8. Canon Rock

12 2 0
                                    

Petra diseret ke alun-alun kota setelah beres memberikan barang sebagai jumat berkah. Andri yang jadi tersangka malah sibuk mondar-mandir ngincer camilan yang bakal dimakan nanti. Senyumnya merekah, jelas terlihat kalau dia lagi bahagia sekarang.

Beda dengan Petra. Memang kelasnya sudah selesai, keranjang yang tadi dia gunakan buat menampung coklat buatannya sendiri juga sudah dia titipkan ke pos satpam, tapi yang jadi masalah, Petra sudah beraktivitas sedari pagi. Niatnya setelah pulang langsung tidur, bukan malah jalan-jalan sore gini.

"Kak, telur gulungnya dua puluh ribu ya."

Petra yang lagi duduk di kursi dekat mamang jualan sambil minum es kopi, tersedak. Matanya melotot menatap Andri. "Nanti ada orang lain yang gabung?"

"Nggak ada. Kurang ya?" Andri balik natap mamang jualan. "Kak, ditambah sepuluh ribu ya."

"Dua puluh ribu aja, bang." Panik, Petra berdiri terburu-buru. Dia menyenggol lengan Andri. "Jangan banyak-banyak, katanya mau beli bakso bakar juga?"

"Aku udah pesen kok. Nanti tinggal diambil. Tuh kakak jualan bakso bakar ada di sebelah."

"Beli berapa?"

Andri nyengir. "Tiga puluh ribu."

Petra melongo. "Banyak banget?!"

"Kamu kan suka bakso bakar."

"Tapi ya enggak perlu beli sebanyak ini!"

Debat kecil. Agak besar aslinya. Banyak orang yang jalan melewati mereka, menyempatkan buat melirik. Debatan mereka memang pelan, tapi ya tetap bisa jadi pusat perhatian.

Petra mengalah. Andri yang menang.

Sebagai simbol kemenangan, Andri beli sosis bakar lagi dua puluh ribu.

Mereka duduk beralas rumput sedikit di tengah alun-alun, nyemilin jajanan yang tadi mereka (Andri) beli sambil natap anak-anak yang masih bermain sepak bola. Orang dewasa juga berlalu lalang, ada beberapa orang yang Petra kenal ikutan nongkrong di pinggir.

Mungkin karena ini hari UAS terakhir, jadi ada banyak orang lebih dari biasanya. Memilih bersantai setelah dua minggu berkutat dengan pembelajaran, dari pada istirahat di rumah, lebih baik cari angin di tempat ramai sambil ngemil. Itu juga yang tadi Andri jadikan alasan buat nyeret Petra ke sini, ditambah semester enam yang akan mereka masuki nanti, neraka magang sudah menanti.

"Itu anak seni yang dulu main biola terus suara fals bukan, sih? Aku inget rambutnya, jamet banget."

Petra mengangguk, lebih menyetujui omongan Andri yang bilang kalau karena rambut orennya, dia pantas dikata jamet.

Orang yang mereka maksud jalan melewati mereka sambil nenteng ampi yang kelihatan masih baru dengan punggung yang menggendong tas gitar. Wajahnya kelihatan sumringah, tapi di waktu bersamaan juga terlihat kayak orang nahan malu.

"Dia anak seni musik?"

Petra menyeruput es nya. "Bukan, anak seni lukis deh kayaknya. Kemarin dia ngobrol bareng Andra masalah jurusan, aku nggak terlalu ngeh ngomongin apaan."

"Andra adkel jurusan teknik yang anak orang kayak itu?"

Petra ngangguk. Matanya nggak lepas dari Bima, gimana tangan kurusnya menggeser resleting tas gitar sambil menyetel ampli-nya. Apa yang Bima lakuin terlalu monoton, jadi Petra milih ngobrol bareng Andri.

"Kamu udah dapet tempat magang?"

Petra lemes dengar pertanyaan Andri. "Kita baru masuk semester enam! Kita masih punya tiga bulan buat nentuin tempat magang. Jangan ditanya sekarang dong. Aku pusing."

Andri ketawa lepas. Hari ini dia nggak pakai cadar, jadi Petra bisa lihat satu titik di pipinya waktu Andri senyum. Kelihatan cantik banget. "Katanya nanti kalau belum dapat, bisa minta tolong ke dosen buat bantu nyariin."

"Dosenku juga udah bilang pas di kelas. Aku juga udah masukin pengajuan di beberapa perusahaan biar aku bisa magang di sana, tapi masih belum ada balasan. Kamu gimana? Udah dapet tempat magang?"

"Udah." Andri nyengir. "Aku mau masuk ke sekolah. Jadi guru magang."

"Serius mau masuk di sekolah? Banyak yang bilang kalau magang di sekolah ngeluarin biaya yang lebih loh. Belum lagi kalau ketemu murid yang susah diatur."

"Nggak apa-apa, kok. Aku suka jadi guru. Lagian nanti aku masuk di sekolah khusus putri, jadi nggak terlalu banyak murid yang susah diatur."

Belum aja Andri tau kalau sekolah khusus malah lebih banyak orang yang susah diatur.

"Udah bilang sama orang rumah?"

"Udah. Aku juga udah bilang kalau mulai bulan depan nggak bisa sering telpon, niat ku mau cari sampingan buat persiapan magang nanti."

Andri prepare banget, nggak kayak Petra. Petra jadi sedih pas nyadar ketidaksiapannya.

Ada suara gitar di genjreng. Nyaring banget, mungkin karena pelaku makai gitar listrik ditambah ampli, jadi suaranya lebih keras dari biasanya.

Petra noleh ke sumber suara. Bima berdiri dengan gitar listrik merah di tangan. Anak-anak kecil yang tadi main bola, sekarang beralih duduk di depan Bima. Ada tulisan di depan Bima yang terbuat dari kardus, berisi 'BUKAN PENGAMEN, JANGAN NGASIH UANG!' dan kalau dilihat lebih dekat, ada tulisan lain di bawahnya yang lebih kecil 'ps. Maaf kalau menganggu kenyamanan. Saya ijin latihan sebentar. Free request lagu asal saya tau judulnya.'

"Abang mau nyanyi?" Ada yang tanya. Jarak mereka dengan Petra nggak terlalu jauh, jadi dia masih dengar apa yang mereka omongin.

"Maaf nih, dek. Suara abang pas pasan banget, bisanya cuman main gitar doang." Bima nyaut. Wajah pucatnya lebih rileks saat diajak ngobrol.

"Yah, bang. Nyanyi balonku ada lima masa nggak bisa?"

"Kalau balonku bisa, dong. Mau dipakein gitar nggak?"

Anak-anak pada seneng. "Bisa, bang?!"

Anak-anak yang nyanyi, Bima yang ngurus melodi. Pakai gitar listrik lagi. Yang dengar banyak yang ketawa, tapi semua orang mau nggak mau mengakui kalau mereka menikmati suasananya.

Andri juga nggak lagi ngajak ngobrol, dia sibuk nyemil sambil dengerin Bima main gitar. Nggak beda jauh dari Petra.

"Mau abang mainin musik yang keren nggak?" Tanya Bima setelah nyanyi tiga lagu anak-anak.

"Mau, bang! Judulnya apa?"

"Canon Rock. Aransemen lagu lama, tapi abang jamin lagunya bagus banget. Ini lagu kesukaan abang sejak SMA, tapi abang nggak bisa jamin ya bisa nyelesaiin lagunya sampai akhir. Kalau kalian ngira lagunya jelek, itu teknik abang yang masih jelek ya, bukan lagunya. Ngerti, kan?"

Petra menggigiti sedotan, dia ikutan merasa nyaman dengar omongan Bima.

Bima mulai main. Anak-anak di depan diam. Yang mendengar ada yang sengaja keluarin HP buat merekam, ada juga yang memilih mendengarkan sambil nikmatin angin.

Petra menurunkan cup es minumannya, matanya nggak luput dari jari Bima. Nggak ada kata yang bisa menggambarkan Bima di mata Petra sekarang.

Sejak kapan?

Sejak pertama bertemu dan dengar permainan Bima di atas panggung saat MOS dulu?

Sejak Bima diam-diam menyuruh Endi buat ngasih rambutan untuknya?

Atau sejak Petra datang ke kost Arjuna dan nggak sengaja dapat bantuan dari Bima?

Dari puluhan pertemuan nggak sengaja setelah lebih dari delapan bulan berada di satu kampus yang sama, sejak kapan Petra mulai merasa kayak gini?

Canon Rock, ya?

Yang membuat jantung Petra berdebar sekarang itu lagunya atau orang yang memainkan lagunya?

Canon Rock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang