Hari ini Petra langsung ke dapur setelah subuhan bersama. Inget banget kemarin mereka ngobrol lagi pengin makan rica-rica ayam pakai resep buatan ibu dulu, jadi Petra berisiniatif bikin sendiri.
Ayahnya lagi dinas, nggak pulang sejak kemarin sampai dua hari ke depan. Yang ada di rumah cuman tiga saudaranya aja, jadi Petra cuman buat sedikit.
"Bang, mau berangkat?" Petra keluar dapur masih dengan apron yang dia pakai. Senyumnya melebar waktu lihat Alvin keluar dari kamar dengan pakaian yang udah rapi. "Mau makan dulu?"
"Nggak dulu." Alvin buru-buru, dia langsung ke depan pintu sambil pakai sepatu. "Ada meeting dadakan. Aku pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Petra ke dapur, lanjut masak.
Dengar suara langkah kaki yang turun tangga, Petra mengintip. "Sarapan dulu, yuk! Aku udah buat-"
"Maaf, Petra." Tanpa noleh, Banyu langsung ke depan. "Aku udah telat banget, tadi abis subuhan tidur sebentar. Buat hari ini aku skip sarapan dulu. Assalamualaikum."
Banyu pergi. Petra diam, dia bahkan nggak menjawab salam. Melepas apron, Petra duduk di kursi makan. Padahal dia sudah selesai masak, tinggal dipindah ke piring dan mereka bisa makan bersama.
"Kenapa, nyet?" Wirdan turun tangga sambil lompat kecil, kebiasaannya kalau mau joging pagi sambil lanjut latihan.
Petra ngelirik.
"Jangan manja dulu sekarang. Aku lagi mau berangkat, kalau mau manja-manjaan ke bang Alvin sana."
Petra menggeser duduknya biar membelakangi Wirdan. Nggak ada sahutan lagi, Petra noleh, tapi Wirdan udah nggak ada di tempatnya berdiri.
Menghela napas. Petra menutup pancinya sebelum berangkat ngampus. Masa bodo meski kelas pertamanya baru dimulai satu jam lagi.
"Gimana? Mau ikut nggak? Kali ini kita mau ke Bandung aja. Deket kok, cuman di pinggiran. Nggak ada tiga jam juga nyampe."
"Gue pikir-pikir dulu, deh."
"Ngapain masih dipikir? Lo cuman modal badan doang, nggak usah mikirin bayar yang lain. Kita udah ditraktir sama anak Arsi. Lo tinggal ikut aja."
"Siapa aja yang join?"
"Banyak sih, paling nggak sepuluh orang ada kali. Kenapa? Lo nyari siapa?"
"Ada ceweknya?"
"Jangankan cewek, lo mau cari sabu juga banyak di sana."
"Nggak, deh. Nggak dulu. Tiap gue ikut lo cekokin gue buat make mulu. Masih anak baru gue, nggak mau macem-macem di kota orang."
Lagi duduk di taman setelah beres kelas, Petra malah nggak sengaja dengar percakapan orang yang lagi jalan lambat di depannya.
"Yaelah. Kalau lo nggak mau juga kita nggak bakalan maksa, lagian kebanyakan dari kita juga masih maba. Lo jangan cemen gitu, lagaknya kayak nggak pernah buat salah."
"Gue emang sering buat salah, dosa gue bahkan nggak bisa gue tampung sendiri, tapi kalau buat ngedeketin hal yang kayak gitu, nggak dulu. Gue masih punya otak. Lo kalau mau ngajak gue buat jalan-jalan, jangan ada dua hal yang gue sebutin tadi."
Petra memiringkan kepala, nggak terlalu paham. Bocah jamet berambut oren langsung pergi ninggalin temennya di belakang, kelihatan banget kalau dia lagi marah.
Penasaran sih sama maksud percakapan mereka tadi, tapi Petra milih acuh. Nggak peduli. Data dana sponsor yang baru masuk kemarin lebih menarik. Bukan menarik, lebih tepatnya mau nggak mau harus Petra lakoni.
"Ngapain?"
Petra dongak, ngelihat Dendi berdiri sendiri. "Nggak usah deket-deket."
Dendi ketawa, dia bersandar di batang pohon. "Temen lo yang lain ke mana?"
"Andri?"
"Bukan. Temen satu jurusan lo."
"Udah pulang." Petra nutup buku, dia natap Dendi. "Aku mau tanya. Maba Seni yang gedungnya paling pojok ngapain bisa sampai ke gedung sini? Ini deket gedung Ekonomi. Dari ujung ke ujung ngapain coba? Gabut apa gimana?"
"Mungkin lagi nyari temennya? Deketnya gedung ekonomi kan ada gedung teknik Arsi, abis itu gedung Komunikasi. Lo kenapa, dah? Sensi banget."
"Aku nggak sensi!" Padahal sensi. "Terus kamu ngapain ada di sini padahal gedungmu deket gerbang masuk?!"
"Lagi nunggu temen. Dan LO SENSI!" Dendi nggak terima jadi bahan amukan. "Pulang sono. Udah sore juga."
Petra masukin barang-barangnya emosi. Cuman ngelirik Dendi, terus langsung kabur ke parkiran.
Duduk di motornya lama dengan mesin mati, Petra diam. Dia malas pulang, tapi nggak tau mau ngapain kalau nggak di rumah. Uang yang dia bawa juga pas-pasan, nggak memungkinkan buat Petra jajan bakso sendiri.
Udah jam empat sore. Mau main juga nanti pasti namanya ada di kantor polisi dijadiin orang hilang. Nggak mau dapet masalah, Petra milih pulang.
Baru buka pintu, Petra disuguhi Banyu yang masih pakai seragam sekolahnya, baru pulang juga dia. Petra melengos, dia naik tangga.
"Salamnya mana?" Alvin menginterupsi.
Ogah melirik, Petra lanjut jalan, tapi bibirnya tetap bergerak ngucap salam tanpa bersuara.
Sampai pintu kamar Petra tertutup, tiga saudara yang lagi di lantai bawah pada saling pandang.
"Kenapa tuh anak?"
Banyu mengendik. "Nggak tau."
"Tamunya dateng lagi?"
"Bukannya kemarin baru dateng?" Wirdan tanya balik.
Wirdan lanjut nonton film, Alvin duduk di sampingnya sambil main HP, Banyu melipir ke dapur sebelum ganti baju.
Nggak lama kemudian, Banyu ke ruang tengah. "Siapa yang masak?"
Wirdan natap Alvin. "Kamu masak?"
Alvin menggeleng. "Masak apa emang?"
"Ada rica-rica ayam di panci."
Alvin natap ke lantai atas. Dia menarik napas, tau kenapa sikap adik ceweknya kayak gitu. "Petra yang masak."
"Kapan?"
"Kapan lagi kalau bukan pagi tadi? Sebelum berangkat kerja aku lihat dia pakai apron."
Banyu mengusap tengkuk. "Tadi pagi Petra ngajak sarapan bareng."
"Nggak kamu turutin?"
"Aku udah telat." Banyu ambil tas yang tadi dia taruh di atas meja. "Jangan diapa-apain dulu anaknya, biarin dulu. Kalau udah jam-jam Maghrib nanti dia keluar sendiri. Jangan ke mana-mana, kalau dia keluar, kita harus kumpul semua di bawah."
Dua saudara paling tua cuman angguk-angguk. Ngebiarin si bontot ganti baju lebih dulu.
Jam lima, dua orang asik main game tapi Petra udah ngebuka pintu kamar. Alvin langsung ngajak dua saudaranya ke dapur, buru-buru ambil nasi terus bawa panci berisi rica-rica ke tengah meja.
Mereka nunggu, saat Petra udah deket, baru mereka makan.
"Enak banget gila. Ini siapa yang buat? Rica-ricanya kayak familiar banget." Wirdan.
"Rica-rica ayam kayak buatan mama nggak, sih? Enaknya bikin nagih." Banyu asal ngomong, padahal dia lahir mama udah nggak ada.
"Bumbunya mantep banget, nggak ada yang lebih enak dari ini." Alvin.
Petra buka kulkas, dia nyelipin rambut pendeknya ke belakang telinga sambil ngelirik ke arah meja makan.
"Dimakan panas-panas malah makin enak. Pedesnya nampol banget."
"Udah lama nggak makan masakan rumah."
"Kalau rasanya kayak gini, mending buka restoran aja nggak sih?"
Petra nutup pintu kulkas sambil meluk botol minum, raut wajahnya nggak sekesal tadi. "Beneran enak?"
Mereka langsung sumringah. Waktunya menjilat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Canon Rock
Ficção AdolescenteDengan mata berkaca-kaca, Petra memohon. "Ayah, aku mau dia..." 15 Maret 2024-