Bertolak ke masa silam, sungguh membuatku tertikam. Terguyur rasa sakit yang menghujam dan melebam. Luka di sana-sini, tanpa tahu di mana harus menemui yang menenangkan, sementara semesta selalu berdiri di depan mata(ku yang buta), dan aku selalu saja sibuk mencari di mana ia berada.
Hingga di tengah malam yang legam, ku rasa tepukan tangan di bahuku lamat-lamat. Semburat lilin akhirnya membuatku terkesiap. Naluri memang tak pernah bisa berbohong, meski gelap sudah memakan habis asa yang tak lagi tertolong.
Sekiranya aku sudah mengenalnya, seringkali aku merasa sulit menyampaikan kesah pada semesta. Tetap merintik sendiri dalam gelap yang penuh luka. Entah mengapa, apakah sebab aku tak begitu mengenalnya ataukah sebab malu untuk menceritakannya. Meski sudah kutahu, bahwa ia akan dengan terbuka membuka pintunya untuk mendengar setiap kesah yang ada. Ia selalu mampu menggunakan kedua tangannya untuk menyeka luka-luka baru dan bahkan yang sudah berlalu.
Kesah adalah ucapan batin yang keluar untuk disampaikan, bahkan ketika mulut sudah menganga terbuka,- seketika gagu mendayu menjadi bisu. Ia mengisi himpitan-himpitan ruang yang sebenarnya menginginkan pergi, namun pada kenyataannya tak beranjak dan tetap berada di sini,- seperti tak bisa melangkahkan kaki. Bahkan sekali pun ingin mengumpat, selalu saja tertahan tanpa henti.
-----
Dan sekarang aku tak akan benar-benar padam. Nyala apinya tak lagi membuat ku mengelam, sebab uluran jemarinya telah kembali menuntun ku untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku | Bagian 2: Perpisahan
Poetry"Entah bagaimana bisa menelan dan mengartikan perpisahan, sebab memang sangat rumit untuk diikhlaskan. Bahwa kenangan yang membuatnya tetap menjadi hidup, tak selamanya bisa menjadi harap,- dan mungkin semakin meredup"