BAB 13

36 7 0
                                    

Hilang

      Saban hari*  Kenzo semakin gencar mendekati Sherina. Sherina seolah semakin termakan hasutan Kenzo untuk terus membenci Aiden. Melihat kedekatan Sherina dan Kenzo, membuat Lea nampak bahagia, dan merasa akan memiliki cela untuk masuk ke dalam kehidupan Aiden. Di resto Mahendra, Sherina merasa muak sebab selalu dibuntuti Aiden.

“Kak, Kakak kenapa, sih enggak makan atau nongkrong di resto lain aja? Jakarta luas, Kak?” mata Sherina berkilat.

“Ternyata gini sikap seorang karyawan resto ke pelanggannya?” timpal Aiden sambil ia menggoyangkan alis.

“Oh saya tahu, Kakak pasti mau nagih uang yang tiga ratus ribu waktu itu, kan?” Sherina sambil mengingat-ingat.

“Masih inget lo, gue pikir lo udah lupa,” sindir Aiden.

Seketika Sherina mengeluarkan beberapa uang dari kantong bajunya. Di dalam hati ia berbisik, semoga uangnya cukup.- “Nih, Kak. Totalnya ada tiga ratus lima puluh ribu. Lebihnya buat, Kakak aja.” kata Sherina dengan bibir mengkerut.

Retta kemudian menyipitkan matanya sembari menatap Aiden, “Tak. Hati-hati jangan natap Kak Aiden secara berlebihan, kalo lo sampai naksir sama dia, bahaya!” oceh Sherina pelan.

“Mas, kan yang wak--” cakap Retta terpotong.

“Rin, lo mau berdiri berapa lama lagi di sana? Buruan ke belakang, pesanan customer masih banyak!” teriak Nana.

“Iya, Na. Gue langsung ke sana,” tutur Sherina.

Sementara Retta masih berusaha mengingat-ingat wajah Aiden yang seperti tak asing lagi untuknya, “Mas, yang waktu itu ngasih tahu kalau Sherina habis kena musibah itu, kan? Iya saya baru ingat .... ”

“Hish. Gue harap lo jangan kasih tahu ini ke Sherina, ya. Biar itu jadi rahasia,” pinta Aiden.

“Baik, Mas. Kalau gitu, saya permisi,” pamit Retta.

Aiden kemudian mengangguk dan melanjutkan menyeruput kopi yang telah dipesannya.

***
      
           Malam harinya, daksa** Sherina terasa sakit semua. Mungkin karena tadi resto lumayan ramai pengunjungnya. Sekar yang mengintip dari luar pintu kamar Sherina,  menjadi iba pada putrinya. Sherina terkejut ketika ia membuka pintu dan mendapati mamanya telah berdiri di depan pintu kamarnya, “Mama ... Mama kok nangis?” mata Sherina melesat.

“Enggak, Nak. Mata, Mama tadi kelilipan,” alih Sekar.

Mama pasti bohong, mungkin aja Mama ngerasa belum bisa jadi orang tua yang baik karena ngelihat gue yang kayak kecapean banget tadi. Bego banget sih, gue.  – lamun Sherina.

“Nak, gimana keadaanmu?” celetuk Sekar.

“Eumm ... Sherin baik-baik aja kok, Ma. Emang tadi sempet ngerasa capek sedikit tapi sekarang udah mendingan,” wajah Sherina berseri-seri.

“Yaudah kalau gitu, yuk kita makan sama-sama. Mama udah masakin rendang jengkol kesukaanmu,” lontar Sekar.

“Masya’Allah ... Sherin bakal lahap banget makannya nih,” senyum terbit diwajah Sherina.

“Harus dong, sayang.”

           Saat Sherina dan Sekar sedang berebut rendang jengkol. Sherina dan Sekar diam sejenak ketika mereka mendengar ada yang mengetuk pintu rumah mereka, “Tok tok tok.”

“Mama makan duluan aja, biar Sherin yang bukain pintunya.”

“Iya, Nak.”

Sebelum membuka pintu, Sherina sempat mengintip dengan membuka sedikit gorden rumahnya, “Nissa?” spontan Sherina. Kemudian Sherina bergegas membuka pintu rumahnya itu, “Klik.”

Sherina ElzaviraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang