45. Mungkinkah Ini Salah?

45 5 0
                                    

"Kamu tahu?"

Devara yang tengah duduk di depan meja rias lagi-lagi mengangguk. Kali itu dia sedang memotong menyisir rambut panjangnya yang baru saja dikeramasi. "Sebenarnya, memang nggak banyak yang tahu soal ini. Hanya keluarga inti saja. Tapi bukan berarti mereka semua nggak menerima Mas Hans."

Masih dalam keadaan melongo di atas kasur. "Kemarin kamu bilang nggak tahu apa-apa."

"Ya kan gue nggak nyangka kalau Mas Hans bakal ngasih tahu lo sampai ke persoalan ini." Devara memutar kursi ke arahku. "Lagian, ini kan juga sudah masa lalu. Namanya juga dulu Umi sama Om Josh masih muda. Siapapun pernah salah waktu muda. Kayak gue ..., bisa jadi nanti pas gue udah tua tiba-tiba jadi alim kayak Umi, kan? Jangankan Umi yang hanya anak, pemuka agamanya sendiri saja juga bisa salah, kan?"

Iya juga sih.

Tapi, ini benar-benar membingungkan.

Sebagaimana dikatakan oleh Pak Johan, apabila publik mengetahuinya sudah pasti Umi akan jadi bulan-bulanan mereka. Banyak orang sekarang yang lebih mengimani egonya alih-alih Tuhan. Sosial media jadi tempat menghujat paling nikmat, bersembunyi di balik layar membuat orang suka berkomentar ketimbang mencoba menimbang rencana Tuhan.

*_*

Aku sama sekali tidak mempermasalahkan siapa dan bagaimana Pak Johan hadir sebab bukan hakku untuk mempertanyakan apalagi menghakimi jalan Yang Maha Kuasa. Satu-satunya hal realistis yang harus kulakukan adalah tetap memperlakukan Pak Johan sebagai manusia. Lagipula, hubungan kami baik. Pun selama ini yang menyatukan kami adalah Opa Josh, bukan orang lain.

Beberapa hari selanjutnya kami justru semakin dekat. Pak Johan bahkan masih dengan penuh semangat membantuku mencari tempat tinggal. Hingga pada akhirnya setelah berminggu-minggu menjelajah, aku akhirnya berjodoh dengan apartemen sederhana tak jauh dari tempat tinggal Maggie dan Gege. Lebih tepatnya berseberangan dengan kawasan pasar tradisional yang menjadi lokasi toko buku Maggie berdiri. Aku bahkan bisa ke sana dengan jalan kaki. Bukan apa-apa, salah satu alasanku memilih lokasi ini selain karena suasana dan harganya yang cocok, letak di mana bangunan berdiri juga jadi pertimbangan. Ibuku pasti akan sangat senang karena bisa pergi belanja ke pasar setiap hari. Bahkan rencananya aku akan membiarkannya masak sendiri, kalau mau.

Masih mewarisi kebaikan orang tuanya, Pak Johan membantuku membereskan apartemen. Sesekali Maggie datang untuk membawakan kami makanan serta alat kebersihan. Tentu ini membuatku tidak enak hati, hanya saja keduanya bersikeras melakukannya. Kimberly bahkan memberiku penangkap mimpi berwarna biru yang kemudian kugantung di balkon kamarku.

"Bagus kan, Tante?" Kimberly Kecil berkata tepat setelah aku menggantung penangkap mimpi di jendela.

"Makasih ya, Kim!" Aku mengusap rambut keritingnya dengan lembut. "Kamu memang pintar memilih dekorasi."

Kim membusungkan dadanya. "Siapa dulu? Kimberly."

"Kamu nggak mau cerita ke Tante Maya alasanmu membeli benda itu?" Maggie yang baru saja keluar dari toilet menyahut. Karena aku belum punya sofa, maka dia memutuskan duduk di atas karpet. "Bilang dong!"

"Eh, memang kenapa?" Aku berjongkok supaya bisa menjangkau tatapan mata Kimberly. "Kasih tahu dong. Tante penasaran nih."

Kim menoleh pada ibunya dan tersenyum malu-malu. Namun, bukannya menjawab dia justru berlari menghampiri Pak Johan yang baru saja datang. "Om Hans!" rengeknya.

"Kenapa, Nak?" Pak Johan mengangkat badan gemuk Kim. "Kok nangis?"

"Dia nggak nangis!" Maggie menyahut. "Lagi malu dia."

"Malu?" Pak Johan mengerutkan kening.

Aku berjalan mendekatinya. "Ya sudah, nggak apa-apa kalau Kim nggak mau jelasin. Tante Maya nggak apa-apa kok."

"MAMA!" Kim tiba-tiba berteriak. "AYO PULANG!"

Lho?

"Kenapa?"

"POKOKNYA PULANG!"

Dengan kesal Maggie membawa anaknya itu keluar dari apartemen. Bagaimanapun juga dia adalah anak-anak. Sepeninggal keduanya, hanya ada aku dan Pak Johan di sini. Lebih tepatnya, di ruang tamu apartemen yang tidak seberapa luas, lengkap dengan embusan angin dari balkon yang sengaja dibiarkan terbuka. Penangkap mimpi pemberian Kim melambai-lambai tertiup angin, menimbulkan bebunyian yang tipis dan menenangkan.

"Mau saya buatkan minuman?"

Tanpa menunggu jawaban Pak Johan, aku buru-buru berjalan menuju dapur. Kukeluarkan air dan sirup dari dalam kulkas, tetapi hendak mengambil gelas di pantry tiba-tiba saja Pak Johan sudah menyusul. Dia berdiri belakangku.

"Sebentar –"

"Dok?" Ucapannya membuat gerakanku terhenti. Entah bagaimana aku merasa bahwa sangat perlu bagiku menoleh padanya. Kutatap matanya yang kecokelatan dengan heran tapi sedetik kemudian aku menyadari sesuatu.

Tidak! Tidak! Ini salah! Kenapa dia melihatku seperti itu? Ah! Tentu saja akulah yang terlalu berprasangka! Bukankah sejak dulu Pak Johan seperti itu? Dia tenang, tatapannya terlalu lembut dan ....

"Saya mau bicara sesuatu."

Apa? Apa yang mau dia katakan? Kenapa juga jantungku berdebat begini? Ah! Tentu! Sekali lagi, pasti ada yang salah dengan isi kepalaku.

"Saya –"

TING! TING! TING!

Benar-benar tidak tepat!

Aku segera berlari ke ruang tamu guna menangkat panggilan. Namun, belum sempat telepon kutempelkan ke telinga, suara Ibu sudah terdengar. Bahkan tanpa perlu menyalakan pengeras suara. "MAYA, JAREMU KOWE WIS ENTUK APARTEMEN!"

Spontan aku menoleh ke dapur. Benar saja, Pak Johan pasti mendengar suara Ibu sebab setelahnya beliau memandangku dengan iba. "Ibu saya!" Entah kenapa aku malah menjelaskan padanya. "Maaf ya, Pak!"

"KOWE IKI PIYE THO, MAY! DIAJAK IBUKE NGOMONG KOK MALAH NGOMONG KARO WONG LIYA? SAPA KUI?"

"Mboten, Buk!"

"ORA APA?" Ibu kembali membentak. "Makane tho, yen diajak wong tuwa omong iki aja sok gak ngreken. Terus piye?"

Untuk menyembunyikan rasa malu, aku pindah ke balkon. "Napane sing piye, Bu?"

"KOK MALAH APANE? YA KAPAN IBU PINDAH NING JAKARTA?"

"Terserah. Kapan Ibu siap?"

"Aku selalu siap, May! Justru kowe kui sing ora siap-siap."

Sabar, Maya! Sabar! Bagaimanapun juga beliau ibu kandungmu.

"Nek ngoten, Maya pesanaken tiket kereta, nggih? Engken Ibu minta tolong Ira mawon kalau mau nyetak tiket."

"PIYE?!" Kalau saja aku tidak menjauhkan ponsel dari telinga, sudah pasti gendang telingaku akan jebol saat itu juga. "JAWAMU IKI LHO, MAYA! APA KOWE TEGA NGECULKE IBUMU DEWE NUMPAK SEPUR TEKAN JAKARTA? OH IYA, APA KOWE SENGAJA BEN IBU ILANG?"

"Kok Ibu ngomong ngoten?"

"Pancen iya, tho! Wong kowe ora seneng karo aku."

Aku menarik napas dalam sembari mencengkeram teralis besi di balkon dengan kuat. "Bu, yen Maya mboten peduli dhateng njenengan ..., napa kira-kira Maya bakal –"

"WIS! WIS! ORA USAH KAKEAN CANGKEM KOWE, MAY! SAIKI YEN PANCEN KOWE SAYANG LAN PEDULI MARANG IBUMU! IBU SING NGETOKNE KOWE IKI! BALI YO! SUSULEN AKU!"

"Tapi –"

"ORA USAH TAPI-TAPI! NEK KOWE ORA GELEM, BERARTI PANCEN KOWE LUWIH SENENG AKU MATI!"

Klik!

Sambungan terputus.

Seketika sekujur tubuhku lemas. Kalau saja aku tidak memegang erat teralis sudah pasti aku akan terjun bebas dari balkon.

Bagaimana mungkin Ibu memintaku pulang sementara ada Ilham di sana. Apa yang harus kulakukan? Bukankah ini artinya justru Ibu yang berniat menarikku ke neraka?

Sebuah Usaha Maya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang