Tenda-tenda di sana membawa tawa yang mungkin tidak akan padam sampai bunga tidur menjemput. Kasera berkelit manakala hampir menabrak sekerumunan orang-orang penikmat sulap. Ramalan masa depan yang entah benar atau tidaknya, diapit oleh tenda jasa perakitan puisi dan jasa rias rambut. Sajiwa bersisian dengannya, namun seraut wajah yang digemari Kasera, sepenuhnya diacuhkan. Si nona manis yang tengah ia rayakan ulang tahunnya dengan sederhana ini, mengamati segalanya tanpa ada yang mau terlewat. Telunjuk dan ibu jarinya menggenggam kecil lengan hoodie milik Sajiwa. Takut tertinggal, pun takut terpisah dari Sajiwa.
Sajiwa berhenti sebentar, lalu Kasera yang semula terlena akan pesona meriahnya festival ini, menoleh.
"Mau pinjam tanganku?"
Sajiwa mengangkat tangan kirinya. Sebuah tangan yang Kasera puja-puja sebab nampak begitu keren di matanya. Jemarinya tak sedikitpun mengatup seolah-olah mempersilakan Kasera untuk menggunakannya semau hatinya.
Kasera sukar bila harus tersesat atau terseret arus manusia-manusia ini. Bergantung pada secuil kain lengannya Sajiwa pun tidak cukup selamat untuk tetap menjaganya senantiasa di samping Sajiwa. Lalu dengan teramat pelan, Kasera mengangkat tangan kanannya. Namun hatinya tidak sebegitu mantap yang pada akhirnya membuat tangannya mengawang di udara.
"Nggak apa-apa Kak, aku—"
"Atau mau aku rangkul?"
"Y-ya?"
Rangkul—katanya. Ditunaikan oleh Sajiwa pada Kasera yang pastinya melibatkan romansa. Tapi untuk Kasera, dirangkul Sajiwa kedengarannya begitu mengerikan atau boleh dibilang tidak ramah untuk jantungnya. Sebegitu dekatnya dengan Sajiwa, Kasera terancam pingsan saking keras jantungnya berdegup. Tidak, jangan. Paling tidak boleh terjadi bila sang nona menggemaskan ini sudah sedikit piawai memerintah debarannya.
Tangan kanannya bergerak turun lalu dengan pelan mempertemukannya dengan telapak tangan raksasa milik Sajiwa.
"Kamu harus diancam dulu, baru nurut?"
Kasera mendongak. Sebuah tawaran merangkul dari orang yang membuat hatinya jatuh, disebut ancaman? Untuk Kasera, ajakan dirangkul Sajiwa barusan sudah seperti keajaiban yang turun dari langit. Sebuah kesempatan besar namun terhalang kecilnya keberanian.
"Aturan kedua," Sajiwa kembali berucap sebelum Kasera menyahuti tanda tanyanya, "mulai sekarang, aku mau kamu bilang apapun yang mau kamu bilang. Lakuin apapun yang kamu mau. Jangan ragu kayak tadi. Bisa?"
Kasera mengeratkan jemarinya yang sekarang bertaut hangat dengan miliknya Sajiwa, lantas kepalanya mengangguk.
"Tapi Kak," kepalanya mendongak manakala kaki kembali melangkah, "Kak Jiwa beneran tidur di bawah jam 1 pagi?"
Sajiwa mengangguk. "Kamu mau lihat CCTV rumahku?"
Kasera membulat gemas. "Rumah Kak Jiwa ada CCTV? Kalau ada, itu artinya itu bukan rumah biasa. Najingga yang ayahnya tentara aja belum punya CCTV di rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Smell Like Me
Teen FictionKasera Paradista beraroma manis. Di hari Senin, seperti permen kapas. Hari Selasa terasa seperti sekeranjang buah stroberi. Rabu seperti permen lolipop. Kamis aromanya menggemaskan, serupa seorang bayi yang baru didandani namun malah ketumpahan susu...