BOOK II - CHAPTER ONE

719 49 0
                                    

PROLOG

Aku sekarat.

Terbaring di dasar jurang gelap tanpa bisa merasakan apa pun selain nyeri, itu satu-satunya yang terlintas dalam pikiran Réve. Mata biru kehijauannya menatap langit malam yang makin lama makin memburam. Senyap, hening, tidak ada jeritan. Sepertinya, para pengejarnya tidak bisa menyusulnya sampai ke ceruk lembah.

Mati seperti ini lebih baik, pikirnya. Setidaknya rasanya lebih damai ketimbang berada dalam cengkeraman mereka dan cuma bisa berteriak ketakutan ketika mereka membenamkan taring di leherku.

Maka, Revé memutuskan memejamkan mata. Kebas mengambil alih kepalanya. Pelan-pelan menumpulkan sakit. Gadis itu sudah nyaris benar-benar tidak sadarkan diri hingga lamat-lamat, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dingin yang ganjil turun memberati udara. Réve mengernyit, tapi tidak kuasa membuka mata. Sekujur tubuhnya seolah-olah lumpuh.

"Gadis malang." Sosok asing bercita kelam itu berjongkok di dekat Réve.

Dari tangan dan kaki yang tergeletak secara tidak wajar, dia langsung tau kalau Réve mengalami patah tulang parah. Darah menggenang di bawah tubuhnya, membasahi hampir seluruh pakaiannya—secarik kain kusam yang kini berwarna merah gelap. Ada rekahan luka di pelipisnya, lecet dan lebam menghiasi tulang pipinya. Kondisinya benar-benar menyedihkan. Dia hanya tinggal selangkah lagi menuju kematian.

Namun sosok itu memutuskan, dia enggan menyerahkan Réve terhadap maut yang sudah menanti. Jari-jari pucatnya yang panjang terjulur, menyentuh dada Réve, tepat di titik di mana detak jantungnya yang lemah bisa dirasakan.

Selama sejenak, cahaya menyelubungi setiap jengkal kulit gadis itu. Lalu, darah yang sudah mengalir tertarik kembali ke dalam tubuhnya bagai pasir-pasir besi yang ditarik magnet. Cahaya itu turut mengatupkan kembali luka-luka yang menganga, memperbaiki tulang-tulang yang patah dan memulihkan lebam yang sudah menggelap. Dalam sekejap, Réve bersih dari luka. Kemudian perlahan, matanya terbuka.

Réve mengerjap, menatap sosok itu takut-takut. "Anda... siapa?"

"Seseorang yang memutuskan dirinya tidak lagi bernama." Sosok itu menjawab dari balik tudung kelam yang menaungi wajahnya.

Réve tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya ada dua bibir tipis berwarna merah cerah yang terlihat, serta rahang tajam berbungkus kulit pucat. Warnanya mirip cahaya rembulan, membuatnya lebih mirip mayat daripada orang hidup.

"Kamu sudah baik-baik saja." Sosok itu berujar. "Mereka tidak akan mengejarmu sampai ke lembah ini. Mereka tidak bisa merasakan energimu di sini."

"Mereka—"

"Mereka yang menyerang desamu dan menewaskan seluruh keluargamu."

Réve tercekat, dibuat gemetar manakala kengerian itu kembali memeluknya. Sosok itu benar. Desanya baru saja diserang oleh sekelompok orang berjubah hitam. Wajah mereka memesona pada awalnya, begitu indah, membuat orang-orang mengira mereka titisan malaikat. Tapi kemudian, mereka berubah jadi makhluk-makhluk haus darah. Mata mereka menghitam seluruhnya. Taring mereka memanjang. Dan mereka mulai membantai orang-orang. Réve pasti sudah tewas di tangan mereka jika saja ayahnya tidak mengorbankan diri, membiarkan dirinya diserang demi memberi kesempatan Réve berlari pergi.

"Jangan cemas, Nak. Mereka sudah pergi. Mereka sudah menjauh dari sini." Sosok itu berujar, lantas menyambung. "Sayangnya, tidak ada lagi yang berharga untukmu tertinggal di desa itu. Semua yang ada di desa malam ini sudah tewas."

Réve mereguk saliva. Duka membanjirinya. "Kalau begitu... kenapa anda menyelamatkan saya? Kenapa anda tidak membiarkan saya mati seperti yang lainnya? Saya sudah nyaris mati—"

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang