Tiga hari, Vino terlepas dari salah satu kewajiban yang harus dia jalankan. Sinar matahari pagi menemani pemuda itu berjalan di koridor sekolah. Matanya melihat sekeliling murid yang memang sengaja datang lebih awal untuk piket.
"BRO, UDAH SEHAT?" teriak Sean semangat menyapa orang dihadapannya. Vino yang di tanya menatap Sean malas, seisi kelas melihat ke arah mereka bertiga sekarang.
"Kecilin dikit bisa?" ucap Vino, kemudian memainkan handphone nya melihat postingan orang yang berada di sana.
"Selama sakit, kayaknya yang berubah bukan suhu lo doang Vin. Tapi sikap lo juga kelihatan berubah, kenapa?" ucap Reza yang sedari tadi hanya melihat hal keanehan sahabatnya itu. Melihat Vino seperti tidak ingin menjawab membuat Sean menghela napas berat.
"Maaf ya Vin, bukannya mau ikut campur urusan lo tapi kalo ada masalah itu cerita sama kita."
"Lagian kita ini udah sahabatan lama banget kan," jelas Sean, Vino yang sedari tadi bersikap seolah tidak peduli kini mulai tertarik dengan pembicaraan. Tiga hari ini dirinya memang sedikit berbeda, bukan karena faktor sakit yang dia alami, tapi sakit lain yang dia rasakan.
"Oke gue mau cerita, terlepas dari gue yang salah atau sebaliknya," ucap Vino membuat keduanya bingung, disisi lain mereka juga tidak sabar untuk mendengarkan. Mereka hanya tidak mau salah satu diantaranya merasa kesepian
****
Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu, suasana kantin kini sudah ramai dengan murid murid yang ingin memenuhi asumsi mereka. Termasuk tiga remaja yang hari ini memilih untuk masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Mereka memang sering bolos, tapi tidak untuk setiap hari. Hanya jika mereka membutuhkannya saja.
"Hari ini kita makan siomay mama Eli ya, gue yang bayarin tenang aja. Kalian harus cobain, siomaynya enak bro apalagi sama es teh," ucap Sean menjelaskan betapa enaknya siomay Bu Eli–yang berjualan di SMA mereka dari dua hari yang lalu.
"Mama Eli tercinta, siomaynya tiga ya, sama es teh-nya juga. Sean sama yang lain duduk di pojok sana, makasi," pesan Sean yang langsung diangguki Perempuan empat puluh tahunan itu tidak lupa dengan senyuman yang terpatri di wajahnya.
Perempuan yang di sapa Mama Eli oleh Sean sendiri memang sudah tidak asing dengan si bungsu keluarga Binar. Sean dan keluarga memang sudah menjadi langganannya.
"Cocok nama sama orangnya," ujar Reza ketika sahabatnya baru saja duduk setelah memesan makanan untuk mereka.
"Jangan bahas Binar, nama bapak gue, dosa nanti lo," balas Sean, Vino yang mendengarkan ikut mengeluarkan suara
"Udah Za, nanti dia gak mau traktir kita. Lo mau bayarin semuanya?"
Bukan tidak punya uang, Vino hanya tidak mau kesempatan makan gratisnya musnah. Siapa yang tidak mau makan gratis?
Selang dua menit, dua orang yang mereka kenal menghampiri bersamaan dengan makanan makanan yang tadi dipesan.
"Vin sejak kapan kakak-kakak lo kerja sama mama Eli," ucap Sean tekejut sedangkan Vino tertawa mendengar apa yang sahabatnya itu lontarkan.
"Kita tadi pesan makanan juga sama kayak kalian bertiga jadi sekalian aja," jelas Arza yang duduk sebelah Sean
"Eh Ka gak mau duduk sebelah gue?" tanya Arka yang memilih pindah duduk di sebelah Vino
"Gak, dari perut udah dekat lo mulu," jawab Arka dengan gampang, muka tanpa rasa bersalahnya pun tampak terlihat jelas. Bahkan orang itu kini sudah berbicara dengan Vino, entah apa yang mereka bahas.
"Jadi gini nasib seorang Arza di rumah sama adek adeknya," canda Reza yang membuat sang punya nama membuat seolah-olah sedih karena kedua adiknya.
****
Memarkirkan kendaraan di begasi, lalu kedua orang yang berwajah sama menghampiri sang adik dan berjalan bersama menuju kedalam rumah. Tawa terdengar dari mereka, entah apa yang sedang mereka bicarakan pasti itu bukanlah topik penting. Tidak apa, hal sederhana yang sering mereka lakukan bersama hari ini mungkin akan di rindukan nanti. Tapi yang pasti, tumbuh bersama adalah hal menyenangkan. Andai umur tidak akan bertambah tua, mereka hanya ingin selalu menjadi muda, bersama dan merangkul satu sama lainnya.
"Pokoknya gue mau ngalahin Kak Arka malam ini," seru Vino dengan semangat kepada kakaknya
"Semangat ya, gue aja selalu kalah sama dia kalo main game," ujar Arza sambil menepuk pelan pundak Vino tanda memberikan kekuatan.
"Bukan game doang si Kak, soal cewek juga. Kayaknya kakak lebih jelek dari Kak Arka."
Tunggu, mereka berwajah sama, sulit membedakan mereka. Hanya Arka lebih pendiam, mungkin itu yang membuatnya menarik. Arza akui adik adiknya memang keren keren tapi dia juga tidak kalah keren.
"Anak anak ganteng udah pulang," seru wanita yang baru saja menginjakkan kaki di lantai dasar.
"Assalamualaikum ma," ucap ketiganya sambil menyalim tangan Reva
"Mandi dulu sana, biar tambah ganteng anak mama. Oh iya nanti kita makan di luar ya, mama yang traktir kali ini."
Sesuai perintah Reva, mereka langsung melakukan yang mama mereka katakan.
"Ka baju ini, apa yang ini," ucap Arza sambil menunjukkan baju kaos yang berwarna sama,hitam. Hanya saja motifnya yang berbeda. Satu lebih simple, sedangkan yang satunya lebih terkesan ramai.
"ini aja," sambil menunjuk baju yang hanya bertuliskan freedom.
"Masuk."
Setelah mendengarkan orang yang berada di dalam mengizinkannya untuk masuk, pintu terbuka dan menampil Vino yang sudah rapi dengan baju kaos hitam, dengan celana selutut berwarna coklat tua.
"Kak Arza milih bajunya lama banget kayak yang warnanya beda beda aja padahal hitam semua,"celetuk Vino yang sesekali memperhatikan Kakak satunya itu berkutat dengan gaya.
"Vin, kita itu harus tetap tampil oke walaupun cuman makan malem bentar," terang Arza yang kini merapikan rambut lalu di acak acaknya kembali, memakai parfum yang sudah menyengat satu ruangan ini.
"Serah lo Kak, jangan banyak banyak juga tu parfum," tegah Vino sambil menutup hidung karena terlalu menyengat
"Udah."
Sesampainya dibawah, kedua orang tua mereka sudah menunggu ketiganya. Tidak sengaja, tatapan Vino dan ayahnya bertemu. Bukan tatapan seperti anak dan orang tua pada umumnya. Tapi tatapan tajam yang mereka layangkan. Bisa dibilang semenjak hari itu. Hubungan Vino dan ayahnya memang belum membaik, keduanya bahkan belum berbicara satu sama lain hingga hari ini.
Acara makan malam di luar hari ini juga bagian dari rencana Reva agar kedua orang itu membaik. Dia tidak bodoh untuk tidak bisa membaca situasi yang terjadi.
Disisi lain, bukan Vino ingin marah berlebihan dengan ayahnya, itupun salah Vino juga kan?
Tapi, ayahnya yang bersikap seperti ini kepadanya, lantas dia harus bagaimana? Dia hanya melakukan apa yang ayahnya sekarang lakukan kepadanya, apa itu salah?
****
Baik, maaf untuk durasi up yang cukup lama. Perlahan aja ya, kadang semangat nulis hilang entah kemana. Semoga cerita ini bisa sampai hingga selesai. Bisa sampai diakhir yang di inginkan.
Jangan lupa Votenya teman-teman semua.
Terimakasih untuk para pembaca<3
See you....
Salam sahabat dari Ra
KAMU SEDANG MEMBACA
Zevino
Novela JuvenilZevino yang berasal dari keluarga Sarindra. Keluarga harmonis dan hangat, sebelum berubah menjadi keluarga dengan segala hal yang menyalahkan dirinya atas apa hal yang bukan salahnya. Zevino Sarindra, remaja dengan kekuatan dari dirinya sendiri dan...