10. Usaha

15 2 3
                                    

Hari jumat di minggu pertama setelah memasuki semester enam, Petra sengaja bagiin ciki sebagai jumat berkah lebih awal. Jam kosong, Petra juga ingin 'pertemuan nggak sengaja' yang dulu selalu terjadi sekarang terulang kembali.

Deg-degan parah. Petra yang biasanya ngasih barang sambil ngajak ngobrol, ini cuman bisa senyum kaku. Berkali-kali dia menarik napas panjang, matanya menatap sekitar, lebih sering ke arah gedung seni. Orang yang menjadi targetnya nggak muncul, Petra makin gelisah.

Matahari udah sampai di atas kepala, barang yang dia bagikan sudah ludes nggak bersisa, kampus juga sepi. Kebanyakan orang milih pergi ke masjid buat shalat jumat atau milih ngadem di lab biar bisa kena dinginnya AC.

Sudah putus asa, Petra milih undur diri aja. Nggak ada kelas setelah siang hari, jadi dia jalan ke parkiran sambil mainin plastik gede yang tadi jadi wadah barang jumat berkah.

Petra jalan lewat gerbang depan, dia sengaja parkir di pinggir gerbang sambil sekalian mau melipir makan bakso depan kampus.

Berhenti jalan, Petra meneguk ludah. Dia di sana, target yang dia maksud ada di sana. Bima berdiri di tiang yang nggak terlalu panas karena tertutup rindangnya pohon di belakangnya. Rambutnya masih kelihatan basah, mungkin dia baru beres shalat jumat.

Petra menaruh plastik yang dia mainin ke tas mengambil satu plastik biskuit. Dibukanya plastik sambil jalan. Jaraknya tinggal empat langkah dari Bima, Petra menarik napas diam-diam. "A-aku punya biskuit."

Bima noleh. Wajahnya kelihatan banget kalau dia bingung, HP yang dia pegang bukan lagi jadi pusat perhatiannya. Gimana nggak bingung kalau ada cewek random berjaket merah dengan hiasan tengkorak terpasang di sisi kerudungnya sambil bawa biskuit yang sudah terbuka.

Gugup, Petra mundur selangkah. "Aku punya biskuit."

"Aku punya motor."

Bibir Petra reflek terbuka sedikit, cengo. "Aku punya biskuit."

"Aku punya laptop, punya baju bagus, punya sepatu mahal." Bima nyahut dengan kening berkerut.

Petra berkedip sekali, menahan mati-matian biar nggak tertawa. "Kamu punya biskuit?"

"Enggak."

Petra ambil tiga biskuit, lalu diserahkan sisanya ke Bima. "Nih, aku kasih."

Disodorin, mau nggak mau Bima menerima. Belum juga ngomong, Petra udah ngeloyor pergi. Sengaja.

Nggak. Nggak sengaja.

Itu refleks Petra buat mempertahanin kesadaran diri, salahin jantungnya yang berdetak nggak karuan. Bikin Petra panik. Sepanik itu sampai dia lupa kalau tujuan awalnya itu mau ke warung bakso.

Seminggu kemudian...

Hari sabtu, Petra ada kelas sampai sore, kemarin juga dia nggak ada waktu buat ngelakuin kegiatan jumat berkah. Keluar dari warung bakso sambil mengelus perutnya yang kekenyangan, Petra melihat Bima di tempat yang sama kayak minggu kemarin.

Petra merogoh saku jaketnya, nemu dua permen kaki legend yang dulu sering berseliweran waktu dia masih kecil. Dia jalan, merapikan kerudung, berdiri dengan jarak lima langkah dari Bima. "Aku punya permen."

Bima yang lagi main HP tersenyum tipis, dia mengantongi HPnya di saku celana, saat matanya menatap Petra, senyumannya udah hilang. "Apa?"

"Aku punya permen."

"Terus?"

Kaki Petra lemas dengar nada ketus Bima. "Kamu punya permen?"

Bima mengangguk, merogoh permen milkita di saku celana. "Punya."

Nggak mau nyerah, Petra masih mau berusaha. Aslinya udah ketar-ketir, dengar penolakan secara nggak langsung kayak gini bikin nyali Petra menciut. "Aku punya permen kaki merah."

"Kan gue bilang gue punya permen."

"Tapi permenmu bukan permen kaki merah!" Petra nggak sadar udah meninggikan suara. Dia nyodorin dua permen kaki merah. "Nih, aku kasih."

Petra jalan, nggak mau menoleh ke belakang. Ninggalin Bima yang bengong sambil memegang permen milkita dan kaki merah di tangan kanan.

Tangannya terkepal, gugup luar biasa. Suara di sekitarnya nggak terdengar kalau aja nggak ada orang yang nyolek lengannya.

Petra noleh, waktu tau kalau itu Wirdan, Petra mengais udara sebanyak-banyaknya. "Cara kamu ngedeketin orang kuno banget."

Pipi Petra memerah. "Kok nguping, sih?! Dosa tau!"

"Aku punya permen merah, nih." Wirdan sok-sokan meniru Petra.

"Wirdan!" Petra memperingati. Kerudung hitam yang dia pakai nggak bisa memudarkan wajah merahnya.

Wirdan mengambil alih tas yang ada di punggung Petra, dia mendorong punggung Petra pelan biar berbelok ke tempat motornya berada.

Hari ini Petra nggak bawa motor, katanya Wirdan siap antar-jemput karena hari ini nggak ada latihan. Petra nggak bisa nolak kalau kembarannya sendiri yang menawarkan.

Taruh tas Petra di centelan depan, Wirdan memasangkan helm untuk Petra. "Orangnya masih di sana nggak ya? Aku penasaran gimana wajahnya."

Petra menggeleng keras. "Nggak boleh!"

"Aku belum ngomong apa-apa loh."

"Kamu mau lewat jalan sana lagi biar bisa lihat dia kan? Nggak boleh!"

Wirdan ketawa, dia pakai helmnya sendiri. "Padahal aku cuman penasaran."

"Jangan, nanti dia kabur."

"Kabur kenapa?"

"Kalau lihat aku sama kamu, nanti dia kabur dari aku."

Wirdan naik motor sambil menahan tawa. "Dia aja nggak tau kamu, ngapain kabur?"

Terlanjur kesal, Petra memukul belakang kepala Wirdan keras. Tangannya juga ikut nut-nutan. Mukul helm sakit juga ternyata. "Mulutnya!!!"

Pulang. Masih sempat adu cekcok, mulut Petra sampai kering meladeni debatan Wirdan. Masuk ke rumah masih dengan helm di kepala, Petra mengucap salam. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Banyu mendekat. Dia melepas helm Petra saat Petra-nya sendiri sibuk melepas sepatu. "Baru pulang?"

Petra ngangguk. Dia cuman melirik waktu Wirdan lewat di belakangnya.

"Udah makan belum?"

Nyengir, Petra menyahut. "Aku tadi makan bakso."

Wirdan berbalik, mau ngomel. "Kemaren udah bakso sekarang bakso lagi?!"

"Ya kenapa, sih?! Kan pakai uang aku sendiri!"

"Kamu olahraga aja nggak pernah malah makan bakso mulu. Itu lemak kamu ke mana-mana."

Petra emosi. "Lemak-lemak aku ngapain kamu ngurusin! Lagian juga aku bisa kontrol berat badan aku biar nggak over."

Banyu yang ada di tengah-tengah mereka mengurut pangkal hidung, pusing. "Udah, dong. Apa nggak capek debat mulu?"

Cemberut, Petra menurut waktu Wirdan nuntun tangannya ke ruang tengah, di mana Anton sama Alvin lagi nyantai nonton bola.

Banyu datang dari belakang, dia duduk di sofa samping Petra, sedangkan Wirdan duduk di bawah sambil mainan benang yang mencuat dari celana kulot Petra. "Aku punya permen."

Petra sama Wirdan menoleh bersamaan.

Hening. Petra yang biasanya heboh waktu dapat pemberian apa pun dari Banyu, sekarang cuman bisa duduk melongo.

Kening Banyu berkerut. "Kamu punya permen?"

Petra mengeluarkan sisa permen kaki merah dari saku jaket.

"Aku punya yang milkita." Banyu menaruh permen milkita di tangan Petra yang masih membawa permen miliknya sendiri. "Nih, aku kasih."

Waktu Petra berkedip sekali, tawa Wirdan sudah menguar. "Emang ya, darah lebih kental daripada air."

Canon Rock Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang