Senja tidak bisa mengerti bagaimana hidup seperti orang pada umumnya. Bagaimana suara gemuruh yang terkadang terdengar, bagaimana suara angin yang berembus kencang, bagaimana suara tawa yang hangat, atau bagaimana sapaan dari orang yang paling ia sayangi.
Namun, Senja tahu, hal yang biasa ia jalani adalah hal yang paling normal untuk dirinya.
Meski pagi ini tidak secerah biasanya, kedua netra Senja masih dapat menangkap sinar matahari menyusup masuk melalui sela tirai yang sedikit terbuka. Menerangi ruang kelas yang bahkan belum terisi oleh penghuninya, selain Senja seorang.
Dirinya duduk di kursi paling depan, seorang diri. Menjadi posisi paling strategis agar Senja dapat membaca gerak bibir gurunya. Bersekolah di sekolah inklusi mungkin menjadi satu kesalahan, namun ibu pernah berkata bahwa Senja tidak ada bedanya dengan orang lain. Jadi, Senja pada akhirnya menyetujui keputusan ibu.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, begitu Senja berusaha meyakini dirinya setiap hari. Tiga tahun di jenjang menengah atas, salah satu hal yang selalu diimpikannya. Menjalani bagaimana hari-hari bersama teman sebaya, hingga akhirnya harus berpisah sebelum menjalani kehidupan yang sebenarnya.
Tetapi ....
Semua itu hanya ada di pikiran Senja.
Tidak semua orang dapat mengerti dengan kekurangan yang Senja miliki. Awalnya mungkin tidak terlalu buruk. Senja dapat menjalani masa SMA-nya, meski tanpa teman. Namun kelamaan, rasanya Senja tidak dapat lagi menanggung segalanya.
Ayahnya mungkin benar. Ibu seharusnya tidak mempertahankan dirinya sejak dahulu. Keberadaan Senja tidak pernah diharapkan dan tidak ada yang menginginkannya.
Tidak ada ... siapa pun.
Satu persatu penghuni kelas mulai berdatangan. Mengisi setiap kursi yang kosong, kecuali kursi yang berada tepat di sebelah Senja. Ia sendiri sudah terbiasa. Mereka mungkin akan terganggu dengan keberadaan Senja. Jadi, Senja hanya dapat menikmati kesendiriannya. Menunggu datangnya bel pulang sekolah yang tidak akan pernah bisa ia dengar.
Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang peduli dengan kehadiran Senja.
Senja seharusnya sudah terbiasa ... bukan?
Detik demi detik berlalu. Kedua netra Senja tidak dapat beralih dari papan tulis. Tidak ada sesuatu yang menarik di sekitarnya. Bibirnya terkatup rapat. Hingga kemudian, kepala Senja tertoleh begitu pintu dibuka lebar.
Suara langkah kaki memenuhi ruangan. Manik mata Senja bergerak mengikuti pergerakan Bu Nia, wali kelasnya yang membawa setumpuk buku di pelukan. Lalu, Senja kembali beralih pada laki-laki yang bergerak mengikuti di belakang.
Kedua kelopak mata Senja melebar. Senja ingat betul senyum hangat milik laki-laki itu. Netra indah dengan tatapan yang menusuk membawa Senja pada pertama kali ia melihat laki-laki tersebut.
Tepat satu minggu yang lalu, di taman dekat rumah, ketika hujan deras mengguyur bumi. Pertemuan singkat yang bahkan tidak pernah Senja sadari akan menjadi awal dari kisah mereka.
Ia, si laki-laki pembawa payung beruang yang terpeleset di hadapan Senja.
"Perkenalkan. Nama saya Rasi Bintang. Biasa dipanggil Bintang. Salam kenal semuanya!"
Mungkin, begitu yang dapat Senja tangkap dari gerak bibir laki-laki tersebut. Ia tidak berkedip sama sekali, hingga Bu Nia menunjuk dirinya. Menyadari bahwa laki-laki bernama lengkap Rasi Bintang itu diarahkan untuk duduk di sebelah Senja.
Lambaian tangan yang terasa begitu bersahabat, lalu keberadaan Bintang yang duduk di sebelah Senja. Dapat Senja lihat iris madu yang tampak begitu indah ketika dilihat dari dekat.
"Hai?"
Senja sungguh berharap ia dapat mendengar bagaimana suaranya.
Kepala Senja lantas tertunduk. Merasa tidak percaya diri dengan kekurangan yang ia miliki. Andai saja Senja terlahir dalam keadaan normal.
Andai Senja sama seperti anak-anak lainnya.
Andai Senja mampu mendengar suaranya ....
Mungkin kehidupan Senja tidak akan berakhir dengan buruk.
Lambaian tangan kemudian membuat Senja tersadar. Ia mengangkat kepala. Senyum Bintang masih terlukis di wajah. Terasa begitu menyenangkan untuk dilihat. Lalu, jemarinya mengambil buku tulis dari dalam tas, membuka halaman paling terakhir. Bintang meraih pulpen milik Senja yang tergeletak di atas meja.
Nama lo siapa?
Senja mengerjap beberapa kali. Membaca kembali tulisan yang hampir tidak bisa dibaca tersebut.
Gue dikasih tahu Bu Nia kalau lo nggak bisa dengar. Gue Rasi Bintang. Lo bisa panggil gue Bintang, mau panggil gue Rasi juga nggak masalah. Kalau lo?
Senja meraih pulpen lainnya yang ada di dalam tempat pensil. Menulis dengan perlahan, sesekali menatap wajah Bintang. Senyumnya seolah tidak pernah luntur.
Aku Senja.
Kepala Bintang mengangguk perlahan. Membalik buku, tampak tidak keberatan meski terasa begitu merepotkan. Membuat Senja merasa ada orang yang setidaknya akan mengerti dengan dirinya.
Hai, Senja. Nama lo lucu. Kita komunikasi pakai buku ini, ya. Semoga kita bisa jadi teman baik!
Senja mengerjap beberapa kali, menatap kedua netra Bintang yang kemudian mengerling. Jemari yang menunjuk Bu Nia menjadi perhatian Senja selanjutnya. Membuatnya kembali duduk tegak, menatap papan tulis.
Hidup Senja ... mungkin akan berubah setelah ini.
🍁🍁🍁
Senja mengerti, tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi siswa di sekolahnya selain bel istirahat dan pulang sekolah. Ketika Bu Nia memberikan gestur bahwa waktu pelajaran sudah selesai, helaan napas lega terdengar dari penjuru kelas. Pelajaran matematika yang cukup menguras otak, ditambah Senja yang harus membaca isyarat tangan Bu Nia.
Ketika Senja hendak merapikan peralatan belajarnya, Bintang kembali meletakkan buku yang sebelumnya mereka gunakan untuk berkomunikasi. Masih dengan tulisan acak-acakan yang sama. Perlahan, Senja membacanya.
Gue mau ke kantin. Lo ikut?
Kantin ... ya?
Selama ini, tidak ada yang pernah mengajak Senja ke sana. Dirinya juga memilih untuk duduk memakan bekal di kelas. Paling jauh ke perpustakaan, membaca setiap buku yang ada di sana, sampai mendapat penghargaan siswa yang paling sering berkunjung.
Kepala Senja lantas menggeleng. Senyumnya yang hanya formalitas belaka terbit. Senja juga tidak suka berada di tengah keramaian, hingga kantin bukan menjadi destinasi yang dituju oleh Senja.
Kenapa?
Senja merebut pulpen yang ada di genggaman tangan Bintang. Membalik buku hingga ia dapat menulis balasan di bawahnya.
Nggak apa-apa. Aku bawa bekal, kok.
Bintang mengangguk mengerti. Memberikan gestur 'oke' sebagai jawaban dan bangkit dari kursinya. Tersenyum pada teman sekelasnya yang lain, sebelum meminta izin untuk bergabung dengan mereka. Kedua tungkai jenjangnya melangkah ke luar kelas, meninggalkan Senja sendiri yang terduduk di tempat. Memperhatikan tanpa berkedip.
Rasanya, menjadi seorang Rasi Bintang itu ... menyenangkan, ya?
🍁to be continued🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Penghujung Senja
Ficțiune adolescențiSenja seharusnya bersyukur akan ketidakmampuannya mendengar suara. Tidak harus ia mendengar ejekan yang dilayangkan di belakang, tidak juga mendengar bagaimana kedua orang tuanya saling berteriak-hingga berakhir dengan lemparan barang atau bantingan...