Third Parent (18+)

23 0 0
                                    


Namaku Matt dan masa kecilku tidak normal. Bukannya melebih-lebihkan. Sesuatu yang nyaris mustahil menimpa keluargaku. Tapi akan kucoba sebaik mungkin untuk menjelaskan lima tahun itu. Lima tahun hidupku yang kulewati dengan teror. Lima tahun yang kami jalani dalam ketakutan. Lima tahun yang tak ingin kami ulangi.

Ayahku, Spence, bukanlah pria yang sangat kuat, fisik maupun mentalnya. Dia adalah tipe ayah yang akan membiarkan ibu kami berbicara mewakili dirinya. Dia bukan orang yang mudah dipaksa, dia hanya lebih suka mengikuti arus daripada harus mengubahnya. Dia giat bekerja dan mendedikasikan waktu luangnya untuk kami keluarganya. Dia memastikan kebutuhan kami tercukupi, jaminan lembutnya yang tak terlihat menjadi pondasi keluarga kami.

Ibuku, Megan, adalah kepala keluarga kami. Dia sangat blak-blakan, mandiri, dan sangat setia pada kami semua. Dia sangat dicintai ayahku, dan meski aku masih kecil aku bisa melihat chemistry yang mengalir kuat di antara mereka.

Adikku, Stephanie, satu tahun lebih muda dariku. Dia memujaku dan ayahku selalu bilang bahwa menjaga dirinya adalah tanggung jawabku. Kami berusaha akur sebaik yang kami bisa, dan meski aku memberinya berbagai macam kesulitan dalam tali persaudaraan kami, aku tetap menyayanginya.

Kami tinggal di lingkungan kelas menengah di daerah pinggiran kota, gambaran kehidupan impian Amerika. Ayahku bekerja jam 09-17 di tempat kerja terpandang sementara ibuku mengajar yoga di luar. Itu kehidupan yang rapi, terorganisir dan terstruktur. Segalanya didiskusikan, dianggap dan dilakukan demi keluarga. Itu adalah rumah yang bagus untuk tumbuh besar.

Tapi itu sebelum dia muncul.

Itu sebelum ada Orangtua Ketiga.

**

Juli 1989

Aku sedang duduk di meja makan malam, menunggu ayahku rampung memasak. Malam ini gilirannya memasak dan perutku bergemuruh menunggu ayam rosemary bikinannya matang. Adikku, Stephanie, sedang tengkurap di ruang keluarga, mewarnai. Rambut pirang emasnya jatuh bergelombang di bahunya dan dia melihat padaku, tersenyum. Dia memamerkan pekerjaannya dan aku mengangguk, sama sekali tak terkesan.

Dia mendengus padaku dan meneruskan gambarnya. Ibuku berjalan ke dapur, melempar rambutnya ke belakang dari wajah segarnya yang habis mandi.

"Semua sudah pulang?" Ayahku bertanya dari atas kompor.

Ibuku mengangguk, "Ya, Spence, rumahnya sudah kosong. Lebih enak mengajar yoga di basement, lebih dingin di sana. Aku senang kita menyelesaikan basementnya setelah musim dingin. Para klienku juga senang. Panas sekali di luar sana."

"Mom, maukah kau duduk agar kita bisa makan?" aku memohon dari meja. Ibuku berbalik padaku dan tertawa.

"Matt, anak 6 tahun paling lapar di Mississippi. Kenapa tak kau suruh ayahmu cepat-cepat, dialah yang memasak!"

Aku meletakkan dahiku di pinggiran meja, "Daaaaaaaaad, aku sudah mau mati."

Stephanie memandang dari buku mewarnainya, "Matt, jangan gila deh."

"Kau yang gila," aku bergumam, tak mengangkat wajah.

"Eng-GAAAK!" balasnya, menjulurkan lidahnya padaku.

"Baiklah, baiklah," kata Ayahku, berbalik dari kompor. Tangannya menahan satu piring ayam beruap.

"Kemarilah, Steph, makanan sudah siap!" aku menyuruh adikku, pemandangan daging bertaburan bumbu membuatku meneteskan liur.

Saat dia bangkit dari lantai, ibuku mengambil tempat di sampingku, kami semua membeku saat seseorang mengetuk pintu. Ayah dan ibuku bertukar pandang kebingungan. Ayahku menaruh makanan di meja dan menyuruh kami untuk menunggu sebentar.

Cerita Pendek (Cerpen) HorrorWhere stories live. Discover now