Bintang tidak pernah tahu apa yang orang pikirkan mengenai hidupnya. Terbiasa menutupi segalanya, namun Bintang tidak pernah menyangka akan ada orang yang iri padanya. Padahal, menurut Bintang, hidupnya biasa saja. Malah terkesan tidak menarik untuk dijalani.
Mengerjap beberapa kali, Bintang menunduk. Menggumamkan maaf untuk kesekian kali, meski tahu Senja tidak akan bisa mendengar suaranya. Kalimat yang diketiknya menurut Bintang terlalu berlebihan.
"Maaf," ucap Bintang sekali lagi. Menatap Senja tepat di manik legamnya. Ada perasaan bersalah yang tidak seharusnya Bintang rasakan. Toh, ucapannya memang benar.
Selama ini, Bintang jago menjaga rahasianya sendiri.
Senja menggeleng cepat. Tidak lagi mengetik di ponsel yang tergeletak di meja. Ia juga merasa bahwa itu adalah kesalahannya, tepat ketika interaksi mereka terasa begitu canggung. Senja tidak berani lagi menatap netra Bintang dan memilih untuk beralih.
Baru dua hari Senja mengenal Bintang, dan ia sudah salah bicara. Benar kata orang-orang, Senja tidak pantas untuk memiliki teman.
Tepukan di pundak lantas membuat Senja menoleh. Ia menatap Bintang, sebelum beralih pada ponsel yang didorong mendekat.
Nja, maaf, ya. Gue nggak berniat buat bikin lo merasa nggak enak atau gimana. Gue cuma ... ngerasa ada yang salah kalau lo iri sama gue.
Senja tidak lagi menatap layar ponsel Bintang, melainkan beralih pada papan tulis. Waktu sudah menunjukkan pukil tujuh dan seharusnya guru yang mengajar masuk ke kelas. Namun, masih belum ada siapapun yang berdiri di depan.
Seharusnya, tanpa diucapkan pula, Senja bisa mengerti. Bintang tidak perlu meminta maaf.
Rasanya begitu canggung, meski tidak seharusnya begitu. Senja membuka buku, membacanya dengan asal. Tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya.
Hingga kemudian, keheningan menjadi pemeran utama di antara mereka.
🍁🍁🍁
Bintang menatap wajahnya di cermin. Tampak begitu menyedihkan dan tidak bercahaya, sampai-sampai Bintang tidak dapat mengenali wajahnya sendiri. Ronanya yang pucat menambah kesan suram, padahal ia sudah berusaha tersenyum.
"Begini yang lo sebut sempurna ... ya?" Bintang bergumam pelan. Berusaha menyelami iris cokelat yang sinarnya meredup.
Seperti yang sudah katakan tadi, ia ahli menjaga rahasia. Termasuk ekspresi wajahnya. Menurut Bintang, lebih baik ia menampilkan wajah bahagia dibanding harus menunjukkan apa yang sebenarnya.
Padahal, jauh-jauh-jauh di dalam perasaan Bintang, ia juga ingin sama seperti orang lain.
Denyutan jantung yang tidak beraturan membuat Bintang meringis pelan. Ia mengusap dada, sebelum membasuh wajab dengan air. Setelah ini, Binrang berniat untuk membeli cokelat di kantin dan memberikannya ke Senja untuk permintaan maaf.
Lalu, pintu toilet yang terbuka menjadi atensi Bintang selanjutnya. Sosok Arsa masuk, diikuti oleh senyum saat menyadari bahwa Bintang ada di dalam sana. Tangan yang sedikit melambai, ia berjalan mendekat.
Bintang mengusap kedua kelopak mata yang sedikit membengkak, sebelum balas tersenyum.
"Kebetulan banget," ucap Arsa. Ia sebenarnya berniat untuk berbicara dengan Bintang di kelas, tepat ketika waktu istirahat berakhir. Namun, karena mereka sudah berada di sini, sekalian saja.
"Apa apa, nih?" Bintang membalas. Berdeham pelan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di tenggorokan. Meski setelahnya, ia terbatuk pelan. Ada rasa sesak yang dirasakan, hingga jemari Bintang mengepal.
"Gue udah ngomong sama anak-anak kemaren. Katanya, lo boleh masuk ke band gue. Kebetulan, kita emang ada kekurnagan satu anggota. Lo bisa ngisi posisi itu." Arsa melanjutkan. "Kita ada latihan hari ini. Mungkin, lo bisa datang buat say hi ... gitu? Sekalian, mungkin main satu dua lagu. Lo bebas mau main alat musik apa aja."
Binar di kedua manik mata Bintang kembali. Hal tersebut mungkin sederhana, namun cukup membuat Bintang merasa semangat. Kehadiran Bintang bisa saja tidak diterima, namun mereka memilih untuk mencoba. Bintang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi terkenal di SMA Amartya.
Namun ....
Senyum Bintang luntur. Ia menatap jam tangan, melihat tanggal yang tertera di sana. Ketika menyadari bahwa ada jadwal penting yang harus ia lakukan, helaan napas beratnya terbit.
"Kenapa? Lo ada masalah?" Arsa yang menyadari perubahan ekspresi Bintang lantas bertanya. "Kalau emang mau diundur, masih ada hari—"
"Nggak masalah." Bintang memotong ucapan Arsa.
Ah, Janneke akan marah padanya nanti. Namun, Bintang akan menanggung risikonya. Menjalani kehidupan seperti anak SMA pada umumnya adalah sesuatu yang Bintang nanti. Untuk sekali ini dan penuh dengan keegoisan ... Bintang tidak ingin semuanya hancur begitu saja.
"Gue bisa, kok, hari ini," ucap Bintang meyakinkan. Lekukan di bibir kembali terbit, lebih lebar daripada sebelumnya. "Nanti, kita ketemu di mana?"
"O-oh." Arsa menganggukkan kepalanya kikuk. "Di ruang band, ya. Ada di sebelah perpustakaan. Kalau lo mau, nanti kita bareng aja, deh. Sekalian kalau lo pengin keliling sekolah ini."
"Ah, kalau buat yang satu itu, nggak usah," tolak Bintang cepat. Ia sudah sadar dengan luasnya bangunan SMA Amartya dan tidak ingin menghabiskan energi hanya untuk berkeliling. "Jadi, oke, deh. Kalau gitu, gue duluan, ya, Sa."
Arsa mengangguk cepat. Menepuk pundak Bintang dua kali, sebelum membiarkan laki-laki itu berlalu. Senyumnya kemudian memudar ketika sosok Bintang sudah tidak lagi terlihat.
Anak baru itu ... kenapa seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikannya?
🍁🍁🍁
Tanpa aba-aba sama sekali, Bintang meletakkan sebatang cokelat di atas meja, tepat di hadapan Senja. Wajahnya tampak memerah, sedikit malu karena tingkah yang menurut Bintang sendiri agak kekanakan tadi.
Kepala Senja mendongak, menatap Bintang penuh tanda tanya. Bergantian dengan cokelat yang di atas meja, Senja bertanya tanpa suara.
"Buat lo." Bintang berucap kemudian. Agak pelan, namun ia tidak peduli. Toh, Senja akan membaca gerak bibirnya, bukan?
Secara serampangan, Senja meraih buku catatan yang tergeletak. Buku yang sebelumnya digunakan untuk mereka berkomunikasi, namun sempat tergantikan oleh ponsel milik Bintang. Tangannya dengan cepat menulis.
Buat aku? Kemarin, 'kan, udah, Ras.
Bintang berdeham pelan. Meraih pulpen. Tanpa membalik buku, ia mulai menulis di sana.
Sebagai permintaan maaf gue yang sepenuh hati. He-he. Gue ngerasa bersalah banget sama lo. Kayak ... apa, ya? Kekanakan? Gue mungkin agak sedikit sensitif hari ini. Yah, gue emang kadang agak berlebihan, sih. Maaf, yah, Nja :D.
Tanpa suara, Senja tertawa. Melihat wajah Bintang yang memerah rasanya begitu menggemaskan. Pandangan yang sengaja dibuang dan tampak malu-malu.
Senja bersyukur karena bertemu dengan sosok Bintang yang begitu ekspresif.
Rasi, aku juga minta maaf, ya. Kata-kataku juga salah. Aku harusnya nggak langsung ngomong gitu ke kamu.
Bintang mengangguk pelan. Jantungnya berdegup makin cepat, hingga membuatnya meringis.
Sial, sepertinya yang satu ini agak sedikit berbeda.
🍁to be continued🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Penghujung Senja
Novela JuvenilSenja seharusnya bersyukur akan ketidakmampuannya mendengar suara. Tidak harus ia mendengar ejekan yang dilayangkan di belakang, tidak juga mendengar bagaimana kedua orang tuanya saling berteriak-hingga berakhir dengan lemparan barang atau bantingan...