FINAL BOOK - CHAPTER FIVE

809 50 1
                                    

Saat melintasi portal-portal antara dua dunia untuk menghemat waktu perjalanan dari Raudra ke Anais yang berjarak ratusan kilometer, tim Denzel sempat tersesat.

Kebetulan, mereka memang jarang menggunakan portal yang terhubung ke Anais. Denzel terakhir lewat sana sekitar satu setengah tahun yang lalu. Itu pun bersama Nedia. Portal yang terhubung ke Anais mestinya berada di sebuah lahan kosong penuh semak dan tumpukan material bangunan yang dibuang asal-asalan. Denzel kaget waktu tiba di sana, karena alih-alih lahan kosong, mereka justru disambut sebuah kedai es krim yang bangunannya didominasi warna merah.

Denzel mengerjap, sementara Nauli terlihat penasaran.

"Lah, sudah jadi ruko aja..." Dante terpana.

"Mereka jual es krim?" Nauli bertanya ke Denzel. "Kelihatannya enak."

"Aku suka dia." Kamal menunjuk badut maskot gembung berwarna putih yang tengah melambai pada mereka, seakan mengundang mereka mendekat. "Gemas sekali. Di dalamnya ada manusia, kan?"

Bahkan Sondya yang dari awal tampak bosan pun kelihatan tertarik.

"Kamu punya uang yang laku di sini?" Nauli bertanya lagi. "Mungkin kita bisa mampir sebentar—"

Untung saja, area depan kedai es krim itu lagi sepi. Kalau tidak, dengan setelan tempur mereka yang serba hitam, mereka mungkin sudah disangka anggota Tim Densus 88 nyasar. Denzel gelisah karena belum menemukan portalnya, tapi dia membiarkan Dante yang paling sering jalan-jalan ke Dunia Terang mentraktir Nauli, Kamal dan Sondya es krim.

Sehabis beli es krim, mereka berlima dibuat pusing mencari-cari portal—yang ternyata sudah dipindahkan ke lahan kosong lain berjarak sekitar satu kilometer dari lahan kosong yang kini sudah jadi kedai es krim.

"Kita harus beritahu Luka soal ini." Denzel berkata seraya sesekali menyedot minuman yang dipesankan Dante untuknya. "Bukan nggak mungkin, besok-besok lahan kosong ini juga berubah jadi kedai es krim. Bagusnya, portalnya jangan ditaruh di lahan kosong. Mending pindahin ke gedung yang sudah nggak terpakai atau sejenisnya."

Semuanya mengangguk sambil menjilat es krim.

Mereka melintasi portal yang lalu membawa mereka kembali ke Dunia Bayangan.

Dante masih asyik menghabiskan sisa es krimnya ketika dia sadar kalau Denzel sedang menatapnya.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa." Denzel buang muka, malu karena tertangkap basah.

"Kalau nggak apa-apa, boleh nggak berhenti ngelihatin aku kayak gitu?"

"Ngelihatin kamu kayak gimana ya maksudnya?"

"Ngelihat aku seakan-akan aku mayat yang baru bangkit dari kubur. Dari kita berangkat loh, kamu ngelihatin aku kayak gitu terus." Dante berdecak. "Aku masih hidup, oke, Kakanda—"

"Nggak perlu panggil aku kayak gitu. Aku bukan mastermu lagi. Davi saja sudah berhenti manggil aku begitu!" Denzel memotong.

Dante mengangkat bahu. "Aku nggak peduli. Itu sih terserah Davi. Tapi buatku, kamu selalu masterku."

Denzel menatap Dante seperti dia siap meraung sewaktu-waktu. Sondya langsung memutar bola matanya. Terkadang, dia susah percaya kalau Denzel adalah bagian dari Panca Aryaka. Lelaki itu sering bersikap menggelikan, seperti sekarang.

"Astaga, manisnya..." Nauli terkekeh. "Pantas saja. Davi cerita, katanya Denzel menangis berhari-hari di Nanggala karena mengira kamu tewas—"

"Aku nggak nangis!" Denzel membantah keras. "Nauli, aku menghormatimu, tapi sebagai kapten tim ini, aku bisa menghukummu kalau kamu terus-terusan menyebar hoax loh."

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang