BAB 8

46 7 2
                                    

Mimpi Buruk

        Di dalam ruang Anggrek 3, di sanalah Sherina dirawat. Saat itu Sherina tak sendirian ia ditemani mamanya dan juga sahabatnya Nissa.

“Apa Sherin udah mendingan, Nak?” mata Sekar melesat.

Nissa lantas menjawab pertanyaan Sekar, “Iya dong, Tan. Sherin pasti udah baik-baik aja sekarang. Dia, kan anak yang kuat, Tan,” sembari Nissa tersenyum.

“Iya Ma, Nissa bener. Sherin udah lebih mendingan sekarang.” mata Sherina berbinar, seraya ia menggenggam erat tangan mamanya.

“Syukurlah, Nak. Mama mohon jangan bikin Mama khawatir lagi ya sayang. Cuma kamu yang Mama punya sekarang,” seketika air mata mengalir membasahi pipi Sekar.

Sherin lalu menyeka air mata mamanya sambil berucap, “Iya, Ma. Maafin Sherin, Ma. Sherin udah nambahin beban pikiran Mama,” Sherin tersenyum simpul.

“Udah dong Rin, Tante sedih-sedihnya. Nanti Nissa ikutan mewek ... ” celetuk Nissa dengan mata yang berkaca-kaca seolah air matanya siap untuk menetes.

“Iya, Nis ... ” timpal Sherina tertawa kecil.

          Tak berkelang usai Sherina menjawab ucapan Nissa. Terdengar suara seseorang membuka pintu ruangan Anggrek tersebut. Dan orang itu adalah Lea.

“Lea ... ” panggil Sherina.

“Maaf, Rin. Gue yang ngasih tahu kabar lo ke, Lea,” papar Nissa.

Sherina mengangguk, lantas Lea melangkahkan kakinya mendekati Sherina dengan wajah menyesal. Nissa kemudian berdiri dari kursi yang ia tempati, agar Lea bisa lebih dekat dengan Sherina. Belumlah duduk, Lea sudah dimarahi oleh Sekar habis-habisan, “Oh jadi kamu yang namanya Lea. Gara-gara kamu anak saya jadi celaka!” ketus Sekar.

“Ma ... udah. Ini bukan salah Lea. Memang Sherin yang mau bantuin Lea, Ma ... ” pungkas Sherina berusaha bangun dari tempat tidurnya.

“Ya ampun ... gimana ini?” celetuk Nissa seraya ia mondar-mandir sendiri.

“Maafin Lea, Tan. Lea beneran enggak bermaksud bikin Sherin celaka,” sanggah Lea.

Di saat yang bersamaan Alma melihat wajah Lea seperti ketakutan, bibirnya memucat dan tubuhnya berkeringat, lantas Alma membangunkan Lea dengan memukul pelan wajah Lea tiga kali. Ternyata di perjalanan menuju rumah sakit Lea ketiduran dan dia mimpi buruk.

“Mi ... gimana kalau mimpi Lea jadi kenyataan?” rasa takut terlukis diwajah Lea.

“Enggak sayang percaya sama Mami, semuanya bakal baik-baik aja.” yakin Alma.

“Iya sayang, Mami dan Papi akan selalu ada buat kamu, Nak.” sahut  Erik.

“Yaudah kita turun sekarang, Nak. Kebetulan kita sudah sampai,” bujuk Alma.

“Iya, Mi,” Lea mengikuti arahan kedua orang tuanya.

          Langkah demi langkah tetap Lea jalani. Ketakutan yang Lea rasakan bukan tanpa alasan. Sebab dia tahu yang namanya orang tua akan selalu membela anaknya atau bahkan setiap orang tua akan menjauhkan anak-anak mereka dari orang-orang yang sekiranya menjadi pembawa masalah seperti dirinya.

***
         
          Sesampainya Aiden di rumahnya, semula ia sempat berpikir kalau Narendra sudah pulang ke kost’sannya namun ternyata, “Assalamu’alaikum Bik,” kemudian Aiden membuka pintu rumahnya.

“Wa’alaikumsallam, Aden ... ” canda Naren seraya menyenggol bahu Aiden.

Mata Aiden melotot, “Lo kok masih di sini? Gue pikir--”

“Emang enggak boleh gue sebagai temen lo dari kecil berlama-lama di sini? Om Lian aja enggak masalah!” Naren tersenyum dengan penuh teka-teki.

“Loh bokap gue udah balik?” sela Aiden.
Naren tersenyum tipis, “Yee ... cari tahu aja sendiri!”

Aiden merasa penasaran kemudian ia bergegas memeriksa kamar papanya, lalu ke ruang kerja papanya, lanjut ke ruang tamu, ke dapur. Dan di dapur Aiden bertemu dengan Ami, “Ada apa Den?” tanya Ami.

“Bentar ya, Bik.” sahut Aiden.

“Oh iya, Den tad--” ucap Ami terpotong, sebab Aiden terlanjur pergi.

Aiden bergegas ke garasi, ke kolam renang, terakhir ke taman mini  di belakang rumahnya, “Lo bohong ya?” hidung Aiden seperti kembang kempis.

Wait! Perasaan tadi gue enggak ada bilang kalau bokap lo masih ada di sini!” jelas Naren tanpa rasa bersalah.

“Tetep aja. Dasar!” wajah Aiden berubah masam.

“Bukannya lo selalu bilang, kalau lo enggak peduli mau bokap lo ada di rumah atau enggak. Tapi kok kayaknya agak lain?” goda Naren.

“Kali ini bercanda lo enggak lucu!” kesal Aiden.

           Ketika Aiden beranjak dari taman, muncullah Ami dengan napas yang terengah-engah. Ternyata Bik Ami sedari tadi mau mengatakan kalau tadi Lian sempat pulang ke rumah namun hanya sebentar. Dan Lian menitip sebuah surat yang dikhusukannya untuk Aiden.

“Ini, Aden,” sodor Ami.

“Makasih, Bik nanti Aiden baca,” jawab Aiden.

“Den-den, gue udah lo maafin, kan?” tanya Naren sembari ia mengedipkan mata, namun Aiden tetap cuek-cuek saja.

“Makanya Naren, kalau bercanda itu jangan kelewatan!” tegur Ami bercanda.

“Bibik, bukannya bantuin Naren,” Wajah Naren seketika memelas menyesali perbuatannya.

            Sejujurnya Aiden tak pernah bisa marah terlalu lama kepada Narendra. Sebab selama ini di sekolah Aiden hanya akrab dan percaya dengan Naren dan Genta saja.

***
            
            Sesampainya Lea di depan pintu kamar tempat Sherina dirawat. Lea lantas membuka pintu itu sambil memejamkan mata. Lea berdo’a agar ketakutannya tak menjadi kenyataan. Ternyata pada saat Lea berhasil membuka pintu itu, kebetulan Sekar juga ingin keluar.

“Tante,” tutur Lea ternganga.

“Nak  Lea, ya temennya Sherina? Gimana keadaan mu, Nak?” ramah Sekar sangat berkebalikan dengan yang berlalu lalang dipikiran Lea.

Alma lalu mendekati Lea dan Sekar, “Iya Mbak, alhamdulillah putri kami baik-baik saja. Ini semua berkat bantuan putri, Mbak,” timpal Alma.

“Syukurlah. Semoga, Nak Lea tidak trauma dengan kejadian tadi, ya,” sambar Sekar sembari mengelus rambut Lea.

“Iyaa ... Makasih Tan,” Wajah Lea berseri, “Apa Papi bilang, semuanya aman-aman aja, kan?”  bisik Erik tepat ditelinga Lea.

“Papi ...” mata Lea melotot ke arah Erik.

“Nak, Lea mau besuk Sherin, kan? Buruan masuk aja! Di dalam juga ada Nak, Nissa.”

“Iya, Tan,” Lea mengangguk kemudian berpamitan dengan Mami dan papinya.

“Enggak sekalian masuk aja, Mbak?” tawar Sekar kepada Alma.

“Enggak usah, Mbak.  Kita berdua di luar aja. Biar itu jadi moment-nya anak-anak.” timpal Alma.

“Iya betul juga, Mbak ... ” celetuk Sekar tersenyum.

Sebelum mendekati Sherina, Lea jadi teringat kesalahan yang telah diperbuatnya. Lea sampai berniat memutar arah karena belum punya keberanian menemui Sherina.

“Lea sini ... ” panggil Sherina, “Syukurlah Lea udah dateng,” celetuk Nissa mulutnya melengkung membentuk senyuman.

“Iya ... ” singkat Lea masih sedikit canggung.

            Tak ada yang berubah dari Sherina. Ia sama sekali tidak menyalahkan Lea atas kecelakaam yang menimpanya. Lagipula ia sudah merasa baik-baik saja sekarang. Dan karena waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, Nissa kemudian pamit pulang.

“Hari ini akan jadi hari terbahagia buat gue pribadi, karena akhirnya sahabat-sahabat gue akur lagiii ... ” Nissa begitu bahagia.

“Iya, Nis maafin gue, karena gue persahabatan kita hampir ret--”

“Persahabatan kita itu kuat banget, gue yakin persahabatan kita ini akan bertahan sampai nanti, janji ... ” mata Nissa berkaca-kaca.

“Janji ... ” serentak Sherina dan Lea, Kemudian mereka berpelukan erat sekali.

“Eumm ... btw sebentar lagi, kan mau magrib, gue pulang dulu. Takut orang tua gue cemas sama gue,” Nissa.

“Bareng gue aja, Nis. Gue bentar lagi mau pulang,”  tawar Lea.

“Bener tuh, Nis,” sambar Sherina.

“Enggak usah Yak, gue dijemput kok sama Kakak gue,” ungkap Nissa.

“Sejak kapan lo punya kakak, Nis? Kakak beneran atau kakak-kakak’an, nih?” canda Lea.

“Yee ... beneran, Yak ... selain kakak gue juga punya adik,” spontan Nissa, “Udah ah, gue balik dulu ya by ...” lanjutnya.

Take care,  Nis,” kompak Sherina dan Lea.

            Saat Nissa beranjak pergi kini tinggal Sherina dan Lea. Semula mereka sempat merasa bingung mau mulai bicara darimana alhasil Sherina memberanikan diri membuka obrolan lebih dulu, “Lo enggak dilukain, kan sama penjahatnya?”

“Gue aman kok. Lo beneran udah baik, kan? Masih kayak pusing atau gimana gitu?” mata Lea melesat.

“Pusing sih, masih tapi sedikit.” beber Sherina.

“Kak Aiden--”ucap Lea terpotong.

“Lo enggak perlu cemas soal kak Aiden, Yak.  Gue beneran enggak ada hubungan dan perasaan apa-apa ke kak Aiden.” spontan Sherina, ia benar,benar tak ingin pertengkaran yang baru saja reda malah terulang lagi hanya karena Aiden.

“Lo yakin, Rin? Gue harap antara hati dan perkataan lo bener-bener sesuai,” senyum terbit diwajah Lea. Ia lega mendengar ucapan Sherina. Sherina hanya tersenyum tipis nan menganggukkan kepalanya.

           Di tengah-tengah perbincangan itu Sekar masuk ke ruangan Sherina sembari menyampaikan pesan dari orang tua Lea bahwa mereka sudah mau pulang. Sebab Erik besok pagi mau ketemu klien ke luar kota. Jadi benar-benar harus berangkat dari pagi.

“Kalau gitu gue pamit pulang dulu, ya. Cepet sembuh Sherinaaa ... ” Lea lantas memeluk Sherina dengan amat bahagia.

“Makasih, Yak. Salam ya buat orang tua lo. Makasih juga karena kalian udah nyempetin waktu besuk gue di sini,” pesan Sherina.

“Siap nanti gue sampein. Assalamu’alaikum,” Lea lalu menyambut tangan Sekar lantas berpamitan juga, “Waalaikumssallam” jawab Sherina dan Sekar berbarengan.

         Tak begitu lama Lea lalu keluar, Sekar lantas menyuruh Sherina makan. Meski makanan itu terasa hambar karena yang menyuapi adalah mamanya sendiri, Sherina jadi lebih semangat melahapnya. Sherina menatap wajah mamanya, tak sengaja air mata jatuh dan membasahi pipinya, “Loh kok putri Mama nangis? Apa makanannya bener-bener enggak enak , Nak?” cemas Sekar.

“Enggak kok, Ma. Cuma Sherina bersyukur aja sama Allah, karena Sherin masih punya Mama,” air mata haru terus menetes.

“Iya sayang ... Mama juga bersyukur masih ada kamu dihidup Mama. Kamu yang menjadi alasan Mama, makanya Mama bisa bertahan sampai detik ini,” urai Sekar juga tak kuasa menahan tangisnya.

“Capek ah, Ma nangis mulu,” canda Sherina.

“Yaudah, Nak kamu istirahat, ya,” tutur Sekar dengan lembut.

Sekar lalu memasangkan selimut ke tubuh putrinya. Sekar juga mencium kening Sherina dengan penuh cinta dan ketulusan selayaknya kasih seorang ibu kepada anaknya.

***
            
           Di kamar Aiden, di sana terdapat banyak buku, mulai dari buku pelajaran, buku tentang bisnis, komik, ada pula gitar, ada juga lukisan yang memperindah kamar itu dan di sana juga ada televisi yang bisa menjadi teman untuk Aiden tatkala ia sendiri. Si Naren masih saja mencari akal supaya Aiden mau memaafkan kesalahannya. Dan terbesit nama Sherina di benaknya. Naren lantas cari tahu tentang Sherina ke teman-temannya yang dekat sama adik kelas. Setelah sepuluh menit menunggu akhirnya usahanya membuahkan hasil dan Naren mendapat kabar kalau Sherina sudah mulai pulih.  
   
“Eumm, Den lo udah dapet info terbaru belum soal Sherina?”

“Apa?” singkat Aiden.

Giliran bahas cewek aja di jawab? – gumam Naren, “ Katanya Sherina udah baik-baik aja sekarang.” jelas Naren.

“Oh,” singkat Aiden.

“Oh doang?” Naren seolah muak dengan sikap Aiden. Naren lantas menggigit bibirnya lalu mengambil tasnya dan bergegas keluar dari kamar Aiden.

Baru empat langkah Naren beranjak, Aiden langsung berucap, “Kalau lo mau gue maafin, gue punya satu syarat.” tawar Aiden.

“Syarat apa lagi?” wajah Naren memelas.

“Nanti gue kasih tahu, sekarang mending kita makan dulu,”  ajak Aiden.

“Gitu kek dari tadi, peka dikit!” celetuk Naren.

             Di tempat yang berbeda, Nissa sampai ke rumahnya. Ketika Nissa masuk, seorang lelaki dengan tubuh berisi, kulit sawo matang, dan kumis tebal lantas menyindirnya dengan berkata, “Anak gadis kok enggak tahu jam!”

            Sementara Nissa lebih memilih langsung menemui mamanya di dapur daripada harus menanggapi perkataan laki-laki itu sekalipun orang itu adalah Papa kandungnya.

***

Terkadang hal yang paling menakutkan bagi kita, bisa jadi sebaliknya. Awali saja semuanya dengan bismillah ☆☆☆

             

Sherina ElzaviraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang