BOOK I - CHAPTER TWO

761 85 1
                                    

Risa bersikap seperti biasa saat ibunya pulang kerja.

Dia tidak menyinggung kecoak albino yang meminta bantuannya. Waktu ibunya menanyakan kegiatannya di sekolah hari ini, Risa berdusta. Dia tidak menceritakan tentang sepatunya yang disembunyikan teman-teman sekelasnya. Dia tidak ingin ibunya kepikiran. Pekerjaan ibunya di bagian customer service sebuah jenama pakaian sudah cukup menguras emosi. Beban pikiran beliau tidak perlu ditambah perkara yang kurang penting.

Risa tahu ucapan Basil jauh dari kata masuk akal. Namun susah buat Risa mengabaikannya. Jika dia pikir-pikir lagi, ucapan Basil ada benarnya. Dari kecil sampai sekarang, Risa tidak pernah punya teman. Tidak ada yang mau berlama-lama berdekatan dengannya selain ibunya.

Setiap kali terluka, luka-luka Risa selalu sembuh dalam waktu singkat. Tidak sekejap, tapi lebih lekas dibanding kebanyakan orang. Selain itu, Risa mesti rutin menjalani transfusi darah setiap tiga bulan sekali karena punya anemia. Transfusi darahnya tidak boleh terlambat sehari pun. Kalau sampai terlambat, Risa bakal lemas hingga nyaris tidak bisa beranjak dari tempat tidur.

Lalu, ada beberapa memori masa kecil yang aneh. Risa ingat, dia pernah duduk di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh benda-benda yang melayang di udara. Dia juga pernah membuat kuntum bunga mawar yang masih kuncup mekar seketika hanya dengan menyentuhnya. Kala itu, ibunya berkata kalau Risa hanya bermimpi. Namun hari itu juga, ibunya menyingkirkan semua tanaman bunga yang tumbuh di depan rumah mereka.

Setelah sekian lama cuma bisa menerka apa yang salah dari dirinya, janji Basil untuk memberinya penjelasan terdengar menggiurkan.

"Kayaknya besok Mama nggak sempat masak karena mau ngantar anaknya Tante Uti ke Puskesmas. Nanti kamu beli uduk aja buat sarapan?"

Risa yang lagi mencuci piring kotor terakhir di depan wastafel menoleh sekilas. "Iya, nanti aku beli sarapan sendiri."

"Besok Sabtu ya? Kamu ada rencana keluar atau di rumah aja seharian?"

Sekolah Risa memang libur di hari Sabtu dan Minggu.

"Besok nggak ke mana-mana, tapi Minggu aku mau ke Kota Tua."

"Mau ngapain?"

"Jalan sama teman."

"Tumben." Ibu Risa terlihat senang.

"Iya, diajak main ke Kota Tua."

"Nah, begitu dong! Jangan di rumah terus. Mumpung masih muda, harus banyak jalan-jalan sama teman-teman—eh, panci sama sodetnya biarin aja, Risa. Nanti Mama yang cuci."

Risa mengangguk saja. Sehabis membasuh tangannya dari sisa sabun, Risa beranjak menuju kamar mandi untuk sikat gigi. Gadis itu baru saja membuka pintu kamar mandi saat dia dibikin tersentak kaget oleh kehadiran seekor kecoak putih yang sedang nangkring di tepi bak.

"Asta—heh!" Risa melotot sambil berbisik agar suaranya tidak sampai terdengar ibunya. Dia bisa dibawa ke rumah Ustadz Hanafi di RT sebelah buat dirukyah kalau sampai ketahuan lagi ngobrol sama kecoak di kamar mandi. "Ngapain lo di sini?! Kan udah gue bilang, tunggu di kamar! Nyokap gue paling benci sama yang namanya kecoak! Lo mau kena geprek?!"

'Lo lama banget nggak balik-balik ke kamar! Gue haus!'

"Terus lo minum air bak?"

'Iyalah! Nggak mungkin juga gue minum air WC! Gue ini bukan kecoak murni!'

Risa menahan segenap rasa dongkol. Dia mengambil sikat giginya, terus mengoleskan odol. Basil diam saja, menonton Risa sikat gigi. Kelar sikat gigi, Risa kumur-kumur.

'Nama lo Risa kan ya?'

"Iya. Kenapa?"

'Tali bra lo melorot.'

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang