PROLOG
Hujan yang turun sepanjang petang baru berhenti menjelang tengah malam, menyisakan aroma tanah basah yang menggelayuti udara.
Waktu tengah merangkak menuju pukul dua pagi. Jelas bukan momen yang tepat untuk berada di tengah barisan pepohonan tinggi yang tumbuh di sekitar jalur pendakian sebuah gunung. Namun di sanalah Alia berada, berjalan sendirian dengan tangan yang gemetar—boleh jadi karena suhu yang dingin, atau karena gentar yang menyusupi batin.
Harusnya dia mendengarkan apa kata temannya yang sudah berpengalaman mendaki gunung. Semestinya dia tidak meninggalkan tenda tanpa memberitahu teman-temannya lebih dulu, dan hanya bertemankan senter yang cahayanya makin lama makin redup.
Namun apa daya, suara yang memanggil namanya berkali-kali itu membuatnya tidak mampu berpikir jernih. Seakan-akan suara itu disemati daya magis yang menghipnotis. Alia tidak kuasa melawan, tak punya pilihan selain meninggalkan tenda untuk menghampiri sumber suara.
Ketika tersadar, Alia sudah berdiri di area asing yang dikelilingi pepohonan. Suasana sepi nan mencekam. Gerimis yang sempat berhenti mulai turun lagi. Alia mereguk saliva, bermaksud berbalik dan mencari jalan pulang menuju tenda. Tapi belum lagi melangkah, dia sudah dibuat nyaris terpekik oleh kehadiran sosok tak dikenal yang entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya.
"Alia."
Alia mengarahkan senternya yang sudah redup pada sosok itu. Mulanya, dia sempat takut, cemas kalau sosok itu bukan manusia. Sudah jadi rahasia umum di kalangan para pendaki kalau gunung ini ditunggu oleh banyak entitas tak kasatmata. Napas lega Alia terembus manakala dia sadar sosok itu terlihat seperti manusia—lebih tepatnya seorang pemuda tinggi berkulit pucat dengan wajah elok yang tidak mudah dilupakan.
"Kamu siapa?"
"Siapa pun aku, itu tidak penting." Pemuda itu melangkah maju, membuat Alia otomatis mundur. Sesuatu dalam sinar mata pemuda itu terkesan letal. Mematikan.
"Maaf—tapi saya harus balik ke tenda—"
"Sayang sekali, kurasa itu tidak mungkin."
"Maksudnya?"
"Kamu menjawab panggilanku." Pemuda itu menyeringai. "Kamu datang kemari dan menyerahkan dirimu. Kamu sudah melihatku. Kamu tidak akan bisa lagi kembali ke sana."
"Saya nggak ngerti. Saya mau—" Alia belum lagi sempat menuntaskan ucapannya sewaktu pemuda itu memelesat ke arahnya dalam kecepatan yang tidak manusiawi.
Dari jarak yang lebih dekat, Alia melihat mata laki-laki itu berkilat merah. Kemudian, mulutnya membuka, menunjukkan sepasang taring tajam yang memanjang tiba-tiba. Alia hampir menjerit, namun suaranya batal keluar karena pemuda itu segera membekap mulutnya.
"Sudah kubilang, kamu tidak akan bisa kembali lagi ke sana. Salahmu sendiri. Kamu bukan hanya menjawab panggilanku, tapi juga mendatangiku."
Ketakutan membuat sekujur tubuh Alia bergetar hebat. Dalam hati, Alia menggumamkan barisan doa-doa yang dia tahu, berharap doa-doa itu mampu menyelamatkannya dari situasi yang tengah dihadapinya saat ini.
Namun hujan justru menderas, mematikan harapan Alia yang tersisa. Bunyi hujan meredam segala suara. Tidak peduli sekeras apa pun dia berteriak, hampir mustahil bakal ada yang mendengarnya. Rambut Alia sudah lembab karena air hujan ketika terdengar suara seseorang yang membuat pemuda pembekapnya menoleh.
"Sedang asyik berpesta sendirian, Samir?"
Dalam kelam, yang pertama terlihat adalah kilau biru dari batu mulia di mata sebuah cincin. Lalu, sosok itu melangkah keluar dari bayang-bayang gelap pepohonan. Alia terkesiap, sontak dibuat terpesona. Lelaki yang baru saja muncul jauh lebih menawan dari Samir yang masih membekap mulutnya. Kulitnya sangat pucat, berbanding terbalik dengan rambut sewarna jelaga pekat. Sejenak, ketakutan Alia tergantikan asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOCEUR: A TRILOGY ✅
FantasyBerisikan cuplikan kisah dan informasi terbaru tentang cerita Risa, Luka dan kawan-kawan. Terbagi ke dalam tiga judul; Lights, Réve dan Samsara. Cerita sudah tuntas.