Commuter Line [1]

5.2K 141 67
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[ 1 ]

.

.

Entah sudah berapa lama aku termenung duduk di kereta yang padat dan sesak ini.

Aku bahkan tidak peduli pada sepatu orang lain yang bersentuhan---menabrak atau menginjak---ujung sepatuku.

Aku juga tidak peduli pada kaki-kaki yang menekan lututku saking penuhnya kereta dengan manusia malam ini.

Aku benar-benar tidak peduli pada semua orang yang berjubel dan berdiri berdesakan di kereta.

Sebab aku hanya peduli pada isi kepalaku yang terus memutar memori beberapa jam lalu seperti kaset kusut.

Dan tanpa perintah, air mataku menetes lagi.

Buru-buru aku menunduk, mengusapnya dengan gerakan lambat, yang ternyata malah memancing air mataku untuk enggan berhenti mengalir.

Sekali lagi, aku tidak peduli jika banyak orang menatapku heran. Lagi pula, mereka tidak perlu cemas, sebab aku juaranya menangis tanpa ekspresi dan suara.

Aku menarik napas perlahan di sela bibirku yang bergetar. Aku yakin mataku sangat memerah sekarang. Sebab tangisku bukan hanya semenit dua menit berlangsung, tetapi sejak beberapa jam lalu.

Aku sudah membuang ribuan detik dengan sia-sia untuk menangis, lalu terdiam, menangis lagi, terdiam lagi, begitu terus. Mulai dari terduduk di Stasiun Kota, hingga kini kereta mulai meninggalkan Stasiun Manggarai.

Mendadak, aku mulai merasa lelah. Sangat lelah. Tidak hanya fisik, tetapi juga batin. Mataku lelah karena terlalu lama menangis, hidungku juga lelah karena terlalu sering mengeluarkan lendir, sekujur tubuhku pun ikut merasa lelah karena batinku terserang luka yang mendalam.

Sedalam aku mencintai kekasihku, yang sialnya tidak sama dalam membalas perasaanku.

Seseorang yang kusebut kekasih selama dua tahun ini, justru sibuk membiarkan dirinya terbenam dalam-dalam di tubuh wanita lain, di belakangku.

Rasa pusing di kepalaku semakin menyerang saat teringat kejadian beberapa jam lalu. Saat aku buru-buru pulang kerja, dengan semangat menaiki commuter line menuju apartemen kekasihku setelah membeli kue Harvest bertuliskan "Happy Birthday My Beloved Boyfriend" di atasnya, yang berujung dengan kue itu terjatuh begitu saja di depan kamar yang pintunya terbuka, saat aku menemukan kekasihku tengah menyatukan diri sedalam-dalamnya di belakang seorang wanita berambut sebahu.

Saat itu, rasanya aku ingin pergi ke pantry, mengambil pisau dan menusuk keduanya hingga mati. Namun, apa daya. Kakiku melemas dan tubuhku yang gemetar ambruk bersamaan dengan kue yang mendarat di lantai.

Kumpulan Novelet Romansa (one shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang