Mengapa manusia takut menjadi lara, sementara ia bisa datang kapan saja tanpa terlebih dulu bertanya,- sudah siapkah menyapanya? Mungkinkah karena terbiasa bergantung dan menelan kecewa kepada manusia, ataukah sebab kita sendiri yang tak pernah merasa bahwa ada sesuatu yang lain yang senantiasa ada?
Barangkali ada rasa yang tak bisa terbaca di sela-selanya, yang menunggu waktu untuk mengisinya dengan sesegera. Barangkali ada sesuatu yang bisa kita cipta agar kembali sedikit lega.
Lalu mengapa manusia takut menjadi lara? Sebab ia akan menanggungnya sendirian saja,- bahkan takkan ada yang mampu bertanya, bagaimana akan melewatinya meski sudah mati rasa untuk menjawabnya.
Dan lagi-lagi, ini perihal waktu,- tentang bagaimana harus segera mengakhirinya meski rasa memaksa terus saja membantu. Tak ada yang benar-benar tahu berapa lama waktu akan memangkas, yang jelas memaksa akan membuatnya menjadi lebih ringkas. Lalu kata siapa sebuah paksaan untuk melewatkannya akan membuat jejas dan tak berkesudahan? Nyatanya siang tetap menjadi terang meski petir menyambar.
-----
Ini memang perihal perasaan. Semoga kita tidak tenggelam dalam lara yang mendalam,- entah bagaimanapun curamnya, semoga kita segera kembali baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku | Bagian 2: Perpisahan
Poezja"Entah bagaimana bisa menelan dan mengartikan perpisahan, sebab memang sangat rumit untuk diikhlaskan. Bahwa kenangan yang membuatnya tetap menjadi hidup, tak selamanya bisa menjadi harap,- dan mungkin semakin meredup"