Sepi
Di dalam kelas Nissa dan Lea selalu bergantian menguap, ditambah hujan baru saja reda, hawa dingin membuat mereka jadi mengantuk. Mereka benar-benar merasa ada yang kurang tanpa kehadiran Sherina. Biasanya kalau ada Sherina, mereka selalu berkumpul, selalu cerita apa saja, makan bareng, belajar bareng. Kadang mereka melakukan hal random juga.
“Yak, pulang sekolah nanti kita besuk Sherin lagi, yuk,” ajak Nissa.
Lea berpikir sejenak kemudian menjawab, “Eumm ... mau enggak, ya?” canda Lea.
“Gue serius, Yak!” sahut Lea yang paling susah diajak bercanda.
“Iya-iya, ntar pas bel pulang sekolah kita langsung on the way ke sana,” lantang Lea.
“Iya,” singkat Nissa yang masih saja menahan matanya agar tak terpejam.
Di kelas yang berbeda, nampaknya Naren baru saja datang dari arah luar seolah membawa berita penting. Napas Naren terengah-engah lalu berucap, “Den lo udah tahu belum?”
Mata Aiden menyipit ke arah Naren “Lo, kan belum ngomong apa pun, Ren. Gimana gue bisa tahu?”
“Bener juga, ya he-he. Tadi gue, kan baru aja dari kelas sebelah, katanya Genta masuk rumah sakit,” jelas Naren.
Hidung Aiden seketika berkerut, “Genta? Kok bisa? Memangnya dia sakit apa?”
“Katanya sih, dia habis digebukin warga” sambung Naren.
“Memangnya Genta salah apa makanya sampai dipukulin warga?” dahi Aiden berkerut.
“Gue juga kurang tahu, Den. Mending nanti kita tanyain langsung sama orangnya” tutur Naren.
Aiden mengangguk lantas berkata, “Nanti pulang sekolah kita besuk dia. Gue yakin ada yang salah karena menurut gue Genta adalah orang baik ” ajak Aiden.
“Ok,” timpal Naren.
Ternyata bukan hanya Nissa dan Lea yang merasa kesepian nan bosan tanpa Sherina. Sherina pun merasakan hal yang sama. Baru sehari saja di rumah sakit ia sudah minta pulang, dan yang jadi alasan terkuat kenapa Sherina mau buru-buru pulang ialah karena semakin lama Sherina di rumah sakit, maka biayanya juga akan semakin membengkak. Sementara tabungannya hanya sedikit.
“Ma, kita pulang aja, ya. Sherin udah sehat kok,” Sherin menunjukkan ekspresi wajah yang begitu meyakinkan, Sherin bahkan mengangkat kedua tangannya supaya terkesan sudah kuat.
“Sabar ya, Nak, kita tunggu instruksi dokter,” tenang Sekar sembari mengelus rambut putrinya itu.
Saat jam istirahat tiba, Clarissa dan Bella sengaja datang ke tempat duduk Aiden. Clarissa berdiri di samping Aiden dengan bibir meronanya seolah ingin tebar pesona kepada Aiden. Namun sayang mata Aiden bak tertutup, Aiden bahkan tak melirik Clarissa sama sekali.
“Dasar enggak peka banget jadi cowok!” gerutu Clarissa.
Bella memutar bola matanya. “Tahu padahal, kan lo udah effort banget!” kemudian Clarissa dan Bella pergi dari dekat Aiden.
Tiba-tiba Naren masuk kelas dan dia papasan dengan Clarissa di pintu, “Tumben hari ini mayun, Neng?” gurau Naren.
“Nang-Neng-Nang-Neng, nama gue bukan Neng!” ketus Clarissa dengan rona wajah memerah.
“Waduh kasar banget. Lagi pms kali, ya?” Naren mengeleng kepala.
Naren langsung ke tempat duduk Aiden. Tiba-tiba terbesit di benak Naren mungkin saja si Clarissa jadi ganas seperti tadi gara-gara dicuekin Aiden.
Naren kemudian berujar, “Lo kenapa enggak mau ngerespon Clarissa. Enggak ada salahnya juga, kan?”
Aiden lalu meletakkan pulpen yang ada digengamannya lalu menatap mata Naren, “Lo kenapa jadi bahas Clarissa?”
“Ya enggak kenapa-napa. Cuma kenapa, lo enggak coba buka hati buat dia. Dia cantik, putih, lumayan pinter, idola di sekolah, terus dia juga anak orang kaya. Apa lagi yang kurang, Den? Kalau gue jadi lo, udah gue pacarin dari dulu tuh Clarissa,” lantang Naren.
“Ya ... itu kalau lo, dan gue bukan lo!” Aiden jadi kesal kepada Naren.
Aiden bukanlah tipe orang yang gampang jatuh cinta, hanya karena fisik atau karena dia anak orang kaya. Aiden merasa cinta bukan tentang itu saja. Cinta itu murni, tak pernah bisa dipaksa. Seusai berdebat Naren lantas mencerna kembali kata-katanya. Naren merasa mungkin saja Aiden masih trauma ditinggal mamanya hingga Aiden sulit jatuh cinta bahkan menghindari yang namanya wanita.
***
Waktu terus bergulir, Sherina baru ingat kalau dia lupa minta izin tidak masuk kerja kepada Aldi. Sherina berniat menghubungi Aldi namun sayang handphone-nya rusak gara-gara dilempar oleh penjahat kemarin. Sherin lantas menekan bel untuk memanggil suster, selang dua menit seorang suster datang dan menemui Sherina.
“Iya ada apa, dek?” tanya sang suster.
“Ini Sus, Suster tahu enggak ke mana Mama saya?”
Sang suster lantas terdiam sejenak sambil mengingat-ingat, “Eumm ... tadi mama adek bilang, kalau dia mau ke kantin.”
“Gitu ya, Sus. Boleh saya nemuin Mama saya, soalnya ada hal yang penting yang mesti saya sampaikan, Sus?” pungkas Sherina.
“Apa adek sudah merasa kuat?”
Senyum dibibir Sherina kian terpancar, “Iya, Sus.”
“Sini saya bantu,” sambung sang suster, sang suster tersebut membantu Sherina turun dari ranjangnya, dan memastikan kalau impus Sherina tetap berfungsi dengan baik.
“Terima kasih, Sus,” sambar Sherina, sang suster kemudian mengiyakan.
Waktu pulang sekolah tiba Nissa dan Lea bergegas menuju rumah sakit, yang tadinya mereka begitu susah menahan kantuk setelah pulang sekolah mata mereka jadi lebih terang benderang nan segar. Lea langsung menawarkan Nissa tumpangan. Awalnya Nissa seperti ragu, sebab Nissa itu orangnya suka tidak enakkan tetapi karena Lea terus mendesak akhirnya Nissa setuju.
“Gitu dong, Nis! Kayak sama siapa aja,“ celetuk Lea.
“Thanks, Yak,” kata Nissa.
Lea tersenyum simpul, “Kita langsung ke rumah sakit Medina aja. Pak!” perintah Lea kepada sopir pribadinya. Namanya Udin, usianya sekitar empat puluh tahunan. Udin adalah sopir keluarga Lea sejak lama. Ia memiliki tubuh kurus tinggi, dengan kumis yang lebat namun rambutnya botak. Pak Udin itu tidak kaku alias suka diajak bercanda.
“Laksanakan, Non,” gurau Udin.
“Gimana oke, kan sopir gue?” bisik Lea ditelinga Nissa.
“Yaa ... ” Nissa tertawa kecil.
Di depan gerbang sekolah, nampaknya Clarissa masih saja marah karena diacuhkan Aiden. Tak sengaja dari jarak yang lumayan jauh Kenzo dan Arga melihat Clarissa. Si Arga langsung bilang, “Buruan sikat!” seraya Arga memainkan alisnya.
“Gue tahu,” timpal Kenzo mengambil kunci motornya di Arga.
“Loh-loh, berarti gue ditinggalin?” sadar Arga.
Clarissa yang dari tadi masih berdiri menunggu jemputan lantas digoda oleh Kenzo. Namun Clarissa seperti risih didekati Kenzo. Clarissa malah berandai, kalau saja sikap Aiden bisa manis seperti Kenzo pasti Clarissa tambah bahagia dari sekarang.
Kenzo lalu mengeluarkan rayuan gombalnya.
“Kok malah melamun sih, cantik? Tenang, bakal abang anterin ke mana pun, Neng mau.”
“Perasaaan enggak lo enggak Naren sama aja sukanya gonta-ganti nama orang. Nama gue tuh Clarissa bukan Neng. Catet!” Clarissa menyeringai, ia lantas berjalan menuju mobilnya yang ternyata ia dijemput langsung oleh Daddy-nya.
“Gagal deh usaha gue,” rengek Kenzo sembari ia menendang bekas botol minuman yang ada di hadapannya.
Nampaknya usaha Kenzo hari itu menjadi sia-sia.
***
Di perjalanan menuju kantin, tiba-tiba kepala Sherina terasa pusing mungkin itu adalah efek dari benturan kemarin. Ia memutuskan untuk duduk sejenak, setelah tiga menit kemudian dia melanjutkan perjalanannya kembali.
Sherina membusungkan dada dan berkata dengan tegas, “Lo harus kuat, Rin. Bismillah lo pasti bisa!”
Baru lima langkah setelah dia berucap, badan Sherina hampir saja jatuh, beruntung ada seseorang yang dengan sigap menangkap tubuhnya. Mereka sempat saling menatap.
“Hmm ... ternyata di rumah sakit ini banyak nyamuk, ya?” sindir Naren yang seakan tak tahan melihat Sherina dan Aiden yang sedang saling memandang.
Seketika pipi Sherina berubah merah muda, “Makasih, Kak,” lantas menjaga jarak dari Aiden.
“Lo ngapain di sini?” sambung Aiden.
Kak Aiden enggak lihat apa gimana, ya? Jelas-jelas gue pakai baju pasien gini!- oceh Sherina.
Naren lantas memukul bahu Aiden, “Kan, Sherina habis kecelakaan, Den. Berarti dia juga pasien di sini,” terang Naren.
“Oh,” singkat Aiden.
Mata Naren melebar, “Ini nih, kebiasaan banget gue udah ngejelasin dari A-Z, terus lo cuma jawab oh!”
“Kak Naren ada perlu apa ke sini? Apa ada keluarga Kak Naren yang sakit?” sela Sherina.
“Ada temen kita yang sakit, kebetulan dia juga lagi di rawat di rumah sakit ini,” papar Naren.
Sherina lalu mengangguk, “Semoga temen Kakak cepet sembuh aamiin ... ” Sherina mengusap tangannya kewajah, Sherina sampai lupa kalau dia masih pakai impus hingga darahnya malah naik ke atas selang.
“Hati-hati dong! Udah sok jagoan belain temennya, ini lagi ceroboh banget!” omel Aiden.
Naren lantas mengulum senyum, baru kali ini Naren melihat Aiden begitu care sama perempuan, “Lo beruntung dek, bisa diperhatiin Aiden kayak gitu,” bisik Naren pada Sherina.
“Ngomong apa lo?” tegur Aiden seraya menyenggol tangan Narendra.
Sementara Sherina berusaha sekuat tenaga menahan senyumnnya. Di tengah percakapan mereka bertiga ternyata Sekar sudah keliling mencari keberadaan Sherina.
“Itu kok kayak suara Mama?” mata Sherina berkeliling.
“Di mana?” tanya Naren.
“Mama ... ” teriak Sherina.
“Sherin ... ternyata kamu di sini, Nak. Mama udah khawatir takut terjadi apa-apa sama kamu,” air mata Sekar berkilauan.
“Maafin Sherin Ma, tadi Sherin keluar niatnya mau nyari Mama he-he,” hibur Sherin.
Siapa sangka seoarang ibu yang kutemui kemarin adalah orang tua dari gadis keras kepala ini. - lamun Aiden.
Naren sedari tadi terus mengingat-ingat, “I--Ibu bukannya orang yang kemarin hampir di tabrak temen saya,” mata Naren melirik ke arah Aiden.
Sherina tercengang, “What?” celetuk Sherina.
“Gue enggak sengaja,” protes Aiden.
“Iya, Nak. Itu bukan sepenuhnya kesalahan Nak Aiden. Kemarin Mama aja yang terlalu kepikiran tentang keselamatanmu sampai-sampai Mama enggak hati-hati pas mau nyebrang jalan. Dan mereka jualah yang nganterin Mama ke rumah sakit ini dengan selamat,” terang Sekar.
Sherina memikirkan baik-baik penjelasan dari mamanya. Sherin lalu menurunkan egonya hingga ia mau minta maaf sekaligus berterima kasih atas bantuan Aiden dan Narendra kemarin.
“Kalau gitu kita permisi dulu, Bu. Kita berdua mau besuk teman kita yang kebetulan lagi di rawat di rumah sakit ini juga,” pamit Aiden.
“Iya, Nak. Nanti pulang dari sini hati-hati, ya,” pesan Sekar.
“Udah, Ma. Enggak usah terlalu perhatian sama mereka,” bisik Sherina namun tak didengarkan oleh mamanya.
“Iya, Bu,” sahut Aiden dan Naren serentak.
Saat berjalan menuju ruangan Sekar sempat bertanya kepada Sherina, ia bisa kenal dengan Aiden dan Naren darimana? Sherina menjawab sesimpel-simpelnya, kalau Aiden dan Naren adalah kakak tingkatnya di sekolah SMA Tunas Jaya.
Seusai peristiwa itu perasaan Sherina menjadi tak karuan. Di satu sisi dia tidak menyangka kalau laki-laki seperti Aiden yang kaku, yang jutek sama perempuan bisa seakur itu sama mamanya. Terlebih setelah mendengar ucapan Naren yang bilang kalau Sherina termasuk orang yang beruntung karena berhasil mencuri perhatian Aiden.
***
Seharusnya Lea dan Nissa sudah tiba di rumah sakit Medina sejak setengah jam yang lalu, namun ternyata mobil Lea mogok. Jadi mereka bertiga singgah dulu di bengkel, sembari menunggu mobil Lea diperbaiki, Lea mengajak Nissa dan Udin untuk makan dulu di resto terdekat, “Yak, gue makan di warung aja, ya,” usul Nissa.
“Bapak juga ya, Non. Lebih baik, Bapak makan di warung biasa-biasa aja,” sambar Udin.
Senyum dibibir Lea kian memudar, “Ihh enggak pa-pa. Kita makan di resto aja, ya. Atau kalau kalian emang enggak mau makan di resto ini, gue juga enggak jadi deh makan di sini,” putus Lea dengan wajah cemberut.
“Ye ... lo mana biasa makan di warung,” tutur Nissa.
“Daripada kita makannya berpencar,” keluh Lea.
“Yaudah, Non. Bapak ikut apa kata Non aja,” sahut Udin.
“Iya deh kali ini gue ngalah, anggap aja sebagai ucapan terima kasih gue karena lo udah ngasih gue tumpangan,” Nissa kemudian langsung memesan makanan.
“Nyindir apa gimana, nih?” Lea mengernyitkan kening.
“Enggak nyindir kok, biarpun mogok.” ledek Nissa.
“Sama aja,” canda Lea merengek.
Meski dalam kondisi apa pun kalau dijalani dengan ikhlas semuanya akan terasa lebih indah itulah yang Nissa dan Lea terapkan saat itu. Setelah kembali ke ruangan Sherina lantas meminjam handphone mamanya untuk menghubungi Retta. Karena kebetulan hanya nomor Rettalah yang Sekar punya.
“Kalau gitu Mama keluar sebentar, Nak. Jangan kemana-mana!” pesan Sekar.
“Mama mau ke mana?” celetuk Sherina.
“Mama mau nemuin dokter, Nak.,” jawab Sekar seraya mengelus kening Sherina.
“Iya, Ma.” senyum terbit diwajah Sherina.
Seusai mamanya keluar ruangan, Sherina lalu menelpon Retta. Sherina lantas menceritakan semuanya ke Retta dari kejadian awal ketika ia bantuin Lea yang dibegal sampai dia yang lagi di rumah sakit sekarang. Dan Retta langsung bilang kalau dia sudah tahu berita itu dari salah satu pelanggan resto, tetapi Retta lupa bertanya nama pelanggan itu. Dan Retta juga bilang melalui perantara customer itu, Aldi mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan Sherina dari resto tersebut.
“Maafin gue, Rin. Gue belum sempet ngebesuk lo,” suara Retta menjadi pelan.
“It’s okey, Tak. Lagipula alhamdulillah sekarang gue udah baik-baik aja,” sambar Sherina dengan ceria.
“Anyway, ternyata di dunia ini masih banyak orang yang baik, ya, Tak,” senyum terpampang jelas diwajah Sherina, Retta mengangguk sambil menjawab, “Lo bener, Rin.”
Tiba-tiba Nana datang dan mengagetkan Retta, “Kerja-kerja-kerja! Perasaan telponan mulu,” Nana menggeleng kepala.
“Iya-iya” Retta menggigit bibir, “Btw, udah dulu, Rin. Biasalah mak lampir mulai ngamuk,” canda Retta.
“Ehh iya, Tak. Sorry gue jadi ganggu waktu kerja lo,” sahut Sherina.
“Udah enggak pa-pa. Kayak lo enggak tahu Nana aja,” tutur Retta.
Di ruang Mawar 2, disana Genta dirawat. Dengan wajah yang sudah babak belur, dan tangan serta kaki yang membiru. Aiden dan Naren jadi tak tega melihatnya. Genta itu terbilang akrab dengan Aiden dan Naren di sekolah, Genta terkenal pintar, nan pendiam di sekolah, dia bahkan tak pernah tersandung masalah. Makanya Aiden sampai tak percaya kalau Genta melakukan tindakan yang bisa memicu kemarahan warga.
“Apa yang dikatakan orang-orang itu bener, Ta?” tanya Aiden.
Genta rada susah membuka mulutnya, “Eumm ... iya, Den. Tapi gue terpaksa melakukan itu,” jawab Genta dengan bibir yang bergetar.
“Atau jangan-jangan lo udah sering nyolong tapi baru ketahuan sekarang iya?” sambar Naren kecewa.
“Jawab, Ta!” tegas Aiden.
“Enggak ... gue melakukan itu baru kali ini. Dan uang itu--” terang Genta.
“Uang itu apa?” cetus Narendra seolah tak percaya lagi dengan penjelasan Genta.
“Ah sudahlah. Apa peduli kalian tentang keluarga gue. Kalian sama aja dengan yang lain!” Genta seolah menahan tangis.
“Kalau kita enggak peduli sama lo. Kita berdua enggak akan ada di sini!” bibir Naren mengkerut.
Karena Genta sudah tak mau menjelaskan apa pun lagi, Genta memutuskan menekan bel dan memanggil suster. Genta juga bilang kalau dia mau istirahat, serta meminta kepada suster untuk menyuruh Aiden dan Naren pergi. Karena tak ada pilihan lain Aiden dan Naren lantas keluar dengan menahan kesal.
Di waktu yang bersamaan Sherina keluar ruangannya dan tanpa sengaja ia melihat Aiden dan Naren keluar dari ruangan Genta, dengan ekspresi Aiden dan Naren yang seperti sedang emosi. Awalnya Sherina mau menyapa mereka, pada akhirnya Sherina mengurungkan niatnya dan memilih menguping pembicaraan Aiden dan Naren saja.
“Gue enggak nyangka seorang Genta bisa berbuat sekriminal itu,” Naren mengegeleng-geleng kepala, dan Aiden juga menggaruk kepalanya, “Dia bukan seperti Genta yang kita kenal.”
Memangnya Kak Genta kenapa? dia berubah karena apa?- lamun Sherina.
“Woy ngapain lo berdiri di sana?” teriak Aiden yang melihat Sherina melamun di dekat tembok.
Mata Sherina seperti berkeliling, “Saya maksudnya? He-he.” Sherina seperti tak enak hati karena ketahuan menguping, Sherina lantas masuk ke ruangannya lagi. Karena terburu-buru Sherin sampai menabrak pintu ruangannya sendiri, kenapa pintu ini ada di sini, sih? - Sherina memukul pintu itu dua kali.Bener-bener, ya tu cewek!” kedua mata Aiden memicing.
Naren mengulum senyum, “Hati-hati, jangan terlalu benci. Karena cinta dan benci itu beda tipis,” Naren melangkah pergi.
Aiden tercengang, “Hah? Kenapa jadi bawa-bawa cinta?” Aiden lalu mengikuti jejak Naren.
***
Hidup ini akan selalu dipenuhi dengan enigma*. Tak akan habis sampai kita mati ~
Notes!
Enigma* berarti misterius, teka-teki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherina Elzavira
Teen FictionSherina Elzavira merasa kehilangan pegangan hidup, ketika ayahnya meninggal dunia. Kondisi keluarganya semakin memburuk ketika ibunya mengalami ganguan mental dan mereka jatuh miskin. Di tengah keputusasaan, Sherina bertemu sang idola di sekolahnya...