Sepasang kaki telanjang di depan sana, menanti surut rajuknya Najingga. Jemarinya terus saja mengetuk. Teriring pula patah kalimat lembut yang mengudara dari mungil bibirnya. Mungkin sudah hampir 10 menit atau malah lebih—Kasera tidak tahu. Bicaranya sudah penuh dengan irama kasih sayang, semata-mata agar Najingga berluluh hati lantas ia buka pintu kamarnya.
"Jingga," Ketukan yang ke sekian mengawang di udara sebelum lenyap terganti suara sang nona. "Seharusnya aku yang marah, kenapa malah kamu yang marah? Udah gitu marahnya ke aku?"
Najingga di balik pintu kamarnya, sudah teramat geram untuk sekedar bergeming dengan telinga terbuka lebar menangkap segala oceh lembutnya Kasera.
"Kamu masih nggak tahu kenapa aku marah?!"
Kasera terjengit kecil manakala Najingga tahu-tahu menjerit. "Aku—"
"Aku marah karena kamu nggak marah sama mereka! Aku marah karena kamu nahan aku. Aku marah karena kamu kesannya lebih bela mereka daripada aku yang udah kenal kamu lebih lama dari mereka."
Kasera menarik nafas. Najingga dan virus cemburunya yang membabi-buta tidak pernah tidur meski untuk sementara. Seorang Kasera yang payah dalam hal mengusir kesalnya orang lain, selalu saja merasa kesulitan setiap kali penyakit Najingga kambuh begini.
"Jingga, itu karena aku nggak mau kamu kena masalah. Makanya aku tahan kamu biar nggak baku hantam. Kalau kamu pulang dengan keadaan luka-luka, aku mau bilang apa ke Ibu?"
Najingga tidak lagi menyahuti sementara Kasera sudah gusar maksimal. Ia menarik nafas panjang, dihembuskan kasar-kasar. Kepalanya lalu jatuh menyatu bersama pintu kayunya Najingga. Nada bicaranya jatuh begitu rendah.
"Na, buka pintunya. Temani aku makan sandwich nya. Aku nunggu lama sampai digodain cowok asing buat sandwich ini. Kamu nggak mau te—"
Kasera terhuyung, berakibat pada kalimatnya yang sampai pada setengah jalan dan tidak mampu ditamatkan dengan sempurna. Najingga baru saja membuka pintu kamarnya tanpa permisi. Kasera yang tengah bersandar pada pintu, tentu saja hampir mencium petak lantai begitu kepalanya kehilangan sandaran. Beruntungnya, Najingga si tukang ngambek itu masih punya sepercik hati nurani untuk sigap menyangga pundak sempit Kasera.
"Kasera, kamu nggak bisa sebentar aja nggak bikin orang khawatir? Ngapain di depan pintu kayak gitu? Kepalamu bisa kebentur."
Kasera terkekeh pahit, seperti sedang mencibir petuah basi dari Najingga barusan.
"Ngapain kamu buka pintu tanpa aba-aba? Aku kaget."
Najingga mengerling pada Kasera yang masih bergeming. Biasanya, tanpa penyesalan apalagi segumpal rasa gengsi, Najingga akan segera berucap maaf atas segala tindak cerobohnya yang melibatkan Kasera. Tapi kali ini, tidak mengudara patah kata apapun. Najingga masih mendamba maafnya Kasera.
Jadi, tubuhnya membungkuk lantas ia rampas kantung yang tergenggam diantara jemarinya Kasera.
"Cepetan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Smell Like Me
Teen FictionKasera Paradista beraroma manis. Di hari Senin, seperti permen kapas. Hari Selasa terasa seperti sekeranjang buah stroberi. Rabu seperti permen lolipop. Kamis aromanya menggemaskan, serupa seorang bayi yang baru didandani namun malah ketumpahan susu...