"Tidak ada yang tertinggal?" tanya Lauren memastikan, Arkana menggeleng.
Sebelum pergi, Arkana menggenggam bumbannya, memeriksa segala sudutnya, "Apa benar-benar tidak apa kalau aku membawanya?" tanya Arkana, merasa tidak enak.
"Tentu saja. Itu barang mahal, tapi kau akan aman dengannya. Itu juga cuma dikasih kok," balas Lauren.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit." Arkana melangkah menuruni teras pondok, sepatunya menyentuh rerumputan. Ia melambai pada Lauren dan Tusa, pergi menembus padang alang-alang di tengah malam. Tujuannya, adalah seorang pengguna sihir di ujung pulau.
Bab III. Musim Dingin di Pesisir
Angin dingin berhembus kencang, awan menutup matahari. Arkana berjalan sepanjang garis pantai, mengamati deru ombak tatkala burung camar terbang dalam dingin. Mantel tebalnya melambai ditiup angin, dinginnya menembus serat-serat kulitnya. Ia sudah pasti kedinginan, namun ia tidak menghiraukannya dan terus berjalan.
Dari kejauhan, cahaya lampu berpijar terang. Aura kehangatan terpancar dari sana, bagai api unggun di tengah padang salju. Arkana mempercepat langkahnya, kota singgah tidak jauh lagi.
Suara langkah kakinya menggema tatkala tiba di gerbang kota. Lampu-lampu minyak bergoyang tertiup angin, kekosongan mengisi udara.
Suara keramaian samar-samar ricuh dari dalam bangunan, namun enggan untuk didengar pendatang. Langkah Arkana terhenti, matanya tertuju pada kerlap-kerlip sebuah kedai.
Berharap kehangatan menyambutnya, ia melangkah perlahan. Tangannya mencapai daun pintu, menyentuh gagang yang dingin. Arkana mengernyitkan dahinya, gagang pintu itu secara tiba-tiba menghangat, hingga berangsur-angsur memanas.
Ia terkesiap, segera melepas pegangannya. Gagang pintu itu seketika terlahap api, hangus menyisakan bekas gosong. Ia berlari sekencang mungkin, kabur sejauh-jauhnya dari kedai itu. Para pengguna sihir telah mengetahui keberadaannya.
Benar saja, terlihat dua sosok pengguna sihir mengejar Arkana melalui atap bangunan. Mereka berdua mendekap tongkatnya masing-masing, merapalkan sihir yang sama.
Arkana meraih udara kosong, partikel-partikel sihir membentuk tongkatnya. Ia menatap lurus, sebuah retakan menjalar di tanah, seakan sesuatu akan mencuat dari dalamnya.
Arkana mengangkat tinggi tongkatnya, membentuk dua bola sihir yang menguapkan uap panas. Napasnya seketika terengah-engah, tiap tarikan terasa berat. Ia memperlambat langkah, kulitnya perlahan pucat.
Retakan itu pun menumbuhkan tumbuhan rambat, batangnya menjulang dan mengakar, sempurna menghalangi jalan. Dengan tenaga yang tersisa, ia menghempas tongkatnya. Bola-bola uap itu menghantam tumbuhan, menyulutnya dalam bara api.
Daun-daunnya hangus, namun batangnya masih berdiri kokoh. Ditambah, seorang pengguna sihir menjebol tangki air, mengguyur seluruh bara api. Tak berhenti sampai di sana, sekelebat cahaya melesat tepat di hadapannya. Ujung mantelnya lenyap, ia menengok cepat ke belakang. Banyak tongkat telah tertodongkan padanya, tak menyisakan pilihan lain selain mencari jalan lain.
Ia berbalik, memasuki gang-gang yang amat sempit, bermanuver di antara tembok-tembok yang menjepit. Jalannya berkelok-kelok, melambatkan langkahnya. Para pengguna sihir dengan mudah mengejar, namun terbatas dengan sempitnya gang.
Titik-titik cahaya berkumpul di atas kepala Arkana, membentuk bilah-bilah tajam. Tanah pun kembali bergetar, cahaya lembut terpancar dari retakan yang tercipta. Bebatuan terdorong keluar dari tanah, berdiri tegak membentuk tembok kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sihir Lamunan
خيال (فانتازيا)Setelah Arkana menginjak usia 23 tahun, ia memulai perjalanannya menuju tempat para pengguna sihir tinggal. Pulau Isurkaria, tempat sihir -sihir bertahan tatkala zaman menggantikannya dengan kekuatan elemental. Melalui samudra yang luas, ia tiba di...