Sudah banyak waktu berlalu yang kita habiskan untuk merangkai aksara dan rasa, dan kita tak sedikit pun pernah merasa. Bahwa segalanya yang sudah mengantarkan kita ke waktu sekarang nyatanya hanya sia-sia.
Sesederhana mau atau enggan, kita pun ternyata demikian. Yang acap kali memaksakan tanpa memikirkan logika yang berperasaan, dan selama bertahun-tahun kita yang tanpa lelah selalu mengulang kebodohan yang mengantarkan pada pintu-pintu lain yang berhenti di persimpangan.
Ini kisah tentang kita, yang sudah tak terbaca lagi berapa bilangannya, sebab memang sudah terlalu lama. Dan sekarang memang sudah saatnya untuk kembali menelan rasa meski patah tak henti menyusupi kedua mata.
Aku tak akan menyesali segala yang sudah terjadi, begitu pun dengan mengenalmu sekalipun aku merasa jemu. Mungkin sekarang sudah waktunya untuk kita supaya tak lagi bertemu, mari kita hapus rencana-rencana masa lalu, mengabaikan rindu dan pilu yang menunggu dan kembali menjadi asing hingga tak mengenal waktu.
Sudah seharusnya sekarang kita melupakan rasa dan remuk yang masih belum meredam, sebab seperti katamu, kita memang tak bisa menjadi sepasang,- ada banyak keganjilan hingga tak akan bisa menggenap, serta tak pernah ada seia sekata bahkan untuk hal serupa.
Aku sadar benar, bahwa aku memang bukan siapa-siapa, begitu pun dengan mu yang bukan siapa-siapa. Harusnya aku lebih mengetahuinya sejak awal, bahwa untuk mengenalmu aku tak benar-benar bisa meski sekuat apa sudah berusaha. Begitupun dengan meletakkan rasa, harusnya tidak kulakukan sejak pertama. Bahwa memaksakan rasa pada seseorang yang tidak dikenal adalah sebuah kesalahan yang tak berlogika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku | Bagian 2: Perpisahan
Poetry"Entah bagaimana bisa menelan dan mengartikan perpisahan, sebab memang sangat rumit untuk diikhlaskan. Bahwa kenangan yang membuatnya tetap menjadi hidup, tak selamanya bisa menjadi harap,- dan mungkin semakin meredup"