Gulali Rasa Jingga [2]

81 11 0
                                    

[2]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[2]

.
.

Pemakaman Ibu baru saja selesai.

Satu per satu orang mulai berpamitan untuk pulang. Beberapa di antaranya menghampiriku untuk bersalaman atau memeluk seraya berkata, "Yang sabar, ya, Dinda. Yang kuat."

Dan, aku hanya mampu membalasnya dengan senyum tipis--cenderung datar--sebagai ungkapan terima kasih karena sudah mau meluangkan waktu mengantar Ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Semua berduka, tentu saja. Karena kepergian Ibu terlalu mendadak, hanya berselang dua bulan setelah Ayah dipanggil Tuhan.

Beruntung, aku masih punya Mas Danang, yang kondisinya sebetulnya tidak lebih baik dariku karena dukanya sama-sama dalam sepertiku. Namun, setidaknya, aku punya satu-satunya saudara untuk saling menguatkan.

Apalah anak tanpa orang tua di sisi mereka.

Saat Ayah pergi, kami cukup terpukul, terutama Ibu. Namun, Ibu berusaha untuk kuat dan tegar, agar anak-anaknya terus semangat meski kehidupan yang harus dijalani akan sedikit lebih berat.

Lalu, jika sekarang Ibu pergi juga, agar kami tidak kehilangan arah, kami harus meminta kekuatan pada siapa selain saling merangkul satu sama lain?

Jadi, tolong biarkan aku menetap di samping makam Ibu lebih lama. Jangan suruh aku pulang sekarang karena aku masih ingin memandangi gundukan tanah penuh bunga yang mengubur jasad Ibu, yang membuatku tidak lagi bisa memeluk Ibu selama yang aku inginkan.

Jangan suruh aku pergi karena aku masih ingin berlama-lama mengusap kayu bertuliskan nama Ibu. Air mataku refleks meledak lagi ketika membaca tanggal lahir Ibu, yang akan datang seminggu lagi. Padahal, hadiah ulang tahun untuk Ibu sudah dipesan.

Siapa sangka tahun ini Ibu pergi tanpa memberi kami--anak-anaknya--untuk merayakan hari lahirnya bersama-sama?

Sesak itu datang dan belum mau pergi.

Tanpa sadar aku meremat kuat-kuat tanah kuburan, berandai-andai sedang saling bergenggaman tangan dengan Ibu.

Aku mencari kata-kata penyemangat yang sering Ibu ucapkan, mengapa sekarang tidak lagi bisa kudengar?

Lalu, saat aku sedang begitu berduka, sedang ingin sendirian, seseorang datang. Seseorang yang sangat tidak aku inginkan kehadirannya saat ini. Sebab, suasana hatiku sedang sangat tidak baik-baik saja. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk menyambut segala macam tingkahnya yang ... selalu menyebalkan. Selalu mengganggu.

Aku mengenalnya dengan nama Lutfi. Dia satu angkatan denganku di sekolah, tapi beda kelas, bahkan jurusan. Kelasku 11 IPA 1, sedangkan dia 11 SOS 1.

Jadi, aku tidak berekspektasi dia akan hadir ke pemakaman Ibu seperti teman sekelasku yang lain. Sekalipun dia mendengar kabar duka ini, kami tidak sedekat atau seakrab seperti teman-teman OSIS dan ekskul literasi sampai mengharuskannya menyempatkan waktu datang mengucapkan belasungkawa.

Kumpulan Novelet Romansa (one shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang