BAB 16

30 6 0
                                    

Rencana Clarissa

        Menyadari orang misterius itu tetap mengikutinya, dengan tangan yang gemetar Sherina lalu mengeluarkan handphone yang ada di tasnya dan mencoba menelpon seseorang secara acak. Dan ternyata ia mengklik nomor Nissa.

“Hallo, Rin. Lo di mana sekarang? Lo udah sampe rumah, kan?” tanya Nissa.

“Gue-gue masih di jalan pulang, tapi gue takut banget sekarang, Nis. Seseorang ngikutin gue terus,” bibir Sherina bergetar.

“Ya ampun, Rin. Tunggu ya, lo jangan panik. Gue bakal cari bantuan sekarang,” spontan Nissa.

“Hallo, Nis. Kenapa handphone gue harus mati, sih?” air mata kian berlinang membasahi pipi Sherina.

“Duhh gimana ini, gue harus minta tolong ke siapa?” Nissa kian mondar-mandir, suaranya sampai membangunkan ibunya yang tidur di kamar sebelah.

“Ada apa, Nis?” tanya Ratna dari arah luar kamar Nissa.

“Buk, Nissa bingung harus minta tolong ke siapa? Sekarang Sherina di jalan dan lagi dalam bahaya,” Nissa sampai menitikkan air mata.

“Nak, tenang dulu. Kamu jangan ikutan panik, supaya kamu bisa berpikir jernih,” saran Ratna.

“Tapi, Buk. Gimana kalau Sherin sampai kenapa-napa,” Nissa terus menangis.

“Nak, sekarang kamu coba ingat-ingat, ada enggak temen mu yang cowok deket sama kamu atau Sherina. Siapa tahu mereka bisa bantu,”  cakap Ratna.

“Bentar, Buk. Nissa ingat-ingat dulu,” Nissa lantas diam sejenak, dan ia jadi teringat akan cerita Sherina kemarin, yang bilang saat Sherina keselek makanan, orang yang peduli dan sontak memberi minum ke Sherina adalah Aiden. Ia lantas mencoba menelpon Aiden dengan cara meminta nomor Aiden dari Narendra terlebih dahulu.
Mulanya Aiden enggan mengangkat telpon dari Nissa, namun karena Nissa terus menelpon Aiden berkali-kali, alhasil Aiden terpaksa menjawab panggilan tersebut.

“Maaf dengan siapa?” ketus Aiden.

“Kak, saya Nissa temen akrabnya Sherina. Kak please bantuin Sherina sekarang. Dia lagi dalam bahaya,” Nissa bicara dengan tergesah-gesah.

“Bukannya tadi Sherina lagi dinner sama Kenzo. Terus Kenzo ke mana?” celetuk Aiden.

“Itu dia masalahnya, Kak. Kak Kenzo enggak pernah dateng, sedang Sherina tetep nungguin Kak Kenzo sampai larut malam gini,” Nissa menjadi semakin takut.

“Hah? Kenapa Kenzo--”  sanggah Aiden terpotong.

Please, Kak. Kita enggak punya banyak waktu, Kak. Tolong, Kak bantuin Sherina sekarang,” rintih Nissa.

“Ok. Sekarang kamu sharelock  ke Kakak lokasi terakhir Sherina. Kakak bakal meluncur sekarang juga,” putus Aiden.

“Iya, Kak,” Nissa dengan cepat mengirimkan info lokasi itu kepada Aiden. Aiden lantas mematikan panggilan Nissa.

“Ya Allah, semoga Kak Aiden dateng tepat waktu. Semoga Sherin baik-baik aja, aamiin ....”

“Aamiin ... ibu juga berdo’a untuk keselamatan Sherina, Nak.”

Ratna kemudian memeluk Nissa dengan penuh kehangatan dan pelan-pelan mengusap air mata Nissa dengan lembut.
Sementara di rumah, Sekar kian cemas, hari sudah larut malam, namun putrinya tak kunjung pulang, “Nak, kenapa handphone mu tiba-tiba enggak bisa di hubungi?” pikiran Sekar kian tak karuan, “Mama juga salah karena enggak nanyain sama siapa dan di mana kamu dinner,  Nak,” sesalnya.

Saat Sherina menambah laju kendaraannya, seseorang itu nampaknya semakin mengejar Sherina. Sehingga orang itu berhasil memepet motor Sherina di jalan yang sepi. Orang itu berusia sekitar lima tahun lebih tua  dari Sherina, ia mengenakan hoodie berwarna hitam dengan wajah yang banyak tatonya.

“Neng cantik, mau ke mana? Kok buru-buru banget,” celoteh si penjahat itu dengan gampangnya.

“Pergi!” spontan Sherina.

“Galak ternyata ... tapi enggak pa-pa, justru saya tambah suka. Nanti ajalah pulangnya, mending main dulu sama saya,” celetuknya tanpa rasa bersalah.

“Pergi! Jangan ganggu saya!” tegas Sherina.

Mendengar Sherina yang begitu kasar, si penjahat tadi semakin penasaran. Penjahat itu justru nekad mencuri kunci motor Sherina.

“Balikin sekarang!” mata Sherina melotot.

“Takut ... ” ledek penjahat itu, “Kalo lo mau kunci ini balik, lo harus ikut gue,” lanjutnya.
Melihat si penjahat itu kian semena-mena, Sherina lalu mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya, “Pak tolongin saya,” teriak Sherina seolah-olah ada orang yang berada di belakang si penjahat tadi. Saat penjahat itu menoleh, barulah Sherina berlari sekuat tenaganya.

“Kurang aja lo mau nipu saya, ya?” sesaat setelah penjahat itu sadar.

Penjahat itu tanpa ragu mengejar Sherina dan menarik-narik tangannya. Dan hendak membawa Sherina ke sebuah rumah tua tak jauh dari jalan yang mereka lintasi. Tak ingin menyerah, Sherina juga sempat menginjak kaki si penjahat tadi dan mencoba melarikan diri namun sayang usahanya pun masih gagal. Sherina juga sempat teriak tiga kali, berharap ada orang yang mendengar jeritannya dan berkenan membantunya.

“Percuma lo mau teriak sekencengnya, enggak akan ada yang denger juga,” lantang si penjahat itu tertawa puas menatap Sherina, dengan tatapan yang penuh bahaya.

"Ya Allah bantu hamba ..." – jantung Sherina berdegup kencang dengan napas yang tak teratur.

Saat Sherina hampir tiba di rumah tua itu, dan tubuhnya sudah sangat lesu, ia seperti sudah kehilangan energi setelah ia berusaha kabur beberapa kali. Sherina hanya berharap akan ada keajaiban yang akan menuntunnya keluar dari masalah ini. Tiba-tiba, seseorang menendang punggung penjahat itu dari belakang. Seseorang itu juga dengan sigap menghampiri Sherina, “Maaf, gue telat,” sembari Aiden meletakkan tangannya di pundak Sherina.

“Kakak datang?” ucap Sherina dengan bibirnya yang kian memucat dengan mata yang berlinang air mata, “Gue enggak nyaka orang yang akan nyelametin gue hari ini adalah Kak Aiden,” – Sherina.

“Iya, gue datang. Lo baik-baik aja, kan?” mata Aiden melesat.

“Awas, Kak!” Sherina lantas mendorong Aiden hingga punggung Sherina yang terkena pukulan kayu yang cukup keras.

Aiden dengan spontan memegangi tubuh Sherina, “Rin ... lo yang kuat, ya. Gue janji bakal ngasih pelajaran ke dia!” Aiden menatap penjahat itu dengan tatapan tajam sembari menepikan Sherina ke tempat yang lebih aman.

“Lo yang gagalin rencana gue, itu artinya lo harus terima akibatnya!” seru penjahat itu.

“Jangan banyak omong!” tanpa jeda Aiden lantas memukul wajah penjahat itu.

Perkelahian antara mereka berlangsung cukup lama, Aiden hampir kalah dan kening Aiden juga berdarah. Karena merasa sudah lebih unggul si penjahat tadi lalu memberikan penawaran kepada Aiden, “Atau gini deh, kita sama-sama nikmatin tuh cewek, jadi gue untung lo juga untung, gimana?” enteng si penjahat itu.

“Gue enggak akan pernah melakukan perbuatan sehina itu!” spontan Aiden sembari mengerakan kekuatannya untuk menahklukan si penjahat tadi. Sampai si penjahat tadi tak bisa berkutik lagi alias pingsan.

***
             Seusai berhasil mengalahkan penjahat itu, Aiden bergegas mendekati Sherina yang sudah menangis ketakutan, Aiden dengan gantleman-nya menenangkan Sherina dengan bilang, “Rin, sekarang lo aman. Penjahat itu enggak akan ganggu lo lagi,” tenang Aiden sambil menyeka air mata Sherina dengan jari telunjuknya.

Wajah Sherina nampaknya masih sangat pucat nan merasa ketakutan,  tubuhnya pun gemetar, Aiden perlahan memeluk Sherina dan membiarkan Sherina menangis dalam dekapannya. Keduanya larut dalam pelukan itu, Gue enggak pernah berpikir kalau dalam hidup gue akan ada moment seperti ini . - Sherina.

Entah kenapa bisa memastikan lo baik-baik aja, cukup ngebuat gue lega dan bahagia. – Aiden.

Seusai Aiden memastikan Sherina kembali tenang, Aiden lalu bersuara, “Rin, sekarang kita pulang, ya. Kasihan Mama lo pasti udah cemas nungguin lo.”

Sherina hanya mengangguk dan nampaknya belum bisa bicara lebih banyak. Tak lama Aiden lantas melepaskan jaket yang ia kenakan, dan memasangkan jaketnya ke badan Sherina, “Lo pakai aja, sekarang cuacanya dingin. Dari pada lo masuk angin,” saran Aiden.

“Iya, makasih, Kak.” Sherina tersenyum kepada Aiden.

“Sama-sama,” Aiden kemudian membalas senyuman Sherina.

Mereka berdua lalu kembali ke tempat semula di pinggir jalan sebelum Sherina di tarik-tarik menuju rumah tua, “Biar gue aja yang nyetirin,” tawar Aiden.

“Motor, Kakak gimana?” sanggah Sherina.

“Gampang, nanti gue bisa minta tolong anak buah bokap gue, buat bawa motor gue ke rumah lo,” terang Aiden.

“Iya, Kak. Makasih, Kak.”

“Sebentar .... ”

“Ada apa, Kak?” tanya Sherina mengernyitkan kening.

“Mending sambil kita jalan lo hubungin temen lo si Nissa, dia tadi cemas banget mikirin lo, dia juga yang ngasih tahu gue kalo lo tadi lagi dalam bahaya.”

“Ya ampun, Nissa,” Sherina lantas mengeluarkan ponselnya. Selang satu menit, “Kak,” panggil Sherina.

“Apa?” singkat Aiden.

“Ketus banget,” omel Sherina pelan, “Ada apa dekkk ... ” seketika Aiden berubah lebih lembut nan mendayu-dayu.

“Kak, saya boleh minjem hp kakak engggak? Soalnya hp saya lowbat he-he,” pinta Sherina sembari tersenyum tipis.

“Oh ini,” sontak Aiden sambil menyodorkan ponselnya kepada Sherina.

“Makasih, Kak.” Aiden lalu mengangguk.

Sherina lalu menelpon Nissa dan memberi kabar kalau ia sekarang sudah aman dan menuju ke rumahnya, “Nis, makasih, ya. Berkat bantuan lo, gue bisa di tolong tepat waktu.” Sherina sampai meneteskan air mata, mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.

“Alhamdulillah Rin, kalo lo baik-baik aja. Gue jadi lega ngedengernya. Rin, tolong kasih hp-nya ke Kak Aiden, gue mau ngomong sebentar,” pinta Nissa.

“Iya bentar, Nis.” Sherina lantas teriak di telinga Aiden, “Kak, Nissa mau ngomong sesuatu sama, Kakak.”

“Kenceng banget ngomongnya, gue belum budek kali,” tepis Aiden.

“Ya maaf.”

“Nyalain aja speaker-nya!” perintah Aiden.

“Ok, Kak.”

“Makasih ya Kak, karena Kakak udah mau nyelametin sahabat saya. Dia itu berarti banget buat saya, Kak. Saya berdo’a semoga Allah senantiasa membalas kebaikan, Kakak.”

“Aamiin ... sama-sama.” timpal Aiden.

Tak terasa akhirnya mereka tiba di lorong depan rumah Sherina, “Kak sampe sini aja enggak pa-pa,” tutur Sherina.

“Masuk aja. Gue enggak mau ngambil resiko lagi,” jawab Aiden.

“Tapi kalau Mama saya salah paham sama Kakak gimana?”

“Udah enggak pa-pa. Ini keputusan gue,” yakin Aiden melanjutkan perjalanan yang sedikit lagi.

Nampak dari luar pintu Sekar sudah mondar-mandir menunggu Sherina, “Ma ... ” panggil Sherina.

“Dari mana aja? Anak gadis kenapa baru pulang jam segini?” celoteh Sekar.

“Ma, maafin Sherin."

“Kenapa kamu pulangnya sama, Nak Aiden atau ... ” Sekar melotot.

“Maaf, Tan. Saya bisa pastiin kalau anak Tante ini, gadis yang baik,” sela Aiden.

“Ma, Kak Aiden enggak salah sama sekali, justru Kak Aiden yang ngebantuin Sherin tadi,” terang Sherina. Sekar lalu menatap kening Aiden yang berdarah.

“Lain kali, Sherin enggak akan ngulangin kesalahan ini lagi,” ungkap Sherina.

“Baik. Mama harap setelah ini kamu jauhin, Nak Kenzo itu, dia enggak baik buat kamu,” celetuk Sekar.

“Mama tahu dari mana?” hidung Sherina berkerut.

“Nak Nissa udah cerita semuanya ke Mama. Mama juga mau ngucapin makasih ke Nak Aiden, karena udah bantuin anak, Tante.”

“Iya, Tan. Sama-sama,” senyum lega terpampang jelas diwajah Aiden.

“Nak, kamu ambilin minum dulu buat Nak Aiden, sekalian bawa kotak obat, ya buat ngebersihin luka,  Nak Aiden!” perintah Sekar.

“Enggak usah repot-repot, Tan. Udah malem, kasihan Sherina capek mau istirahat,” elak Aiden.

“Enggak pa-pa, sebentar aja. Tapi Nak Aiden duduk di teras luar ini aja enggak masalah, kan?” tanya Sekar menaikkan alis.

“Iya, Tan.” Aiden mengangguk.

Tiga menit kemudian, Sherina sudah selesai mengambilkan minum dan kotak obat, Sekar kemudian meminta Sherina memberikan minum itu langsung kepada Aiden. Setelah Aiden minum, Sekar sendiri yang turun tangan untuk mengobati luka Aiden, Andai Mama gue, sebaik dan secare ini sama gue, gue pasti jadi anak yang bahagia, sama seperti kebanyakan orang di luaran sana. - lamun Aiden dengan mata berkaca-kaca.

Kak Aiden sampai terluka gini demi belain gue, kenapa juga gue bego banget mau-maunya nungguin Kak Kenzo sampai berjam-jam. – sesal Sherina dalam hatinya.

“Lagi ngelamunin apa sih, kalian? Kompak banget?” tegur Sekar, dengan sorot matanya lebih tajam.

“Andai Mama saya sebaik Tante, saya pasti bahagia banget sekarang ... ” ceplos Aiden.

Sherina dan Sekar sempat saling melirik satu sama lain, “Ehh maaf, Tan. Saya jadi curhat,” sadar Aiden.

“Enggak masalah, Nak. Tante juga enggak keberatan kalo, Nak Aiden mau menganggap Tante ini sebagai mamanya Nak Aiden,” spontan Sekar tersenyum tulus.

Sherina lantas mengernyitkan kening, Mama baik banget sama Kak Aiden, tapi  wajar aja sih, Kak Aiden juga orang yang tulus, ya walaupun kadang nyebelin juga. - gumam Sherina.

“Terima kasih banyak, Tan. Tan, Rin, saya pamit pulang dulu, ya. Udah larut malam,” Aiden mengulurkan tangannya kepada Sekar.

“Iya, Nak. Hati-hati di jalan,” Sekar tersenyum nan melambaikan tangan ke arah Aiden yang sudah di tunggu oleh anak buah papanya.

Take care, Kak,” ceplos Sherina.

Aiden menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Sherina, sembari memberikan senyum termanisnya, “Hmm ... hmm ... ” Sekar menyenggol badan Sherina yang seolah tak berkedip memandangi Aiden.

“Mama ... ” respon Sherina, seketika pipinya berubah merah muda.

“Udah senyam-senyumnya, sekarang kita masuk,” ajak Sekar sembari bercanda.

“Sherin enggak senyam-senyum, Ma,” tepis Sherina.

“Masa’?” Sekar mengulum senyum seolah tak percaya.

            Sepanjang jalan menuju sekolah, Sherina mendapati Nabastala* nampak cerah, hembusan angin turut melegakan atma**-Nya. Ia sangat menikmati perjalanannya pagi itu, terlebih karena ia baru saja melewati tragedi yang menakutkan baginya. Sesampainya di sekolah, Orang-orang sudah bergerumun memandangi mading sekolah. Dan setiap kali orang yang berpapasan dengan Sherina, mereka lantas menghujat Sherina dengan berkata, “Oh jadi ini, orang yang berharap banget bisa dinner romantis sama Kenzo?”

“Maksudnya apa ya, Kak?” Sherina mengernyitkan kening.

“Semua orang juga tahu kali, gimana enggak ada harga dirinya lo sebagai perempuan,” lantangnya.

Sherina masih terheran-heran, mengapa orang-orang sampai berpikiran demikan kepadanya. Di tengah kebingungan Sherina, Nissa lalu datang, “Stop nyudutin Sherina kayak gini, Kak!”

“Loh kenapa? Itukan faktanya!” spontan orang itu.

Sementara Lea, langsung mendekati Sherina, “Rin, lebih baik lo ikut kita sekarang,” ajak Lea. Lea sontak menarik tangan kedua sahabatnya Sherina dan Nissa.
Tak jauh dari tempat Sherina berdiri, di balik sebuah tiang, nampak Clarissa sedang memperhatikan Sherina dengan tatapan tajam, “Akhirnya hari yang dinanti pun tiba,” Clarissa tersenyum dengan penuh teka-teki.

“Jadi ini adalah bagian dari rencana lo, Sa?” Bella mengangkat alisnya.

Clarissa tersenyum tipis, merasa rencananya benar-benar berhasil, “Iya dong. Gue yang nyuruh Kenzo untuk pura-pura suka sama Sherina selama ini, sebagai bukti kalo Kenzo beneran cinta sama gue,” ungkap Clarissa. (Di mulai pada saat Sherina di kepung oleh penjahat dan Kenzo yang membantu Sherin).

“Jangan bilang, kalo lo juga yang motoin Sherina semalam? Terus lo juga yang majangin foto Sherina di mading?” lanjut Bella dengan mata melotot.

“Enggak juga, sih ... lebih tepatnya gue nyewa orang buat ngelakuin semua keinginan gue. Termasuk yang lo bilang barusan,” jelas Clarissa.

Mata Bella terbelalak, “Wow ... niat banget lo, Sa,” Bella menggeleng-geleng kepala.

“Iya dong. Biar si cupu itu tahu rasa!” sambung Clarissa.

Tanpa sengaja Aiden mendengar semua percakapan Clarissa dan Bella, selama ini Aiden sudah curiga namun ia belum memiliki bukti yang konkrit saja. Sekitar lima menit kemudian, mereka bertiga tiba di dekat mading. Siswa-siswi begitu kompak memberi jalan untuk Sherina, “Niat banget nungguin, Kak Kenzo, sampe ketiduran segala!” hina siswi lain.

Apa Kak Kenzo yang ngelakuin ini? Apa Kak Kenzo sengaja nyebar foto gue semalem pas lagi nungguin dia? Tapi buat apa?. - gumam Sherina dengan rasa kekecewaan yang begitu besar di hatinya.

“Hai, Rin,” panggil Kenzo dengan santainya.

Sherina langsung memutar badan, nan menatap Kenzo dengan tatapan murka, “Kenapa ekspresi muka lo kayak gitu, lo enggak terima? Mau marah, iya?” sindir Kenzo semakin melukai Sherina, “Jangan mimpi deh gue bakalan suka sama lo! Lo itu bukan tipe gue sama sekali!” sambil Kenzo menunjuk wajah Sherina, hingga Sherina menitikkan air mata.

Selang dua menit dari kata-kata pedas itu keluar dari mulut Kenzo, Aiden datang dan sontak memukul wajah Kenzo satu kali, “Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Bukan Sherina yang enggak pantes buat lo, tapi lo yang enggak pantas dapetin cewek setulus dia!” Lo enggak tahu, musibah apa yang hampir nimpa Sherina, cuma gara-gara keegoisan lo tadi malam!”

Gue enggak nyangka, orang yang selama ini gue benci nyatanya dia adalah orang yang paling membela gue hari ini. -  Sherina menatap Aiden dengan tatapan bersalah.

Saat itu hati Sherina benar-benar hancur, ia merasa malu karena dulu ia lebih percaya kepada Kenzo ketimbang Aiden. Ia sampai tega menghujani Aiden dengan berbagai tuduhan, parahnya Sherina sempat meminta Aiden untuk tidak mencampuri hidupnya lagi. Di saat orang-orang kian mencela nan merendahkan Sherina, tetapi hari ini, Aiden masih berdiri bersama Nissa dan Lea membela Sherina. Apakah setelah ini Aiden akan berhasil masuk ke hati Sherina atau mungkin Sherina akan trauma sebab telah ditipu oleh Kenzo secara mentah-mentah? Dan apakah trauma Aiden akan hilang, setelah ia menemukan perempuan seperti Sherina?


Orang yang kita benci hari ini, bisa jadi nanti akan menjadi orang yang paling kita sayang ~

Notes!

Nabastala* berarti langit.
Atma** berarti jiwa.






Sherina ElzaviraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang