2. Carol of the Bells

27 3 1
                                    

Semester lima, Petra disibukkan sama kegiatan buat nyambut mahasiswa baru. Ospek.

Aslinya males. Ikut organisasi yang iseng Petra coba masuki cuman karena nggak mau lembar data bagian kegiatan kosong, malah keterima. Nggak sudi ambil bagian yang terlalu rumit, Petra mengajukan diri jadi pengurus keuangan.

Malah makin edan dianya.

"Petra, data yang kemarin gue minta tolong fotocopy-in udah selesai belum?"

Di oper-oper, tugas Petra nggak melulu di satu bagian. Menaruh tas di bawah, Petra ambil tumpukan kertas dan diserahin ke cewek di depannya. "Udah aku fotocopy semua, ya. Kalau butuh apa-apa, chat aja."

Petra senyum, palsu. Dalam hati menjerit memohon biar nggak dikasih tugas kayak gini lagi.

CAPEK!

"Duhh, kalau ditawarin bantuan kayak gini masa nggak gue ambil?" Dia cengengesan. "Lo masih punya banyak waktu luang, kan? Tolong ambil file yang dipegang Dendi, dong. Terus edit foto promosinya biar keliatan makin cakep, kalau udah upload di IG kampus ya."

Petra meringis, raut wajahnya udah keliatan nggak suka. "Dendi-nya di mana?"

"Di lapangan, lagi ngurus ospek. Kayaknya sekarang lagi sesi kontesnya, deh. Tolong sekalian rekam kegiatannya ya, pakai HP lo aja dulu. Nanti editin sekalian."

Wajah Petra masam. "Ini disuruh edit foto apa rekam kegiatan?"

"Dua duanya." Dia nyengir. Sama sekali nggak nunjukin kalau dia ngerasa salah. KALAU MAU MINTA TOLONG TUH SATU-SATU, DONG!

Petra ngangguk pelan. Niatnya mau langsung ngeloyor pergi, tapi tangannya malah ditahan. "Apa lagi?"

"Duit kas lo bawa?"

"Kenapa?"

"Bagi duit, dong. Cepek aja. Buat ajak jajan temen-temen yang lain, kasihan udah dua minggu ini sibuk terus."

Bombastic side eye. Petra melorok. "Ini duit hasil kerja kerasnya bagian pencari dana, nggak bisa dong aku kasih duitnya ke kamu gitu aja. Apalagi cuman buat jajan."

"Pelit banget." Dia ngeloyor duluan.

Petra mencibir sambil jalan ke lapangan.

Benar apa yang dia bilang tadi. Dendi ada di lapangan, di bawah pohon di mana markas panitia berada. Yang ada di meja cuman dua orang aja, sedangkan Dendi lagi sibuk mimpin kontes adu bakat yang iseng diadain dadakan buat ngisi waktu.

Nggak mau ke tengah lapangan buat manggil Dendi, Petra milih duduk di bawah pohon sambil nyari flashdisk minion.

"Nyari apa?"

"Flashdisknya Dendi." Petra berhenti nyari. Dia duduk menghadap cewek di sebelahnya. "Tau ada di mana nggak?"

"Dibawa Dendi deh kayaknya." Andri, temen beda jurusan tapi udah deket sama Petra sejak awal masuk kampus. Pakaiannya syar'i banget, selalu pakai gamis dan kerudung gede, kadang pakai cadar. Beda jauh dari Petra yang masih pakai celana kulot, kaos longgar dan jilbab segitiga.

"Dendi ngantongin HP nggak?"

Andri menggeleng, dia nunjuk HP yang ditaruh di samping laptop. "Tuh HP Dendi."

Petra meleret. Mau nggak mau dia harus nyamper ke orangnya langsung. "Ada tripod nggak?"

"Ada tuh di bawah meja. Buat apa?"

"Buat dokumentasi." Petra berdiri, ngambil tripod di kolong meja. "Aku ke Dendi dulu."

Petra lewat belakang barisan. Jalannya pelan sambil pasang HP di tripod, posisiin di tengah depan panggung. Baru dia nyamperin Dendi. "Flashdisk-mu di mana?"

Dendi ngejauhin micnya. "Flashdisk apaan?"

"Flashdisk minion. Aku disuruh ngedit foto."

Alis Dendi berkerut. "Ngapain lo yang ngurus begituan?"

Petra menghela napas, ikutan capek. "Disuruh. Mana flashdisknya? Mau aku kerjain biar cepet beres."

Dendi ngerogoh saku jas almamaternya dan ngasih flashdisk ke Petra. "Nggak usah rajin-rajin."

Petra nggak nyahut, dia langsung ngeloyor pergi nyamperin Andri. Duduk di sebelahnya terus buka laptop, mulai ngerjain editan.

Burik banget! Kameranya terlalu real sampai mahasiswa/i baru keliatan buluknya. Jadi, sebelum ngedit buat dimasukin ke akun resmi, Petra milih ngasih kecerahan yang sesuai dulu.

Lumayan, ada angin sepoi-sepoi (dari kipas yang sengaja Andri arahin ke Petra) sambil dengerin kontes abal-abal yang Dendi buat.

"Setiap jurusan harus ada perwakilan loh ya, nggak boleh nggak ada. Jurusan Matematika aja ada yang bisa nyanyi, masa jurusan Seni Lukis nggak ada yang mau ngajuin diri? Semangatnya mana, nih? Masa saya doang yang ngomong sendiri. Hayuk perwakilan silahkan maju dulu." Dendi kompor banget. Omongannya emang kerasa manis, tapi kalau nggak benar-benar dilakuin, satu jurusan itu yang bakal kena getahnya.

Gimana Petra bisa tau? Tahun kemarin ada yang begitu soalnya.

"Kak! Ada yang mau maju nih, kak. Cuman orangnya agak malu aja."

Dendi ketawa waktu ada cowok yang mukanya item dicoret arang malah ngaduin teman yang duduk di sampingnya. "Yuk, sini. Berdiri di sebelah saya. Siapa namanya ini?"

Orang yang diadu domba ogah maju, dia masih stay duduk sebelum Dendi ngasih ancaman. "Kalau nggak maju, saya hukum satu jurusan."

Dia langsung maju.

"Kurus banget buset. Kamu udah makan belum? Kenapa malah saya yang takut kamu pingsan di sini?" Dendi agak nunjukin rasa khawatirnya.

"Gini gini saya banyak makan, kak. Tenang, selama 18 tahun saya hidup, saya nggak pernah pingsan."

Dendi ketawa, dia nepuk pundak anak baru berkali-kali. "Perkenalan dulu, dong. Siapa namanya?"

"Saya Galaksi Bima Sakti, orang-orang biasa manggil saya Bima, kak. Ambil jurusan Seni Lukis." Bima ngejawab. Wajahnya santuy banget, malah dia ikutan ketawa waktu mahasiswa yang lain ketawa.

Petra dongak, natap tengah lapangan setelah selesai edit satu foto. Dia cuman senyum tipis, natap Bima yang keliatan nggak keberatan waktu ada orang tertawa dengar namanya.

Sebagai orang yang punya moralitas, Dendi nggak bahas lebih lanjut masalah nama. "Punya bakat apa, nih? Jangan bakat deh, terlalu berat. Apa yang kamu bisa buat dipamerin di sini? Mau ngelawak pun boleh."

"Duh, saya nggak punya bakat kak." Bima natap sekeliling, lalu matanya berpusat ke jurusan seni musik. "Tadi ada yang nampilin main alat musik, kan? Boleh saya pinjam dulu nggak?"

"Perwakilan yang lain tadi main biola. Susah loh, kamu bisa?"

Bima ngacungin jempol. "Bisa tapi sambil ngelawak ya, kak."

Kelihatan banget Dendi suka sama jokes Bima. Dia sendiri yang nyamperin barisan jurusan seni musik buat ambil biola. Dikasihnya ke Bima, terus dia minggir.

Bima mulai main, dia bawain lagu Carol of the Bells by Lindsey Stirling. Pas awalan bagus. Semua orang pada terpukau, Dendi yang berdiri mojok nggak berhenti tepuk tangan. Petra yang dengar suara musiknya tersenyum tipis, seolah kekesalannya tadi udah hilang.

Mahasiswa jurusan musik aja mengakui kemampuan Bima.

Sampai... Lagu yang Bima bawa jadi sumbang, padahal hampir menuju klimaksnya.

Diam. Dendi berhenti tepuk tangan, Bima juga berhenti mainin biola.

Ngelirik Dendi, Bima nyengir. "Saya tadi bilang sambil ngelawak kan, kak?"

Pada ketawa.

Pipi pucat Bima aja sampai memerah saking malunya.

Canon Rock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang