"Tres akum!" Dari ujung tongkat, tiga kilatan cahaya membentuk jarum, melesat menembus tubuh Arkana. Jarum itu mengacaukan sarafnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Tatkala terjatuh, dengan bibirnya Arkana melancarkan serangan balasan, "Ventulae." Arkana terbaring di tanah, tepat ketika hembusan angin kencang mendorong jatuh Frantes.
Dedebuan tersapu, berputar membentuk awan tebal. Arkana berusaha untuk bangkit, kembali menodongkan tongkatnya. Gamisnya melambai ditiup angin yang tersisa, serasi dengan rerumputan yang ikut melambai.
Arkana menebar pandang, namun sosok Frantes lenyap dari lahan yang terbentang. Angin lembut membelai leher Arkana, ia menoleh ke belakang. Frantes selesai merapal sihirnya, cahaya merah berbentuk kelereng perlahan membesar. Arkana lantas membentangkan sihir pelindungnya, tatkala puluhan anak panah menyambarnya telak. Memperbanyak anak panah yang ditembakkan, Frantes menyerang Arkana secara beruntun.
Arkana merintih pelan, tangannya bergetar, tak kuasa menahan beban serangan. Kakinya menyeret tanah yang keras, meninggalkan jejak yang dalam. Arkana memperkuat pijakannya, tubuhnya tegak di balik sihir. Dengan perlahan ia melangkah maju, berusaha menerjang rentetan sihir Frantes.
Arkana menerjang kuat, menerebos sihir Frantes. Arkana terus menerjang, hingga ujung tongkatnya menghantam perut Frantes. Ia berhembus keras tatkala nyeri menjalar, matanya terpejam dengan mulut menganga, "Ardore alea." Sebuah kubus membara terbanting ke arah Frantes dengan keras. Mantelnya tersulut bara api, tubuhnya terbaring di tanah.
Arkana menodongkan tongkatnya pada Frantes. Ia melotot, angin lembut kembali membelai lehernya. Dari belakang, tombak cahaya melesat ke arah Arkana, bahunya berakhir tertikam tombak itu.
Tombak itu menembus bahunya. Rasa sakit yang luar biasa menghantam, membuatnya terhuyung ke belakang. Matanya terbelalak, tanpa suara ia menganga. Darah segar mengalir dari bahunya, tatkala tombak cahaya itu perlahan lenyap ke udara. Air matanya hampir mengalir, namun Arkana tetap mempertahankan wajah datarnya.
Arkana terduduk, menopang tubuhnya dengan tongkat sihirnya. Ia mendongak, menatap penyerang yang adalah Frantes sendiri.
"Aku sendiri bahkan takjub dengan bagaimana boneka tiruan itu mampu mengelabuimu. Seharusnya kau mampu melihat kebocoran dari energi sihir pada boneka itu, bukan?" Ledek Frantes, sembari melirik boneka tiruan dirinya yang perlahan lenyap.
"Kau boleh mempermalukanku karena tidak dapat membedakan boneka tiruan. Yang pasti, aku tak akan pernah sudi kalah darimu," balas Arkana, wajahnya yang senantiasa datar kini memandang benci Frantes.
Frantes menghampiri Arkana, ia menodongkan tangannya, "Kau benar–benar membuat banyak pengguna sihir kewalahan, wahai Widyaiswara Agung. Kini, aku akan mewakilkan mereka." Frantes menatap tajam Arkana, ia mulai merapalkan sihirnya.
Arkana menyengir dengan wajah datarnya "Kau tahu, aku mengumpulkan banyak sihir sepele untuk hal seperti ini," sebuah bola air panas terbentuk di hadapannya, "udaranya dingin, ya?" candanya, bola air panas itu menghantam wajah Frantes, ia menjerit kesakitan begitu wajahnya melepuh akibat air panas. Sihirnya terputus, ia pun tertarik hingga berlutut ke tanah.
Arkana mengangkat tongkatnya, "Estavleis." Sebuah kilatan cahaya berwarna hijau menembus kepalanya, seketika melumpuhkan seluruh sarafnya untuk sementara waktu.
Arkana menghembus napas berat, berdiri menatap tubuh Frantes yang terkulai. Bahunya masih mengalirkan darah, napasnya terengah-engah.
"Kuharap, ini yang terakhir," gumam Arkana.
Prologue end

KAMU SEDANG MEMBACA
Sihir Lamunan
FantasiSetelah Arkana menginjak usia 23 tahun, ia memulai perjalanannya menuju tempat para pengguna sihir tinggal. Pulau Isurkaria, tempat sihir -sihir bertahan tatkala zaman menggantikannya dengan kekuatan elemental. Melalui samudra yang luas, ia tiba di...