Selama ini aku memang tak pernah bisa mengeja namamu dengan benar, sebab mulutku akan menjadi gagap, keningku bersuar dan dadaku bergetar. Dan aku tak bisa benar-benar menatapmu meski ada yang mengantar.
Mungkin saja aku akan tetap menjadi yang mengintipmu diam-diam, sebab ketidak beranian ku untuk mengungkapkan. Dan ku pikir tidak ada salahnya jika kita tetap berteman daripada aku harus menelan penolakan,- aku tak mau berakhir dalam jurang yang ternyata kamu sendiri yang mendorongku untuk dijatuhkan. Sebab bagaimana pun, kamu adalah satu-satunya yang selama ini ku temukan tanpa keragua-raguan.
Aku pernah meminta, jika itu bukan kamu maka lebih baik tidak dengan siapa pun. Dan mungkin inilah paksaan yang kurasai sendiri selama ini sebab kedalaman yang sudah ku Selami belum juga menemui dasar yang berarti,- karena sudah terlalu dalam. Ini adalah ego yang ku telan sendiri, yang sering kali memaksa takdir yang menunjukkan hal yang lain. Dan di antara takdir-takdir yang sudah menjawab, aku masih menolak dan berkata bahwa akan baik-baik saja.
Semoga saja ini bukan akhir dari segala akhir dari aku yang sedang melipir, dan kamu sedang mampir,- di atas teras depan duduk di kursi berukir. Semoga akan banyak hal-hal baik yang hadir meski bukan kamu yang menjadi jawaban paling akhir. Namun di antara semua yang akan terjadi, tetaplah kamu yang akan menjadi syair di antara bulir-bulir pasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku | Bagian 2: Perpisahan
Poesía"Entah bagaimana bisa menelan dan mengartikan perpisahan, sebab memang sangat rumit untuk diikhlaskan. Bahwa kenangan yang membuatnya tetap menjadi hidup, tak selamanya bisa menjadi harap,- dan mungkin semakin meredup"