BOOK II - CHAPTER THREE

357 31 1
                                    

Tidak ada penyintas.

Basil memastikan tidak ada penyintas, baik itu dari trah Arnawarma, maupun orang-orang kepercayaan Luka yang menemani Lara ke Kota Sigra.

Lara sempat memeriksa kumpulan jenazah yang tergeletak di ruang tengah Graha Arnawarma, dan bisa menyimpulkan kalau Basil tiba di sana kurang dari sejam sebelum dia sampai. Tidak heran, karena Kota Sigra lebih dekat dengan Puri Agnimara daripada akademi. Semua anggota Keluarga Arnawarma tewas karena serangan lekas—tusukan langsung ke jantung atau sayatan dalam di leher. Darah mereka masih hangat. Rigor mortis belum dimulai.

Dia tidak berlama-lama, Lara membatin. Dia tidak menyiksa mereka. Sejak awal, niatnya adalah menghabisi mereka, membungkam mereka selamanya. Itu berarti, Keluarga Arnawarma jelas tahu sesuatu.

Konklusi Lara terhenti hanya sampai di sana. Sejauh apa Keluarga Arnawarma tahu atau kesepakatan macam apa yang mereka buat dengan Benji Agnimara, Lara tidak akan pernah tahu kecuali Basil memberitahunya. Apa yang dikatakan Basil padanya tadi memang benar; dia sudah gagal.

Tapi kenapa baru sekarang Basil ke sini? Apa dia sudah tahu kalau aku akan datang? Bagaimana bisa? Atau jangan-jangan... dia punya mata-mata di akademi?

Beragam spekulasi menyesaki benak Lara sementara dia melangkahkan kakinya menuruni anak-anak tangga. Matanya sempat menatap gamang ke mayat-mayat yang terserak di halaman depan Graha Arnawarma.

Asap ungu pucat itu pasti mengandung racun yang membetot jalan napas. Seluruh orang-orang kepercayaan Luka yang mengikuti Lara dari akademi tewas tanpa terkecuali. Wajah mereka pucat membiru, dengan mata terbelalak. Leher mereka penuh gores merah berdarah hasil cakaran tangan mereka sendiri saking tidak kuat menahan sesak. Lara buang muka sewaktu melewati mayat-mayat itu, menghindari melihat langsung ke mata-mata yang sudah kosong ditinggal sinar kehidupan.

Lara berpikir sebentar sebelum memelesat melintasi sisa anak tangga. Alih-alih langsung kembali ke dermaga dan pulang ke akademi, gadis itu malah bergerak ke pusat kota. Dia tidak bisa kembali ke Luka dengan tangan kosong. Minimalnya, harus ada informasi yang dia dapatkan, meski sedikit.

Penduduk Sigra jelas tahu siapa dirinya. Terlihat dari cara mereka melirik sepintas pada lencana yang melekat di jubahnya. Lencana berbentuk simbol pribadinya, yang tidak bisa dikenakan sembarang orang. Namun berbeda dari sebelumnya, wajah-wajah itu tidak lagi tegang. Mereka masih pucat, tapi mata mereka menyiratkan tekad. Entah tekad untuk apa.

Mungkinkah mereka tahu sesuatu?

Apa pun itu, Lara tidak punya waktu berspekulasi. Ada prioritas yang lebih penting.

Gadis itu berhenti di depan pintu sebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar, berada tepat di ujung lain kota yang berbatasan langsung dengan tepi danau di mana muka air dan daratan saling mencumbu. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Catnya telah kusam dimakan cuaca. Lara bisa saja menghambur masuk tanpa permisi, tapi dia mencoba bersabar dan mengetuk selayaknya orang beradab.

Pintu mengayun terbuka dalam waktu singkat—kelewat singkat, seakan-akan sang tuan rumah sudah menanti kedatangannya.

Seraut wajah milik laki-laki setengah baya menyambut Lara.

Rambut putihnya yang panjang dikepang satu, menggantung di punggungnya. Janggut berwarna serasi menghiasi rahangnya. Sepasang matanya yang berwarna ungu pucat memandang Lara sejenak, lantas dia membungkuk—gesturnya lebih mirip basa-basi dibanding tanda hormat sejati.

"Kiwa." Lara berujar, menyebut nama laki-laki di depannya. Usia lelaki itu hanya beberapa tahun lebih tua dari Lara, tapi dia memilih penampilan setengah baya yang membuat fisiknya tampak seumuran dengan Lorien. "Aku butuh bantuanmu."

NOCEUR: A TRILOGY ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang