"Aku juga heran, ini pertama kalinya aku menyalahkan diri sendiri. Orang mata duitan dan bijaksana sepertiku mana mungkin melakukan hal seperti itu," ujar Arkana, membuat yang lain terkekeh. Ia kembali egois sebagaimana biasanya. Mungkin lebih ke narsis.
Arkana mengusapkan air rebusan di bagian tubuh lain Lauren, "Tambahkan kayu bakarnya," pinta Arkana.
Bab VIII. Rima Lamunan
Waktu berlalu dengan cepat, Lauren membuka mata. Ia telah siuman, lantas hendak bangun. Namun, seketika pusing menyerang kepalanya secara tiba-tiba. Ia merintih pelan, memegangi kepalanya.
Yang lain pun terbangun, memusatkan perhatiannya pada Lauren, "Teruslah berbaring, kau baru saja siuman loh. Darimana kau terpikir untuk bangkit?" protes Liernia, memandang Lauren dengan heran.
Lauren pun kembali berbaring, menatap langit-langit sembari menghela napas, "Sudah berapa lama aku pingsan?" tanya Lauren. Tusa, yang berada di pojok ruangan, mengacungkan tiga jari, "Tiga hari?" heboh Lauren.
"Pft!" Liernia menutup mulutnya, menahan tawa. Sementara Tusa memandang heran.
"Tampaknya dingin merusak pikirannya, yang benar tiga jam," komentar Arkana, ia duduk di samping perapian.
Liernia mengambil segelas air hangat, "Bagaimana? Apa yang kau rasakan?" tanyanya sembari menawarkan air pada Lauren.
Lauren menggenggam gelas air itu, rasa hangat menjalar dari permukaan gelas ke kulitnya, "Jauh lebih baik ... mungkin." Ia meneguk airnya.
Liernia mengernyitkan dahi, "Mungkin?" ucapnya mengulang perkataan Lauren.
"Jangan ragu-ragu dong, kau yang tahu jalan," tambah Tusa.
"Mempercayakan semuanya padaku membuatku tertekan, orang sakit tidak boleh banyak pikiran," tukas Lauren, ia bersandar pada tembok.
"Kita semua ikut sakit jika tidak kunjung keluar dari gunung ini," ujar Tusa.
"Arkana itu pengecualian, dia pasti kebal dari segala penyakit." Lauren lanjut menyesap airnya.
Arkana menurunkan bukunya, "Jangan jadi seperti poster-poster di kota deh." Semuanya pun terkekeh.
"Jangan-jangan yang mendesain poster itu selama ini adalah Lauren?" cetus Liernia dengan teori liarnya.
"Kalau memang benar, ia tidak akan lupa untuk merendahkan pengguna sihir lain," ungkap Tusa.
"Sebagai orang yang disebut, aku membenarkannya." Mereka semua tergelak, melelehkan suasana dingin dengan tawa.
Mereka terlarut dalam kehangatan, mengantar mereka tidur. Cahaya remang dan bayang-bayang api mengiringi, mereka semua berbaring, telah terlelap. Menyisakan Arkana, melamun di hadapan bara api.
Ia menggosok kedua telapak tangannya. Ia berpikir, apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Jikalau perjalanan di Isurkaria berakhir, apakah ia harus kembali ke kesehariannya? Mengajar di Akademi Vajradwipa, meneliti sihir, kembali kesepian?
Ia menghembuskan napas berat, melenyapkan semua beban di kepala. Tubuhnya mengendur, berangsur rileks. Perjalanannya di Isurkaria amat melelahkan. Terus-menerus diburu para pengguna sihir, menjauhkannya dari beristirahat dengan baik.
Kini, ia mungkin bisa beristirahat sepenuhnya. Ada alat sihir yang akan berbunyi keras ketika cahaya semakin remang, mereka tidak perlu takut kesiangan.
Arkana membaringkan kopernya, menaruh topi baretnya di sana. Merebahkan tubuh di lantai, menarik sehelai selimut, ia memejamkan matanya. Terlelap, diiringi oleh kehangatan yang menjaga.
![](https://img.wattpad.com/cover/369917487-288-k926525.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sihir Lamunan
FantasySetelah Arkana menginjak usia 23 tahun, ia memulai perjalanannya menuju tempat para pengguna sihir tinggal. Pulau Isurkaria, tempat sihir -sihir bertahan tatkala zaman menggantikannya dengan kekuatan elemental. Melalui samudra yang luas, ia tiba di...