Pertemuan di Ruang Pengadilan

2 2 0
                                    

Ruang debat di pengadilan Korea Selatan dipenuhi dengan ketegangan. Citra, seorang pengacara Indonesia yang tinggal di Korea, sedang bersiap untuk membela kliennya, seorang teman dari temannya yang terkena kasus besar. Ini adalah momen penting dan Citra tahu bahwa dia harus memberikan yang terbaik.

"Nona Citra, semua sudah siap," kata asistennya, Jimin, dengan suara tenang namun tegang.

"Terima kasih, Jimin," jawab Citra, mencoba menenangkan dirinya.

Namun, begitu dia melangkah masuk ke ruang sidang, matanya bertemu dengan sosok yang sangat dikenalnya. Ethan, mantan sahabatnya dan cinta pertamanya, berdiri di meja pengacara lawan.

Mata mereka bertemu, dan kilatan emosi yang kompleks muncul di antara mereka. Ethan tampak terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan perasaannya. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus fokus pada tugas mereka saat ini.

Hakim memulai sidang dengan mengetukkan palu.

"Sidang dimulai. Silakan pengacara pembela menyampaikan pembukaan."

Ethan berdiri, suaranya tenang namun tegas.

"Yang Mulia, klien saya tidak bersalah. Tuduhan yang diajukan tidak memiliki dasar yang kuat dan hanya merupakan upaya untuk menjatuhkan mereka. Kami akan membuktikan bahwa klien saya tidak terlibat dalam tindakan kriminal yang dituduhkan."

Citra memperhatikan setiap kata yang diucapkan Ethan, merasakan campuran perasaan di dalam hatinya. Ketika tiba gilirannya, dia berdiri dan berjalan ke tengah ruangan.

"Yang Mulia, bukti yang kami miliki menunjukkan sebaliknya. Ada banyak kejanggalan dalam kasus ini yang menunjukkan keterlibatan pihak ketiga. Kami akan membuktikan bahwa klien dari pihak lawan terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum," kata Citra dengan suara mantap.

Debat dimulai dengan intensitas yang tinggi. Ethan memulai dengan mengajukan pertanyaan kepada saksi utama. "Bisakah Anda menjelaskan di mana Anda berada pada malam kejadian?"

Saksi menjawab dengan gemetar. "Saya berada di rumah, tetapi kemudian saya dipanggil oleh seseorang yang tidak saya kenal."

Ethan menatap saksi dengan tajam. "Jadi Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengenal orang yang memanggil Anda? Apakah Anda yakin tidak ada kesalahan dalam ingatan Anda?"

Citra segera berdiri untuk melakukan interupsi. "Yang Mulia, pertanyaan ini mengarahkan saksi dan tidak relevan dengan kasus ini. Yang perlu dibuktikan adalah keberadaan saksi pada malam kejadian."

Hakim mengangguk. "Keberatan diterima. Pengacara Ethan, silakan lanjutkan dengan pertanyaan yang relevan."

Ethan menghela napas dan melanjutkan. "Baiklah. Saksi, bisakah Anda menjelaskan apa yang terjadi setelah Anda tiba di lokasi yang dimaksud?"

Saksi menjelaskan dengan detail, namun Citra merasakan ada sesuatu yang tidak sesuai. Dia memutuskan untuk menyerang dari sudut yang berbeda saat gilirannya tiba.

"Yang Mulia, izinkan saya mengajukan pertanyaan. Saksi, Anda mengatakan bahwa Anda dipanggil oleh seseorang yang tidak dikenal. Apakah Anda menerima ancaman atau paksaan dalam bentuk apapun?"

Saksi terlihat bingung. "Tidak, tidak ada ancaman langsung, tapi saya merasa ada sesuatu yang tidak beres."

Citra mengangguk. "Terima kasih. Yang Mulia, jelas bahwa saksi berada di bawah tekanan yang tidak terlihat. Ini menunjukkan adanya pihak ketiga yang memanipulasi kejadian ini."

Ethan tidak tinggal diam. "Yang Mulia, apa yang disampaikan oleh Citra hanyalah spekulasi. Kita tidak memiliki bukti nyata tentang adanya pihak ketiga. Tuduhan ini hanya untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa klien mereka terlibat dalam kejahatan ini."

Debat semakin memanas, dengan setiap argumen yang dilontarkan Ethan dibalas dengan argumen yang tak kalah kuat oleh Citra. Mereka berdua saling beradu strategi, menggunakan setiap bukti dan kesaksian yang mereka miliki untuk memperkuat posisi mereka.

Setiap kali Ethan berusaha menekan saksi atau mengarahkan kesaksian ke arah yang menguntungkan kliennya, Citra tidak segan-segan melakukan interupsi dan mengajukan keberatan. Suasana ruang sidang semakin tegang, para penonton hampir tidak berani bernafas.

Ketika sidang berakhir sementara untuk istirahat, Citra berjalan ke arah Ethan. "Kita perlu bicara," katanya dengan suara rendah.

Ethan menatapnya dingin. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Citra."

"Tolong, hanya lima menit," pintanya.

Mereka melangkah keluar dari ruang sidang, mencari tempat yang lebih tenang. Di sana, di sudut gedung pengadilan, Citra memulai dengan suara penuh emosi.

"Aku tahu kamu marah padaku. Kamu berhak marah. Tapi kamu harus tahu alasan sebenarnya kenapa aku tidak datang ke rumah pohon kita."

Ethan menatapnya, matanya penuh dengan rasa sakit. "Kamu meninggalkanku, Citra. Tanpa kabar, tanpa penjelasan. Aku menunggumu berjam-jam di sana, berharap kamu akan datang."

Citra menarik napas dalam-dalam, menahan air mata. "Aku mengalami kecelakaan, Ethan. Aku koma selama satu tahun. Orang tuaku membawaku ke luar negeri untuk perawatan yang lebih baik. Saat itu sangat kacau, kami tidak punya waktu untuk memberi tahu siapapun."

Ethan terdiam, terkejut. "Kenapa kamu tidak mencoba menghubungiku setelah itu?"

"Aku mencoba, tapi aku tidak bisa. Setelah koma, aku harus belajar berjalan lagi. Aku melanjutkan kuliah di jurusan hukum sambil menggunakan kursi roda. Hidupku berubah total, Ethan. Tapi perasaanku padamu tidak pernah berubah."

Ethan merasakan kepahitan dan rasa sakit di hatinya perlahan-lahan mencair. "Aku juga mencintaimu, Citra. Tapi aku merasa dikhianati."

Sebelum Citra bisa menjawab, bel pengadilan berbunyi, menandakan bahwa sidang akan dimulai kembali. Mereka kembali ke ruang sidang dengan perasaan campur aduk.

Di akhir sidang, Ethan menghampiri Citra. "Kita masih punya banyak pekerjaan. Tapi kita bisa menemukan kebenaran," katanya dengan nada lebih lembut.

Citra mengangguk. "Kita akan melanjutkan penyelidikan ini. Demi klien kita, dan demi kita."

Namun, meskipun mereka tahu bahwa klien mereka tidak bersalah, mereka belum bisa sepenuhnya membersihkan nama mereka. Kasus ini masih akan berlanjut, dan Citra dan Ethan tahu bahwa mereka harus bekerja sama lebih keras lagi.

Di luar gedung pengadilan, Ethan meraih tangan Citra. "Kita belum selesai, Citra. Tapi aku yakin kita bisa melakukannya."

Citra tersenyum tipis. "Ya, Ethan. Kita belum selesai. Dan aku siap berjuang bersamamu."

Dengan itu, mereka melangkah ke masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, namun dengan harapan dan tekad yang kuat untuk mengungkap kebenaran dan membuktikan bahwa cinta dan persahabatan mereka lebih kuat dari segala rintangan.






ONE SHOT : Whispers Of TwilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang