Masih tentang jeda, entah sudah berapa lama. Meringkuk duduk di atas pelataran yang senyap tak berapa, dan aku masih kehabisan kata meski ada jingga menatap di jendela. Aku masih berbeda dengan sebelumnya, yang masih getir tak bertenaga, sementara mata masih menatap setitik debu yang tak bersuara.
Lagi-lagi aku terpaksa menunda cerita, merayakan rasa yang aku sendiri masih bingung bagaimana rasanya dan mengartikannya. Jalan ku masih buntu, dan aku masih butuh waktu.
Sudah bosan sekali ku rasa untuk tetap duduk diam dan merenungkan, sementara hati sudah lelah untuk melakukan,- nmun masih tetap saja dilanjutkan. Entah apa yang selanjutnya harus dilakukan, mungkinkah masih menunggu waktu atau segera menyudahi jalan buntu? Sementara mulutku masih gagu untuk sebuah penyelesaian. Tangis juga pecah selepas petang, yang meronta-ronta ingin berkemas dan segera kembali untuk pulang,- namun lagi-lagi kenyataan membuatnya menjadi berjalan pelan. Berjuang dan menyusuri persimpangan yang menghabiskan pikiran untuk menemukan jawaban.
Bertumbuh memang tak akan selalu berjalan sesuai harapan, akan ada kesempatan-kesempatan yang hilang,- pun dengan kedatangan yang tak bisa dipanggil berulang. Akan ada jawaban-jawaban yang tak bisa dibenarkan pada ego yang tak berkesudahan,- dan tidak semua cerita harus ku menangkan meski sudah besar segala yang ku upayakan.
-----
Bahwa jeda pada akhirnya mengantarku pada pengertian. Bahwa selayaknya manusia, aku tidaklah luar biasa,- untuk membenarkan ego yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku | Bagian 2: Perpisahan
Poetry"Entah bagaimana bisa menelan dan mengartikan perpisahan, sebab memang sangat rumit untuk diikhlaskan. Bahwa kenangan yang membuatnya tetap menjadi hidup, tak selamanya bisa menjadi harap,- dan mungkin semakin meredup"