Part 3 : Tanggung Jawab

133 12 0
                                    

Sorry For Typo And Happy Reading

Bunyi lonceng yang diletakkan di atas pintu menandakan ada pengunung datang. Sengaja di letakkan di sana, agar yang bekerja segera bersiap untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan mereka.

No. 09

Tempat mereka duduk sekarang, sedang asik dengan kegiatan masing masing. Pintu masuk kembali menggemakan bunyi, tanda seseorang baru datang.

Melihat sekilas kearah perempuan seumurannya. Juga seseorang yang dia kenal, tapi siapa satunya itu? Dia tidak pernah melihatnya di sekolah.

Dia beranjak meninggalkan yang lain, tujuannya kali ini ke kamar mandi.

Selesai dari sana ketika ingin kembali ke tempatnya tanpa sengaja dia bertabrakan dengan seseorang, salahnya sendiri kenapa berjalan sambil main handphone

"Maaf, gue gak sengaja. Ini," ucapnya  sambil memberikan kacamata perempuan yang ia tabrak secara tidak sengaja tadi.

"Makasih,"

Kemudian perempuan itu pergi, Vino hanya melihat perempuan itu sekilas lalu melanjutkan langkahnya kembali.

"Lama banget Vin, yaudah sekarang kita mulai makannya,"ujar Tyan ketika Vino sudah menduduki tempat duduknya kembali.

Vino tersenyum samar, senang sang ayah sudah mulai bicara dengannya kembali. Hal yang sama juga di lakukan oleh Reva tentunya.

Mereka mulai makan dengan khidmat, sesekali mereka berbicara satu sama lain. Tyan yang juga terlihat sudah menganggap kehadiran Vino, seperti sudah memaafkan kesalahan sang anak. Memang Reva adalah ibu sekaligus istri yang tepat, selalu bisa memahami, dan memperbaiki keadaan, hubungan, antara anak dan ayah mereka. Semoga selalu seperti itu.

****

Panggilan dari seorang guru yang masuk kelas di jam pelajaran tadi pagi berhasil membuat si punya nama takut. Takut jika dia di panggil untuk mempermalukan orang tua. Ternyata hal itu salah, dia di panggil untuk mewakili lomba. Lebih tepatnya olimpiade matematika. Itu juga berhasil membuatnya takut kali ini.

"Kenapa si Vin, gue yakin lo bisa ikut lomba itu. Udah jangan terlalu dipikirin," ucap Sean, Vino tetap saja takut, entah apa yang harus dia lakukan. Dia takut gagal, takut mengecewakan.

"Udah jangan terlalu dipikiran, intinya lo usaha, belajar. Soal hasil biar kita serahin aja gimana nanti,"

Vino mengangguk pelan

"Tenang aja Vin, kita doain lo menang lomba itu," ucap Sean memberikan semangat. Kini Vino mulai merasa yakin dengan kemampuannya. Inilah yang Vino suka dari pertemanan mereka, saling dukung satu sama lain, saling merangkul. Berharap pertemanan ini akan abadi.

Walaupun mereka bukan dari keluarga yang sama, tapi bukan berarti mereka tidak bisa mengerti satu sama lain. Sean Binar, dia mengenal Vino dan Reza ketika datang ke kota ini. Anak bungsu keluarga Binar, si ceria dari keduanya, penghidup suasana, tapi dia paling tua di antara mereka.

Reza Alvaro, anak pertama yang pengertian. Peka jika ada yang tidak beres dengan orang terdekatnya. Dia punya adik perempuan, namanya Gea Lavina. Dia juga berteman dengan Vino dan Sean ketika mulai masuk SMA.

Dan Vino sendiri, merasa beruntung bertemu teman seperti mereka.

****

"Vin, lo ikut lomba?"

Vino mengangguk sebagai jawaban, tangannya kembali memasukkan cemilan yang tadi dia beli ketika pulang sekolah.

"Semoga menang ya, keren banget adek gue ikut lomba," tambah Arza, Arka tersenyum sambil melihat acara di televisi

"Tetap ingat istirahat Vin,"timpal Arka

"Iya bener, kesehatan tetap yang utama sesibuk apapun nanti lo belajar buat persiapan," ucap Arza

"iya kak, iya."

Tyan yang tidak sengaja mendengar percakapan anak anaknya tersenyum. Bangga? Pasti.

Putra bungsunya yang terkenal lumayan nakal dari anaknya yang lain itu, kini membawa sebuah tanggung jawab di pundaknya. Sekeras apa pun dia mendidik Vino, sebagaimanapun caranya, dia tetap ingin Vino berhasil.

Dia hanya tidak suka dengan kenakalan anaknya, bukan tidak suka Vino-nya sendiri.

Semoga berhasil anak ayah

****

Langit yang masih setia dengan gelapnya, dibawah lampu lampu jalanan yang masih menampakkan sinarnya. Dua kuda besi nampak sudah siap di garis awal, keduanya sudah memakai helm full face.

Disaat kebanyakan orang memilih untuk mengistirahatkan jiwa mereka, orang yang berada di sini lebih memilih memperjuangkan imbalan yang akan mereka dapatkan ketika sampai garis finish lebih awal.

Balapan

Kini yang lain tinggal menunggu, siapa yang akan datang pertama kali. Jagoan baru, atau jagoan lama mereka. Kebanggaannya.

"Itu dia,"

"Emang bener ya lo, kalo soal duit gak pernah kasih rem." Yang dimaksud memberikan senyuman kemenangannya.

"Demi duit."

Setelah menerima imbalan yang sudah di sepakati bersama diantara keduanya, mereka bubar.

Yang kalah hanya bisa menampakkan wajah kesal dan sedihnya. Lebih tepatnya menyedihkan, untuk yang entah keberapa kalinya lagi dia seperti menyerahkan uang secara sukarela kepada lawan.

"Vin, lo ngapain sih ikut balap segala. Lo udah kaya, kurang apa lagi?" Penasaran yang begitu besar membuat Sean tidak bisa menahan pertanyaan itu kini keluar dari mulutnya.

"Yang kaya orang tua gue,"

Sempat berhenti sebelum melanjutkan kalimat yang membuat Sean terdiam

"Lo pikir ayah gue bakal kasih uang berapa setelah kenakalan anaknya yang maybe buat dia malu?"

Kini, Sean dibuat berpikir. Apa yang sahabatnya ini rasakan? Dia seperti menerima semua sikap baik dan buruk keluarganya. Iya dia tahu jika ayah Vino agak sedikit berbeda dalam memperlakukan anak bungsunya ini, Vino sendiri yang bercerita.

Tapi, seperti apa? Separah apa? Sesakit apa? Sean tidak tahu, dia hanya terus berdoa agar sahabatnya kuat, selalu.

"Sorry Vin, seharusnya gue gak nanya kayak gitu. Balapan juga hak lo, gue cuman takut lo kenapa aja waktu di jalanan," jelas Sean membuat Vino menunjukkan senyum bahagianya.

Sedangkan Sean yang melihat itu, bukannya ikut bahagia. Tapi justru merubah ekspresinya takut, "Ih ngapain dah lo kayak gitu, takut gue."

"Gak gitu juga kali Yan, tapi be the way makasih udah perhatian gitu sama gue. Jarang banget ada yang kayak gitu, biasa malah sebaliknya."

Untuk hari ini, malam ini Sean tidak tahu apa yang Vino maksud. Dia tidak terlalu mengerti. Tapi dia ingin selalu ada di sisi sahabat sahabatnya.

Sambil memandangi punggung tegar dan kokoh Vino dari belakang, hati Sean berbicara dengan suara ketulusan.

"Gimana pun Vin, gue bakal selalu ada di sisi lo dan Reza. Mungkin sekarang lo gak cerita lebih sama gue tapi gak papa, doa gue selalu ada di setiap langkah lo."

Sedangkah Vino sendiri berfikir, orang yang tidak punya hubungan darah dengannya bisa mengkhawatirkannya, sedangkan dikeluarganya? Yang sering dia dapatkan adalah perbandingan, seolah apa yang dia lakukan belum seberapa.

"Apresiasi ya?" gumamnya.

TBC

Maaf ya ceritanya makin ga jelas, jangan lupa votenya. Makasih yang udah baca

Salam Sahabat dari Ra🎀

ZevinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang