Rutinitas pagi hari Rayyan monoton. Bangun tidur, salat subuh, mengaji, olah raga lari keliling kompleks perumahan, mandi sarapan dan berangkat sekolah. Bosan, tentunya tidak. Dia sudah terbiasa melakukan kegiatan seperti itu sejak pertama kali masuk sekolah balap.
Tidak hanya lari keliling kompleks, dia bisa mengganti olah raga di dalam ruangan. Di rumah ini sengaja dibuatkan tempat gym untuknya olah raga. Perlatan gymnya pun terbilang lengkap. Tidak hanya Rayyan, seluruh keluarga pun sering memakai ruangan tersebut dengan jadwal masing-masing. Maklum saja, keluarga Afgar bisa dibilang keluarga atlet, lebih tepatnya mantan atlet. Ayah Nadine yang tidak lain tuan Afgar adalah seorang pembasket terkenal di masanya, Mario, adik bungsu Nadine seorang pembalap motocross yang cukup terkenal di masa itu. Kariernya melejit sampai luar negeri. Sayang, kariernya tidak bertahan lama. Ajal lebih dulu menjemputnya menimbulkan trauma bagi keluarga besar.
"Sarapannya udah siap, Dik!" seru Tami, asisten rumah tangga berusia dua puluh tahunan.
"Iya, Tam. Makasih," ujar Rayyan sambil duduk di kursi sebelah kanan.
"Mama sama Papa ke mana?"
Tami menghentikan kegiatan membolak-balik roti tawar ditangannya. Berpikir sejenak, setidaknya memilih kata yang tepat untuk anak tuannya. Agar tidak salah paham, maklum saja si bungsu Hamizan sangat sensitif.
"Itu, Dik. Pergi tadi sehabis subuhan."
Rayyan melebarkan kedua matanya, "Lho? Adik gak tahu? Padahal tadi ke mesjid bareng Papa."
Tami terdiam, kali ini dia tidak bisa menjawabnya. Dia melanjutkan kembali kegiatan mengoles roti yang akan disajikan.
"Pagi, Dik, Teh!"
Tami, gadis asal Cianjur itu tersenyum. Akhirnya penolongnya datang juga. Siapa lagi kalau bukan Athar Hamizan. Sulung keluarga Hamizan duplikat sang ratu di rumah ini.
"Pagi, Bang!" jawab Rayyan sambil meninju lengan Athar yang disodorkan di sampingnya.
"Pagi, Abang mau roti selai cokelat?" tawar Tami.
Athar menatap meja makan yang menyajikan menu lengkap sarapan. Ada roti gandum, berbagai selai, buah dan air putih. Mereka jarang sekali meminum susu, mereka biasanya membeli susu murni dari peternakan langsung agar tidak ada bahan yang berbahaya di dalamnya. Sayangnya kali ini stok susunya habis.
"Boleh, teh."
Tami menyiapkan sarapan untuk Athar sembari memperhatikan si bungsu yang asik memisahkan pinggiran roti. Maklum saja, Rayyan tidak menyukainya karena rasanya yang aneh.
"Bang, Papa sama Mama bilang mau ke mana?"
Athar yang memakan roti terhenti, " Oh, Mama bilang mau ke bandara. Jemput Oma."
Rayyan diam sesaat mencerna kalimat yang keluar dari mulut kakaknya. Oma? Tidak salah, kan?
"Maksud Abang, Oma Rossa?"
"Iya, katanya sih mau tinggal di sini selama beberapa bulan. Om Cello ada kerjaan ke luar negeri," jawab Athar tanpa beban.
"Om Marcello gak ngajakin Oma?"
Athar tersenyum kecil. Dia menatap wajah adiknya. Dia paham apa yang ada di pikiran adiknya. Sedikit menggenggam erat tangan adiknya yang keras. Seolah menyalurkan semangat.
"Gak apa-apa, Oma gak akan macem-macem. Ada Abang, Mama dan Papa."
"Ih, apaan sih! Gak apa-apa kali, Bang! Oma juga kan berhak menginap di sini. Mama kan anaknya Oma, gimana sih Abang ini!"
"Sama Athalla juga?" Tanya Rayyan
Athar tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang Oma. Melanjutkan sarapan yang tertunda sebentar. Tami yang selesai dengan tugasnya pun undur diri. Tinggallah dua saudara menikmati sarapannya masing-masing.

KAMU SEDANG MEMBACA
CrossOma (On Going)
Novela JuvenilRayyan Samir, remaja 17 tahun sangat menyukai motocross. Dirinya bercita-cita ingin menjadi Crosser internasional, perjuangannya tidak mudah. Banyak rintangan yang menghadang. Bahkan dari keluarganya sendiri. Mampukah Rayyan melewati semua rintangan...