BOOK II - CHAPTER FOUR

327 32 1
                                    

"Tangan gue masih perih." Risa bergumam sambil memandang telapak tangannya setelah mereka tiba lagi di koridor akademi.

Alka yang berada di sebelahnya berdecak. "Baru sesi latihan pertama dan kamu sudah merengek?"

"Gue nggak merengek." Risa melotot sewot, lalu melambaikan tangan kanannya di depan Alka. "Kenapa tangan gue masih perih? Biasanya kalau lecet, perihnya cepat hilang."

"Mungkin cederamu belum sepenuhnya pulih. Cedera yang sebelumnya, maksudku. Secara kasatmata, memar-memarmu sudah hilang, tapi luka dalam yang kamu alami bukan sesuatu yang sepele. Kalau bukan karena Nauli, besar kemungkinan kamu sudah tewas dengan paru-paru terendam darah. Selain itu, latihan yang baru kamu lakukan tidak bisa dikatakan ringan. Kamu memukul batu besar pakai pedang kayu sebanyak seribu kali. Tahan sedikit perihnya. Setelah lecet-lecetnya membaik, telapak tanganmu bakal menebal."

"Kapalan maksudnya?"

"Dan genggamanmu pada gagang pedang nantinya akan lebih mantap."

Koridor akademi amat lengang, sepi dari lalu-lalang orang. Sore sudah menjemput. Langit meredup dan semburat jingga mulai bermunculan di angkasa.

"Lo selalu sekaku ini ya kalau ngomong?"

"Memangnya kenapa?"

"Bisa nggak, ngomongnya agak santai dikit gitu?" Risa bersedekap seraya terus berjalan. "Gue nggak tahu persisnya lo setua apa, tapi kayaknya nggak mungkin kalau di umur lo yang bisa saingan sama umur Jakarta lo nggak pernah ke dunia manusia. Kalau Bas—" Risa menelan saliva. Entah sejak kapan, menyebut nama Basil terasa seperti tindakan kriminal. Tapi Alka cuma mengangkat alis.

"Kenapa dengan Basil?"

Risa mengerjap, sempat kaget sejenak. Respon Alka berbeda jauh dengan reaksi orang-orang lain di sekitarnya setiap kali dia menyebut nama Basil. Mereka selalu bersikap seakan-akan pemilik nama itu sudah mati—meski mungkin nyatanya memang begitu, bahwa Basil Arnawarma yang Risa kenal sudah tiada, tapi hati kecil Risa masih tidak ingin percaya. Alka tampak biasa saja.

"Kenapa?" Alka mengulang pertanyaannya.

"Kalau Basil aja bisa ngomong santai dan nggak kaku, kenapa lo nggak bisa?"

"Kamu ingin aku bicara santai denganmu?"

"Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa sih." Risa buang muka, tiba-tiba merasa konyol. "Cuma—dari semua orang di sini, cuma Basil yang... lo tahu... ngomong normal ke gue—maksud gue, cara ngomong dia nggak formal kayak yang lain—cara ngomong yang familiar buat gue dan—oke. Lupain aja. Anggap gue nggak pernah ngomong apa-apa."

"Lo mau gue ngomong begini ke lo?"

Risa tercekat, melongo kehabisan kata-kata.

Alka berdecak. "Aku mencoba mengikuti keinginanmu dan kamu menatapku seolah-olah aku baru merangkak keluar dari lubang neraka. Maumu apa sih sebenarnya?"

"Nggak gitu. Cuma yang barusan tuh... anjrit moment banget..."

"Kenapa?"

"Nggak nyangka, ternyata lo fasih juga waktu ngomong lo-gue." Risa tertawa geli. Tawa yang berhasil membuat Alka terpana, walau cuma sebentar. "Bisa nggak ngomongnya gitu aja? Pakai lo-gue."

"Terserah." Alka mengangkat bahu.

Risa menarik senyum makin lebar. Kedengarannya sepele, namun itu penting buatnya. Di dunia yang ini, hanya Basil yang tidak bicara dengannya secara formal, atau menggunakan aku-kamu seperti Dante, Davi dan Persie. Dunia ini dan dunia yang dia kenal hanya dipisahkan oleh portal, tetapi jaraknya terasa sangat jauh. Risa butuh pengingat akan rumah selain kenangan dalam kepala, atau koper kusam penuh stiker yang dia bawa ke akademi.

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang