Bagian dari Permainan
Seusai menatap Aiden pergi, seketika ada orang yang memegang pundak Sherina seraya berbisik tepat di telinga Sherina, “Hmm ... lo dikasih makanan ya sama si mas-mas tadi? Cieee ... kayaknya dia naksir samo lo,” ceplos Retta dengan raut wajah yang berbinar.
“Apa sih, Tak. Mana mungkin?” tepis Sherina.
“Apanya yang enggak mungkin, Rin? Kelihatan banget dari sorot mat--” ungkap Retta terpotong.
“Woy masih niat kerja enggak, sih? Ngobrol mulu kerjaannya!” cetus Nana.
“Iya,” timpal Sherina dan Retta, “Ngomel mulu kerjanya!” gerutu Retta.
“Hush. Nanti Nana denger lagi,” bisik Sherina.
“Bisikin apa lo? Pasti lo ngejelekin gue,” cecar Nana.
“Kepo banget lo!” ketus Retta.
“Tak, udah. Mending kita bersihin meja sekarang,” ajak Sherina.
Retta kemudian menarik napas dalam-dalam sembari mengangguk lalu berbisik dalam hati, Seandainya gue enggak butuh kerjaan ini, mungkin gue udah lama banget resign, tapi ... kalau gue keluar, Sherina gimana? Pasti Nana bakalan tambah semena-mena sama dia. - mata Retta melesat.
Tanpa sengaja Retta menjatuhkan gelas yang di genggamnya, hingga mata orang-orang yang ada di resto itu menjadi tertuju pada Retta, “Tak, lo lagi mikirin apa? Udah kamu duduk dulu, biar gue yang bersihin pecahan gelas ini,” Sherina kemudian menuntun Retta untuk duduk. Kemudian mengambil sapu dan sekop.
“Makanya kalo kerja yang fokus, salah mulu!” cemooh Nana memicingkan mata.
Tak lama Aldi muncul dari arah ruangannya lantas melotot melihat Sherina yang sedang memungut serpihan gelas yang pecah, “Masih niat kerja di sini atau enggak?” gertak Aldi mengagetkan Sherina.
“Maaf, Pak. Bukan Sherina yang--” sela Retta perlahan berdiri dari tempat duduknya.
“Maaf, Pak. Saya beneran enggak sengaja,” lantang Sherina.
Sok banget belain Retta. Tapi bagus deh, makin buruk Sherina di mata Pak Aldi. Itu artinya bakalan lebih mudah gue nyingkirin dia dari sini. - gumam Nana dengan tersenyum licik.
Dahi Aldi seketika berkerut, ia seolah tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke ruangannya.
Nana melirik dengan mata yang berkilat, Wait ... kok Pak Aldi enggak ngamuk atau ngelakuin apa gitu? Enggak seru deh. -
“Rin, kenapa lo enggak bilang yang sebenernya aja--”
“Enggak pa-pa, Tak. Lo bahkan seribu kali lipat jauh lebih baik ke gue,” Sherina tersenyum dengan tulus.
“Mau sampai kapan kalian ngobrol? Cepet bersihin!” omel Nana.
“Siap, Mak,” sahut Retta.
“Mak?” Nana menggertakkan kakinya, sembari mengempal tangannya erat-erat.
Retta masih terheran-heran dengan sikap Sherina. Ia amat bersyukur karena telah dipertemukan dengan orang yang baik dan tulus seperti Sherina. Dengan kejadian itu, membuat Retta semakin yakin untuk tetap bertahan kerja di sana tak peduli sebenci apa pun Nana kepadanya.
***
Sesampainya di rumah Genta, mata Genta dan Naren seolah terpana melihat perbedaan penampilan Aiden dari hari-hari biasanya, mata Genta dan Naren melihat dari ujung kepala Aiden hingga le ujung kakinya. “Wow, bukan main ganteng banget Aiden hari ini,” Naren lantas menepuk tangannya tiga kali.
“Habis dari mana lo? Tumben rapi banget,” goda Genta sembari mengangkat alisnya.
Aiden lalu menjawab, “Gue habis ketemu klien Papa.”
“Wajar ... sebagai anak pengusaha kondang, harus bisa jaga image juga,” ledek Genta.
“Lo terlalu berlebihan, Ta,” ucap Aiden sembari memberikan makanan untuk Genta, Naren dan Amel.
“Ini apa, Den?”sanggah Genta.
“Ini yang gue demen dari Aiden, tahu banget yang gue mau ha-ha-ha,” Naren tertawa lepas.
“Jujur banget lo, Ren,” sahut Genta memukul pelan pundak Naren.
“He-he,” Naren.
Seusai mereka makan, Aiden kemudian terbayang dengan kata-kata yang ia ucapkan kepada Sherina di resto tadi. Ia sendiri seperti ragu apa mungkin setelah ini ia tak akan mencampuri atau bahkan peduli pada Sherina lagi? Aiden seolah hanyut akan lamunannya sendiri.
“Lo kenapa, Den?” celetuk Genta.
“Gue lagi mikirin Sherin--” ucap Aiden terhenti, “maksud gue, gue lagi mikirin solusi buat lo, Ta.”
“Oh ... ” timpal Naren dan Genta serentak sembari mata mereka saling menatap.
“Gue serius. Gue juga udah nemuin ide yang pas buat Genta,” terang Aiden.
“Apa?” kompak Naren dan Genta seolah masih tak percaya sambil mereka saling melempar lirikan.
“Gimana kalo sekarang Genta kerja jadi kurir di resto Mahendra aja, kebetulan tadi gue baca info lokernya di resto itu,” tawar Aiden.
“Oh ... masih ada kaitannya sama Sherina,” spontan Naren mengangguk.
“Ya gue nyaranin Genta buat kerja di resto itu, karena kayaknya di sana bisa kerja paruh waktu. Jadi enggak ganggu waktu sekolah Genta. Tapi kalau Genta enggak mau, juga enggak pa-pa,,” alih Aiden.
“Gue mau kok, gue tahu gimana susahnya nyari kerja, apalagi gue bahkan belum lulus SMA,” jawab Genta.
“Bagus kalo gitu, secepatnya lo bikin dan masukin lamaran ke sana.” Aiden.
Naren hanya mengangguk-ngangguk, seolah berusaha untuk tidak menggoda Aiden lagi. Aiden kemudian pamit pulang kerumahnya, sementara Genta sibuk menyiapkan segala sesuatu untuknya melamar kerja.
***
Bumantara* sudah semakin gelap, mata Sherina nampak lelah sekali. Ia bergegas tidur supaya besok tubuhnya kembali fit dan ia semangat lagi. Namun sebelum ia benar-benar terlelap, bayang Aiden seolah menghantui, tanpa sadar Sherina lalu teriak, “Kalau kakak mau pergi, ya udah pergi aja!”
Seketika suara Sherina mengagetkan mamanya yang sedang mengambil secangkir minum di dapur, Sekar buru-buru menemui Sherina. Sekitar sepuluh langkah, Sekar tiba di kamar Sherina, Sekar kemudian berkata, “Ada apa, Nak? Siapa yang ganggu kamu?” tutur Sekar.
“Eumm ... enggak mungkin deh, gue bilang kalau gue lagi kepikiran sama Kak Aiden,” – lamun Sherina, “Enggak ada kok, Ma. Sherina lagi ... lagi belajar drama aja, Ma. Kebetulan Sherina ada tugas di sekolah,” jelas Sherina.
“Oh gitu, yaudah. Sekarang kan udah malem, jadi belajarnya dilanjut besok lagi ya, Nak.”
“Iya, Ma. Met istirahat, Mama sayang .... ”
Sekar kemudian mendekati Sherina, lantas merapikan selimut Sherina.
Maafin Sherin, Ma. Sherin boong sama, Mama.- Sherina menatap mamanya menyesal.
Sebelum keluar dari kamar Sherina, Sekar lalu memberikan sebuah kecupan di kening putrinya. Setelah itu Sekar mematikan lampu kamar Sherina karena Sherina lebih suka tidur dalam keadaan yang gelap atau minim cahaya.
***
Besok paginya di sekolah, Lea lebih ceria, senyum sembringah, dan nampaknya lebih ramah dari sebelum-sebelumnya, “Kesambet apa, sih gadis satu ini?” celetuk Sherina.
“Rin ... gue belum bisa move on sama kejadian di resto kemaren. Gue seneng banget, ternyata Papi gue ada kerja sama dengan papanya Kak Aiden,” Lea sampai mukul-mukul badan Sherina.
“Iyaa, Yak. Gue turut seneng ngedengernya,” senyum terbit diwajah Sherina.
Rin, lo memang enggak ada bilang apa pun ke gue, tapi entah kenapa gue yakin kalo lo sebenernya ada rasa sama Kak Aiden,- gumam Nissa dalam hatinya.
“Nissa kok bengong? Lo enggak ikutan seneng juga, Nis?” tanya Lea.
“Eumm ... iya, gue seneng kok, kalo lo bahagia gini,” jelas Nissa.
“Ahh ... jadi terhura, gue bersyukur banget punya bestie secantik dan sebaik kalian,” Lea kemudian memeluk kedua sahabatnya itu.
“Lo juga baik pake banget, Yak,” ungkap Sherina.
Seusai berpelukan, mereka bertiga dengan kompak masuk ke kelasnya. Mereka pun belajar dengan lebih semangat dari biasanya. Tak terasa waktu istirahat telah tiba, saat mereka hendak ke perpus seseorang berlari dengan kencang sembari mengatakan kalau ada yang sedang adu mulut di tengah lapangan. Karena penasaran, Lea buru-buru menarik kedua sahabatnya untuk melihat pertikaian itu juga. Sesampainya di lapangan, mereka turut terkaget ternyata yang cekcok adalah Aiden dan Kenzo.
“Mereka ada masalah apa, sih?” spontan Lea.
“Kalau lo enggak pernah ada rasa sama Sherina, mending lo enggak usah deketin dia!” gertak Aiden.
Ketika mendengar ungkapan Aiden, orang-orang yang mengenal Sherina lantas menatap Sherina dengan kompak, “What? Kak Aiden dan Kak Kenzo beramtem hanya karena cewek kayak Sherina? Yang bener aja?” spontan seorang siswi dengan julid.
“Iya, mending kalau mereka ribut gara-gara Kak Clarissa, lah ini mereka ribut cuma karena Sherina. Apa sih kelebihan dia?” sahut siswi lain sembari memicingkan mata nan membusungkan tangan di dada.
“Tuh lo denger sendiri kan, Rin. Semua orang juga tahu, kalo lo itu enggak sebanding sama gue,” celetuk Clarissa yang tiba-tiba muncul di dekat Sherina.
“Betul tuh!” tambah Bella.
Di waktu yang bersamaan, Nissa lalu menggenggam tangan Sherina. Nissa seolah ingin berkata sebanyak apa pun orang yang tak berpihak kepadanya, tetapi ia akan selalu ada bersama Sherina. Sherina kemudian melepaskan tangan Nissa, Nissa lalu mengangguk. Sherina lalu dengan berani hadir di tengah-tengah Aiden dan Kenzo.
“Kak cukup! Bisa enggak Kak, Kakak enggak usah ikut campur tentang kehidupan saya. Apa Kakak selama ini belum puas ngerecokin hidup saya, iya?” Sherina menatap Aiden dengan berlinang air mata.
“Gue kasihan sama lo, Den. Gue tahu sebenernya lo enggak mau kehilangan Sherina. Tapi--" lamun Naren.
Melihat air mata yang kian jatuh dipipi Sherina, entah kenapa hal itu turut membuat dada Aiden terasa sesak, “Gue ... gue--” ucap Aiden terpotong.
“Atau gini, mending kita tanding futsal aja. Siapa pun yang menang nanti dia berhak deket sama Sherina dan yang kalah, harus jauhin Sherina,” tawar Kenzo.
“Ok. Siapa takut?” jawab Aiden dengan lantang.
“Bagus,” jawab Kenzo tersenyum tipis.
“Apa lo yakin, Den? Lo lupa kalo Kenzo itu kapten futsal? Itu artinya dia pasti jago banget mainnya,” bisik Naren.
“Lo jangan gitu dong, Ren. Sebagai temen Aiden, lo harus support dia juga, mana tahu Aiden yang menang,” sela Genta mengangkat kedua bahunya.
“Iya-iya ... ” Naren sedikit gelisah.
“Kenapa harus ada tanding-tanding gini, Kak? Buat apa? Saya juga enggak mau jadi bahan pertaruhan!” elak Sherina melotot pada Aiden.
“Lo tenang aja ya, Rin. Pasti gue yang menang,” lagak Kenzo.
Alih-alih Sherina yang tak ingin pertandingan itu diadakan, orang-orang sudah ribut dan seolah terbagi menjadi dua kubu. Sebagian membela Kenzo, dan nampaknya lebih banyak orang yang berpihak kepada Aiden, meskipun mereka tahu kalau Kenzo adalah kapten futsal sekalipun. Tiba-tiba Kenzo lalu mendekati Sherina, sambil ia berkata, “Jangan lupa dukung gue, ya. Support lo itu yang utama,”sambil Kenzo mengelus rambut Sherina, seolah ingin pamer kepada Aiden.
“Sabar, Den,” ucap Genta seraya menepuk pundak Aiden, mendengar ucapan Genta, Aiden buru-buru memalingkan muka dari Sherina dan Kenzo.
“Sebenernya gue pengen banget ngedukung Kak Aiden, tapi kalau Sherina yang diperebutkan dan Kak Aiden sampai menang berarti--” lamun Lea.
“Kita berdua ngikutin apa kata lo, Rin. Tergantung lo mau ngedukung siapa,” terang Nissa.
“Eumm ... gimana sih, Nis. Sherina pasti ngedukung Kak Kenzo. Ya kali Sherin ngesupport Kak Aiden, bener kan, Rin?”
“I--ya” Sherina sedikit terbata.
Sepulang sekolah, di lapangan khusus futsal, pertandingan antara Aiden dan Kenzo benar-benar dimulai. Perasaan Sherina menjadi tak karuan. Semua orang telah berdiri dan mendukung jagoannya masing-masing. Terdengar riuh suara tepuk tangan, sembari siswi-siswi itu teriak menyebut nama Aiden dan Kenzo secara bergantian. Namun Bella seolah tak menyangka, dua idola di sekolah mereka bertanding hanya ingin dekat dengan Sherina.
“Nanti lo juga akan tahu, maksud dari pertandingan ini hanyalah bagian dari permainan,” Clarissa setengah senyum sembari memicingkan mata.
“Wait ... permainan siapa, Sa? Apa yang gue enggak tahu?”
“Udah ... enggak usah terburu-buru, ntar lo juga akan tahu,” tepis Clarissa sembari ia melangkah mendekat ke arah Kenzo.
Pertandingan dimulai dan nampaknya sedari awal Kenzo sudah lebih unggul dari Aiden. Sherina nampak bingung sendiri, meskipun ia benci kepada Aiden tetapi ia juga tak ingin Aiden dipermalukan karena pertandingan yang dianggapnya tidak begitu penting.
“Lo gimana, sih? Harusnya lo seneng, Kenzo lebih unggul dari Aiden,” cecar Clarissa.
“Iya dasar cewek plin plan! Masih untung Kenzo ngelirik lo, lagian apa sih yang ngebuat Kenzo suka sama lo, aneh,” oceh Bella menatap Sherina dengan sinis.
“Udah, Rin. Jangan dengerin mereka, mending lo fokus aja nonton pertandingannya,” saran Nissa.
“Gue berharap semoga kali ini, Kak Kenzo yang menang,” gumam Lea.
Sekitar setengah jam berlalu, dan Kenzo tetap unggul. Mereka lalu istirahat sejenak, Kenzo kemudian buru-buru mendekati Sherina sambil berkata, “Minum dong, Rin.”
“Rin, Kak Kenzo mau minum,” tegur Lea.
“Ehh iya, sebentar, Kak,” Sherina kemudian membuka tutup minum dan memberikan minuman yang digenggamnya kepada Kenzo.
“Melamun mulu kerjanya,” celoteh Clarissa.
“Kenapa enggak, Kakak aja yang ngasih minum ke Kak Kenzo kalo gitu,” timpal Nissa.
“Loh kenapa mesti gue,” ceplos Clarissa.
“Udah, Nis,” ucap Sherina sambil ia mengedipkan mata ke arah Nissa.
“Emang sekeren itu kapten futsal kita, iya kan, Rin?” sambung Arga.
Sherina sempat terdiam, ia lalu mengangguk, “Gue enggak nyangka ternyata semudah ini ngalahin Aiden,” remeh Kenzo.
Di sisi lain, Naren seolah mengerti perasaan Aiden, yang selalu mencuri pandang melihat kedekatan Sherina dan Kenzo. Naren kemudian berkata, “Minum dulu, Den. Meskipun ini bukan dari tangan Sherina, anggep aja gue ini Sherin kedua,” canda Naren mencairkan suasana.
“Sherina kedua? Aneh-aneh aje lo,” sanggah Genta.
“Ya namanya juga usaha, ngehibur hati bro gue yang gundah,” terang Naren.
“Jujur banget lo,” tambah Genta.
Tak begitu lama, ternyata Lea mundur dari barisan pendukung Kenzo. Ia lalu berjalan mendekati Aiden sambil ia menyodorkan sebotol minuman untuk Aiden, “Ini, Kak diminum dulu,” tawar Lea ramah.
Sementara Aiden hanya diam nan melamun, “Ambil, Den!” sambar Naren sambil menyenggol tangan Aiden.
“Iya. Makasih,” jawab Aiden singkat.
“Sama-sama, Kak,” raut wajah Lea berubah merona. Lea nampaknya begitu bahagia, sebab kebaikannya sudah mulai diterima oleh Aiden.
Seusai istirahat, Aiden lantas menunjukkan skill-nya sehingga Aiden berhasil mengejar ketinggalan skor-nya dari Kenzo. Sampai di menit-menit terakhir, Aiden menatap wajah Sherina, ia melihat Sherina sampai memejamkan mata. Aiden berpikir mungkin saja Sherina benar-benar ingin Kenzo yang memenangkan pertandingan itu. Akhirnya Aiden merelakan untuk kalah alias membiarkan Kenzo mencetak gol untuk yang terakhir kalinya. Terdengar kegembiraan dari arah pendukung Kenzo dan sebaliknya terdengar pula rasa kekecewaan dari pendukung Aiden.
“Kenapa lo lengah, Den. Dikit lagi,” sambil Naren memukul keningnya.
“Udahlah, kita enggak tahu apa yang sebenernya terjadi,” tepis Genta.
Sementara Kenzo dengan bangga, keluar dari arena pertandingan dan menyampaikan kabar baik itu kepada Sherina dan pendukungnya yang lainnya, “Yee, Kak Kenzo memang,” Lea nampak girang.
Seusai mendengar ucapan Lea, semua mata seolah tertuju kepadanya, “Loh emangnya ada salah?” lontar Lea.
“Hebat banget lo bro, gue emang dari awal tuh udah yakin, kalo lo bakalan menang,” ungkap Arga dengan senyum terpampang jelas di wajahnya.
“Iya dong bro, ini juga berkat support lo, dan yang lainnya juga,” Kenzo melirik Sherina.
“Cie-cie ... ” rayu para pendukung Kenzo.
“Sekali lagi, gue ucapin selamat buat lo, Kenzo,” tutur Clarissa sambil ia mengulurkan tangan, dan Kenzo buru-buru menyambut tangan Clarissa.
“Ya meskipun katanya Kenzo suka sama Sherina, nyatanya dia masih gercep aja nyambut tangan cewek lain,” celoteh Bella sedikit meremehkan.
“Siapa, sih yang enggak terpesona sama kecantikan gue,” lantang Clarissa tersenyum sinis.
“Den, lo harus inget kesepakatan kita. Karena lo kalah, lo harus jauhin Sherina!” alih Kenzo seraya teriak.
“Lo tenang aja, gue bukanlah orang yang suka ingkar janji,” tegas Aiden.
Mereka lalu bubar, Aiden kemudian bergegas untuk pulang ke rumahnya sambil belajar menerima kekalahannya. Di susul oleh Naren dan juga Genta. Sementara Kenzo mau merayakan kemenangannya dan sempat menawari Sherina juga namun Sherina menolak sebab ia harus kerja. Sherina pamit pulang duluan kepada Nissa, Lea, serta Kenzo karena sebentar lagi ia harus sudah ada di resto.
***
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di benak seseorang, kecuali ia sendiri dan Allah SWT ~Notes!
Bumantara* berarti langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherina Elzavira
Teen FictionSherina Elzavira merasa kehilangan pegangan hidup, ketika ayahnya meninggal dunia. Kondisi keluarganya semakin memburuk ketika ibunya mengalami ganguan mental dan mereka jatuh miskin. Di tengah keputusasaan, Sherina bertemu sang idola di sekolahnya...