkohol dan hangover membuatnya melakukan hal buruk di luar kendalinya. "Leon yang anter lo pulang semalem."
"Lo pasti marah banget sama gue karena tahu gue minum-minum." Dika masih menunduk, menahan kepalanya dengan tangan yang bertumpu di atas bantal.
"Iya, tapi sekarang udah nggak marah. Gue sadar gue nggak berhak ngatur-ngatur lo kayak gitu. Lo mau minum atau nggak, itu hak lo. Hidup lo."
Dika berdecak. "Jangan ngomong kayak gitu, Ra! Gue nggak suka. Kesannya lo kayak udah capek sahabatan sama gue."
Bener, Ka. Gue udah capek dianggap sahabat doang sama lo. Arra menghela napas lelah. "Ya udah, gue balik, ya? Mau bikin sarapan---"
"Kita belum selesai, Ra." Akhirnya Dika mengangkat pandangannya. "Lo belum jawab kenapa kita tidur telanjang!"
Arra menghela napas lelah. "Gue yakin lo tahu jawabannya, Ka."
"Nggak! Gue nggak tahu! Gue nggak inget apa-apa!"
"Gitu, ya?" Kenapa tiba-tiba rasa nyeri ikut menjalar ke hati Arra saat mengetahui Dika benar-benar tidak mengingat malam panas mereka? Padahal, semalam Arra bertekad, lebih baik Dika tidak perlu tahu sekalian.
"Nggak, nggak. Maksud gue nggak gitu." Dika panik dan pusing sendiri. "Argh!" Ia menggeram frustrasi saat kepingan demi kepingan memori yang terjadi di sofa semalam mulai teringat. Bahkan, muncul pula sekelebat bayangan kala Dika melakukannya di ranjang kamar. Jadi, itu bukan mimpi?
"Dika. Gue, kan, udah bilang. Lo nggak salah. Gue yang menyerahkan diri, jadi stop merasa bersalah kayak gitu."
Dika menghela napas kasar. "Kita nggak cuma sekali melakukan itu, kan?" Melihat Arra hanya diam, Dika kembali bertanya, "Gue pasti kasar banget sama lo semalem. Gue pasti nyakitin lo, Ra. Iya, kan?"
"Nggak, Dika. Lo bisa lihat, kan? Gue baik-baik aja sekarang."
Tentu saja Dika sulit percaya, bahkan pada dirinya sendiri. Semalam, ia pasti melakukannya jauh dari kata lembut saat melihat ada banyak ruam merah keunguan di sekitar leher, bahu, dan bagian atas dada Arra.
"Ra, gue minta maaf kalo semalem gue kasar---"
"Stop minta maaf, Dika!" Jangan bikin gue jadi sedih karena melihat lo kayak menyesal banget melakukannya sama gue, Ka. Padahal, semalam gue menerimanya dengan sukarela. Gue bahagia, Ka. "Bisa kita lupain aja nggak soal semalam?"
"Lo bercanda?" Dika terbelalak tak percaya. "Lo pikir semudah itu---"
"Ka, gue janji, nggak akan terjadi apa-apa setelah ini. Semuanya akan baik-baik aja. Kita bakal tetap sahabatan kayak biasanya, dan lo ... tetep bisa lanjut pedekate sama ... Elsa." Arra berusaha menahan agar suaranya tidak bergetar. "Lo nggak usah khawatir. Oke?"
Dika hanya bergeming karena isi kepalanya terlalu ribut. Pusing kepalanya semakin menjadi-jadi. Terlebih saat samar-samar bagaimana ia memanggil nama Elsa mulai muncul dalam daya ingatnya.
"Gue pinjem selimut lo dulu, ya. Baju gue ... di sofa."
Dika menghela napas berat mendengarnya. Ia seperti kehilangan alasan untuk bisa membuat Arra bertahan di sisinya sebentar lagi. Lalu, ia membiarkan Arra menarik selimut seutuhnya hingga berpindah tempat menutupi tubuh gadis itu.
Setelahnya, Dika tidak peduli jika sekarang bagian bawah perutnya hanya terhalang bantal. Ia terlalu sibuk mengikuti pergerakan Arra yang tampak tertatih melangkah pergi menjauhinya, menuju pintu kamar yang sepertinya sejak semalam tidak tertutup.
"Ra." Dika terpaksa memanggil Arra lagi saat matanya tidak menemukan sesuatu yang dicarinya ada di sekitar kamarnya.
"Hm?" Arra menoleh.
"Semalem ..., gue keluar di mana?"
***
Kisah Arra dan Dika bisa dibaca hingga tamat [10 BAB] di KaryaKarsa. Novel cetaknya juga tersedia dan bisa dibeli di marketplace toko buku online. Jangan lupa jemput mereka, yaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Novelet Romansa (one shoot)
Romance[18+] Sebuah kumpulan novelet berisi 5 kisah cinta sederhana: Telanjur Nyaman; Commuter Line; Gulali Rasa Jingga; Dua Puluh Dua, Kala Itu; dan Kembali Jatuh Cinta. *** Mari duduk, lalu luangkan waktumu sebentar untuk mengintip kisah mereka. Cukup sa...