FINAL BOOK - CHAPTER ONE

517 30 1
                                    

Adya tengah menuju aula utama Puri Agnimara ketika dia melihat Nauli di lorong.

Sama seperti penghuni puri yang lain, gadis itu mengenakan setelan hitam pertanda duka. Rambutnya yang kerap tergerai kini digulung rapi ke dalam sebuah konde longgar. Cuping telinga dan lehernya polos tanpa perhiasan. Dia sedang menghadapi meja altar, sibuk merapikan bubuk dupa di dalam wadah porselen sebelum menyulut ujung bubuk yang tertumpuk rapi mengikuti pola rumit cetakan dengan api kecil di ujung sebatang korek.

Sejenak, keraguan membuat langkah Adya melambat.

Haruskah aku menyapanya?

"Aku masih membencimu. Jangan ajak aku bicara." Nauli bersuara seakan-akan dia mampu membaca pikiran Adya.

"Kita sedang dalam masa berkabung. Masa yang bahkan dihormati oleh orang-orang yang berperang dengan melakukan gencatan senjata. Tidak bisakah untuk kali ini saja kamu berhenti menganggapku musuhmu?"

"Kamu akan selalu jadi musuhku, Adya." Nauli menyahut dingin. "Sejak kamu memaksa Nevna menikah denganmu dan mendeklarasikan perang terhadap adikmu sendiri, kamu sudah jadi musuhku. Kematian Alka tidak akan mengubah itu."

"Nauli—"

"Bukankah kamu lagi ditunggu orang-orang yang sudah berada di aula utama? Pergi temui mereka sana! Biarkan aku berkabung dengan tenang!"

Seruan sinis Nauli membuat Adya membuang napas perlahan. Laki-laki itu pun lekas melanjutkan langkahnya ke aula utama. Seperti yang dikatakan Nauli, orang-orang sudah berkumpul. Selain Dany, Chyndar dan Windu, beberapa orang kepercayaan Basil serta seorang imam yang mewakili Orakel juga berada di sana. Mereka semua mengenakan busana serba hitam tanpa perhiasan.

"Dalam hitungan hari, masa berkabung akan berakhir." Windu mulai bicara sesaat setelah Adya duduk di kursi kosong yang memang disediakan untuknya. "Suka atau tidak, perang sudah di depan mata. Luka Diwangka tidak akan menyerahkan gadis itu pada kita selama dia masih bernyawa. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."

Basil berdeham. "Aku tahu. Begitu masa berkabung selesai, aku akan menyurati beberapa wilayah untuk memastikan dukungan mereka dalam perang yang akan datang. Kita harus menuntaskan apa yang sudah kita mulai. Trisha tidak akan berhenti sampai seluruh bangsa kita habis. Itu tujuan utama dari eksistensinya."

"Bagaimana dengan para Faen?" Dany menyela, lalu melirik sepintas ke Chyndar. "Tetangga kita yang satu itu adalah bangsa yang licik. Bukan tidak mungkin mereka mengambil kesempatan menyerang kita saat kita sibuk melawan serdadu Keluarga Diwangka dan pendukungnya di Timur."

"Tidak perlu khawatir soal itu. Mereka tidak akan menyerang kita."

"Tahu dari mana?"

"Kami sudah menyurati mereka sebelumnya." Imam yang mewakili Orakel angkat bicara. "Bangsa mereka berbeda dengan bangsamu, tapi bagaimana pun juga, kalian sama-sama Makhluk Bayangan. Mereka menghormati Sharaprastha dan Orakel. Mereka juga tahu keberadaan gadis itu mengancam keberlangsungan dunia kita. Mereka bersumpah tidak akan menyerang teritori kalian selagi kalian berperang dengan Keluarga Diwangka."

"Baguslah kalau begitu."

"Bagaimana dengan Distrik Yurga?" Chyndar ganti bertanya. "Aku tahu, sebelumnya mereka sudah setuju tunduk ke pihak kita, tapi mereka bukan tipe orang-orang terhormat yang bisa dipercaya. Bisa saja—"

"Begitu masa berkabung berakhir, Windu akan menemui mereka lagi." Basil memutuskan seraya beralih menatap Windu. "Beri mereka jaminan keamanan dalam perang yang akan datang. Katakan kalau Distrik Yurga tidak akan disentuh oleh siapa pun selama mereka tidak mengkhianati kita. Suplai mereka dengan sumber daya yang cukup supaya mereka tidak punya alasan menjarah dan mengacau selama perang. Pastikan para berandal itu terkendali dan tak menyulitkan kita nantinya."

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang