BAB 10

43 7 6
                                    

Sebuah Janji

          Seusai makan Lea, Nissa dan Udin lantas kembali ke bengkel. Dan untungnya mobil Papa Lea sudah selesai diperbaiki. Mereka kemudian bergegas menuju rumah sakit sebelum jam besuknya habis.

“Bismillah ... semoga setelah ini enggak ada hambatan lagi,” harap Nissa.

“Aamiin Ya Allah ... ” sambung Lea.

              Di ruangan Anggrek 3, Sherina merasa bosan terus berbaring di atas ranjang. Terlebih karena Sekar tak kunjung kembali. Seketika terlintas dipikirannya tentang percakapan Aiden dan Naren tadi. Dia jadi penasaran dan ingin cara tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Genta. Perlahan Sherina bangun dan turun dari tempat tidurnya kemudian melangkah mendekati ruang rawat Genta. Ketika itu Sherina melihat Genta sedang berbincang dengan seorang gadis kecil seperti adiknya. Genta menangis sembari menyesali perbuatannya Genta berucap, “Maafin Kakak, Dek. Maaf Kakak belum bisa jadi Kakak yang baik untukmu,” Genta terus merintih.  
   
               Sherina lalu mengeluarkan ponsel mamanya dan merekam baik-baik ucapan yang keluar dari mulut Genta, dalam rekaman itu terdengar jelas kalau Genta terpaksa mencuri demi membayar biaya sekolahnya dan adiknya. Genta memang bekerja paruh waktu tetapi uang itu hanya cukup untuk mereka makan saja. Hati Sherina jadi terenyuh, sekarang ia sadar kalau masih banyak orang di luaran sana yang diberi Allah cobaan yang begitu besar dibanding dia.

Tak berselang, seketika ada tangan seseorang yang mendarat di bahu Sherina. Sherina sudah gelagapan lantas seseorang itu lalu bersuara, “Nak, kenapa kamu berdiri di sini?” tegur Sekar

“Mama ... Sherin pikir, Mama tadi siapa?” tepis Sherina.

“Ngapain kamu disini, Nak?” mata Sekar berkeliling.

“Oh enggak, Ma tadi Sherin bosen aja di kamar, jadi Sherin keluar buat nyari udara segar,” tutur Sherina.

“Oh gitu, yaudah yuk masuk, Nak. Kita siap-siap kata dokter kamu udah boleh pulang,” jelas Sekar riang.

“Wahh alhamdulillah ... yuk, Ma,” Sherina bersemangat kembali ke kamarnya.

                Selang lima belas menit kemudian, Sherina dan Sekar sudah selesai beres-beres. Tak lama terdengar suara dari luar pintu ruangan Sherina dan orang itu dalah Lea dan Nissa.

“Assalamu’alaikum, Rin, Tante. Ya kita telat, Sherin udah mau pulang,” celetuk Lea.

Sherin dan Sekar mengangguk, “Syukurlah, Rin. Cepet pulih pokoknya, biar lo bisa masuk sekolah lagi,” celetuk Nissa.

“Aamiin ... makasih, ya bestie-bestie guee,” wajah Sherina menampakkan rona merah.

“Sama-sama. Ahh ... peyuk-peyuk,” canda Lea.

                Lantas Sherina, Lea dan Nissa berpelukan sembari berbagi kehangatan dan kebahagiaan. Seketika Sekar berucap, “Loh, Tante enggak diajak?” Sekar mengedipkan mata.

“Mama,” sambung Sherina dengan mata yang berkaca-kaca, Sherina merasa bahwa dengan kehadiran mamanya dan kedua sahabatnya, mereka yang menjadi pondasi Sherina sehingga Sherina tetap kuat meski tanpa ayah dihidupnya.

“Yuk, Tan ... ” ajak Lea.

           Sherin, Lea dan Nissa kemudian memeluk Sekar dengan penuh keceriaan yang kian terpancar diwajah ketiganya. Moment indah itu milik Sherina yang tak akan ia lupakan sampai kapan pun juga.

***
    
           Dua hari kemudian setelah Sherina keluar dari rumah sakit. Paginya sekitar pukul 05.00 WIB, Sherina sudah bangun tidur dan sengaja masak untuknya dan mamanya sarapan sekaligus untuk dibawanya ke sekolah nanti. Meskipun masakan yang Sherina buat sangat sederhana, hanya ada nasi goreng, telur goreng, dan sambel ikan teri, itu saja sudah membuatnya bersyukur. Ternyata saat Sherina memasak nasi goreng, aroma bawangnya tercium jelas dari kamar Sekar. Sekar sampai terbangun dari tidur dan berjalan menuju dapur.

Sherina ElzaviraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang